Sejak 2009 Toko Buku Ultimus
menempati rumah kontrakan di Jalan Rangkasbitung yang berdekatan dengan Jalan
Jakarta tepat di seberang Rumah Tahanan Kebonwaru, Bandung. Di penghujung September
lalu, Toko Ultimus tampak sepi. Di bagian halaman toko tampak gazebo sederhana
yang sudah berdebu. Di dinding pintu terpampang spanduk bertulisakan Ultimus
dengan warna terang, di sisi lain ada spanduk merah hitam berisi kutipan dari
sastrawan Salman Rushdie, penulis buku Satanic Verses itu.
Memasuki ruang utama
toko, terdapat etalase yang hanya memajang segelintir buku, salah satunya buku
tentang pembantaian pasca G30SPKI 1965 karya John Rossa. Lalu ada tiga rak kayu
yang berisi penuh dengan buku. Yang cukup menarik perhatian di antara deretan
buku yang berjejal di atas rak itu adalah buku Das Kapital karya Karl Marx. Buku
ini dipajang berdampingan dengan buku Anti Duhring karya Fredrick Engels. Kedua
buku karaya embahnya Marxisme ini ukurannya cukup tebal dengan warna merah gelap.
Di bagian muka buku Das
Kapital terpampang sosok Karl Marx yang khas, penuh cambang dan janggut. Di
bagian kanan bawah buku tercetak logo Ultimus, sebagai tanda bahwa Das Kapital
diterbitkan oleh Ultimus. Pendiri Toko Buku Ultimus, Bilven Sandalista,
menjelaskan sejak 2008, Ultimus bukan sekedar komunitas toko buku tetapi sudah menjelma
jadi penerbit. Buku yang diterbitkan terutama buku-buku berhaluan kiri.
Pada September itu, tidak
ada kegiatan mencolok di toko buku yang terkenal dengan aliran kiri alias
marxisme itu. September Hitam – mengacu kepada tragedi G30SPKI 1965 yang
diikuti pembantaian terhadap PKI setelahnya – sepertinya tidak harus menjadi momentum
bagi Ultimus untuk melakukan acara. Saat itu justru para pegiat Ultimus lagi
berkemas untuk pindah ke tempat anyar akhir tahun ini. Pada Desember komunitas
Ultimus akan pindah ke kawasan Dago (Ir H Djuanda). Di tempat anyarnya, Ulimus
akan fokus pada penerbitan buku.
Bilven mengatakan, lewat
penerbitan buku, upaya mengenalkan literasi Marxsisme diharapkan bisa terbuka
lebar. Sehingga ajaran Karl Marx bisa hidup kembali di Indonesia. Dia menegaskan,
marxisme merupakan bagian
dari kekayaan intelektual bangsa Indonesia yang pernah hidup sebelum akhirnya
dibungkam sejak tragedi 65 meletus.
“Penerbitan itu misi kita,
untuk mengembalikan lagi
harkat intelektual bangsa yang dulu
pernah hidup di negeri ini,” katanya.
Pada 2006, komunitas Ultimus sempat
menjadi buah bibir warga Bandung. Saat itu, Ultimus yang masih bermarkas di
Jalan Lengkong Besar, tepatnya di seberang kampus Universitas Pasundan (Unpas),
menggelar diskusi tentang Marxisme. Namun diskusi ini dibubarkan paksa oleh
suatu ormas. Ormas ini menganggap diskusi tersebut menyebarkan ajaran komunis
dan membahayakan NKRI. Malah beberapa pengurusnya ada yang diamankan aparat,
meski akhirnya dibebaskan. Sejak peristiwa itu, tidak heran jika ada warga yang
mencap komunitas Ultimus sebagai komunitas penganut paham komunis, paham yang
diharamkan oleh Pemerintah Soeharto atau Orde Baru (Orba).
Bilven menuturkan, pembubaran
dan penangkapan itu justru membuat Ultimus makin solid. Pihaknya banyak mendapat
bantuan, misalnya dari KontraS dan LBH Jakarta. Komunitas ini berdalih, tidak
ada dasar yang kuat untuk menangkap aktivis yang melakukan diskusi literasi
kiri. “Apakah salah jika kita melakukan diskusi 65?”
