Siang itu, iring-iringan pengantar jenazah tiba di
bukit pemakaman; bukit yang tidak besar namun cukup untuk menampung seluruh
mayat penduduk kampung yang berada di bawah bukit – seandainya mereka mati semua.
Tepat di puncak bukit, pohon beringin menjulang tinggi bak raksasa, pohon khas
astana. Jika dilihat dari kampung, beringin itu seperti hendak menerkam seluruh
rumah yang ada.
Siang itu, drama kematian baru saja dimulai.
Upacara dihadiri oleh sebelasan laki-laki, termasuk aku, yang berlangsung singkat
dan kaku. Kami berdiri seperti robot mengelilingi makam yang