Ketika insiden pembubaran
dan penangkapan, Ultimus belum menjadi penerbit tetapi masih menjadi ruang
diskusi, pertunjukan, perpustakaan, dan toko buku. Lalu sejak 2008, komunitas
yang dimotori anak muda ini mulai memempuh jalan penerbitan buku-buku. “Keputusan jadi penerbit supaya efek misi kita lebih
besar lagi,”
terang pria kelahiran Malang 34 tahun lalu ini.
Menurutnya, lewat
penerbitan buku, misi menghidupkan marxisme bisa sampai kepada semua orang. Penerbitan buku juga membentuk
momen untuk mengenalkan buku-buku marxis, yakni lewat acara peluncuran buku.
Pria yang sudah tinggal
di Bandung sejak 97 ini menuturkan, buku seperti Das Kapital dan Anti Duhring serta beberapa
karya sastra dan fislafat Marxian lainnya diterbitkan pada periode pertama
sejak Ultimus menjadi penerbit. Ada juga karya-karya para korban pasca tragedi
65 atau G30SPKI. Mereka adalah keluarga atau orang yang dituduh PKI yang
menjadi korban operasi penumpasan PKI. Jumlahnya sekitar 30-an orang, mereka
korban langsung dan tidak langsung dari operasi pembersihan pasca tragedi G30SPKI.
Para korban tersebut masing-masing
menuliskan berbagai pengalamannya dalam berbagai bentuk tulisan, mulai cerita
pendek (cerpen), novel, prosa, puisi, memoar, atau esai. Ada yang menuliskan
kesaksian penumpasan, keluarganya yang ditangkap aparat, ada juga korban yang
menjalani pengasingan di luar negeri selama terjadi pembersihan dengan dalih
bahaya laten komunis di Indonesia.
Testimoni mereka mengungkap
peristiwa lain yang selama ini tidak ada dalam catatan sejarah, misalnya cerita
tentang adanya penyiksaan dan pembantaian. Meski bersifat testimoni, Bilven berharap penerbitan karya para
korban Orde Baru itu bisa menjadi penyeimbang sejarah yang buram. Terlebih,
hingga kini peristiwa 65 masih gelap. “Supaya generasi sekarang dan masa depan tahu. Banyak sesuatu yang diungkapkan lewat karya mereka,” katanya.
Namun, diakui bahwa masalah
peneribitan buku menjadi tantangan paling berat dalam menghidupkan kembali
literasi marxisme. Sebagai gambaran, buku yang dicetak supaya sampai ke tangan
pembaca umum tentu harus disebar ke berbagai toko buku. Ultimus berusaha menembus toko buku besar yang
menjadi tujuan utama para pembeli buku. Namun, sistem niaga yang diterapkan
toko buku besar ternyata sangat merugikan penerbit-penerbit kecil seperti
Ultimus. Toko buku besar memang menerima pasokan buku dari Ultimus, namun
waktunya sangat singkat, paling lama hanya tiga bulan. Selain itu, mereka juga
meminta potongan diskon yang sangat besar hingga 50 persen.
Untuk mensiasatinya, Ultimus
tetap memasok
buku bagi penerbit besar dan juga mengisi buku bagi toko-toko buku kecil yang tersebar di Bandung.
Langkah ini dibarengi dengan membangun
modal sosial lewat jaringan antar komunitas. Menghidupkan dan membangun jaringan ini bisa
dilakukan dengan acara diskusi dengan topik marrxisme atau peluncuran buku yang biasanya digelar Ultimus sebulan sekali. Lewat
jaringan inilah sebagian buku yang diterbitkan Ultimus disalurkan. Ultimus juga
mengembangkan konsep penjualan buku dengan sistem online, ataupun jejaring
sosial seperti facebook dan twitter.
“Dengan membangun modal sosial misi kita bisa lebih langgeng,” tegas
alumnus Institut Teknologi Telkom (kin STT Telkom) yang dangrung terhadap Karl Mark dan Fredrick Engels.
Hingga saat ini, Ultimus sudah
menerbitkan 80 judul buku, 50 persen buku marxisme dan 50 persen lagi buku-buku
non marxis seperti sastra. Ultimus sengaja tidak menerbitkan buku-buku kanan seperti
buku “cara cepat menjadi jutawan”, atau “cara masuk surga” dan sejenisnya.
Tetapi Ultimus membuka ruang bagi buku-buku non politis, misalnya buku puisi
atau novel cinta.
Dengan rencana kepindahan
Ultimus ke Dago, dan akan fokus di bidang penerbitan, bukan berarti Ultimus
tidak menjadi toko buku. Toko buku tetap jalan, namun buku-bukunya dititipkan
ke berbagai toko buku, misalnya ke Toko Buku Kecil (Tobucil) Jalan Aceh, dan
kebanyakan di toko buku Indonesia Menggugat (IM) Books, Jalan
Perintiskemerdekaan. Kebanyakan pembeli buku terbitan Ultimus adalah anak muda tetetapi
masih kalangannya masih terbatas, misalnya aktivis kampus. Jumlah koleksi buku di
toko buku Ultimus mencapai 2.000 judul. Sedangkan jumlah koleksi buku di
perpustakaannya mencapai 8.000 judul buku.
Bagi Belven, momen
September Hitam atau G30S/PKI tidak dipungkiri makin menguatkan stigma bahwa
kiri patut dibenci. Stigma itu melekat hingga kini. Dia dan para aktivis
Ultimus merasakan adanya alergi dari masyarakat terutama terhadap hal berbau
PKI. Stigma yang
masih kuat inilah
yang membuat misi Ultimus makin berat.
Dia heran, kenapa kiri
harus dibenci. Padahal, esensi ajaran Marx adalah anti
kemapanan, mendorong suatu masyarakat
untuk berubah
ke arah yang lebih baik. Bahkan
sejarah mencatat, gerakan kiri berandil besar dalam mengusir kolonialisme di
Tanah Air. Dengan berpegangan kepada litelatur kiri yang penuh nuansa perubahan, kaum kiri di masa
perjuangan mengajak masyarakat melawan kemapanan kolonialisme.
Tetapi sejarah juga
mencatat, pada akhirnya gerakan kiri ini tumbang pasca peristiwa 1965. Selanjutnya gerakan
ini dicap negatif dan terlarang meskipun sejarah di balik G30SPKI masih gelap
hingga kini. Maka ketika Komnas HAM menyatakan kasus pembunuhan massal 1965-1966 sebagai pelanggaran HAM
berat, Bilven menyebutnya sebagai kemajuan meskipun kejadiannya sudah terjadi
empat dekade lalu. Rekomendasi Komnas HAM agar membuka kasus pembunuhan massal juga
dinilainya positif meskipun menimbulkan pro kontra.
Dia yakin, suatu saat
kabut yang menyelimuti sejarah kelam Indonesia itu akan tersingkap. “Peristiwa 65 engga perlu lagi
ditutupi, semuanya harus clear. Seandainya sekarang
tidak dibuka, kelak perkembangan masyarakat akan membukanya. Itu
keniscayaan
sejarah,” katanya.
Para aktivis Ultimus
meyakini sebuah bangsa tidak akan maju dan berubah jika tidak mempelajari
literatur kiri. Pihak-pihak yang alergi terhadap kekirian justru mereka anti perubahan. Suatu bangsa tidak akan maju jika tidak belajar dari literatur kiri. Literasi
mengandung nuasa perubahan dan membawa dinamika masyarakat ke arah yang lebih maju dan baik. Dengan semangat itu, Bilven dan kawan-kawannya di Ultimus akan terus
mengenalkan literasi kiri. Dia berharap, sudah saatnya masyarakat saat ini tidak merasa dihantui oleh ketakutan bangkitnya
komunisme. Sebaliknya,
aktivis yang dicap komunis harus bangga karena sebagai pelaku perubahan. “Kita ingin mengembalikan
literatur kiri yang dulu dibungkam,” tandas
sarjana teknik industri yang banting stir menjadi editor buku ini.
.
Komunitas Ultimus
dibentuk pada 2004 oleh Bilven dan enam orang lainnya, kebanyakan mahasiswa IT Telkom. Awalnya, komunitas ini menempati ruko kecil di
Jalan Karapitan. Saat itu komunitas ini selain berjualan buku-buku kiri juga aktif membangun komunitas lewat gerakan literasi
seperti diskusi, peluncuran buku, pagelaran teater dan lain-lain. Lalu pada
2005 hingga 2008, Ultimus pindah ke
Jalan Lengkong Besar. Dan pada 2009 komunitas ini pindah ke Jalan Rangkasbitung.
Bandung, 26 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar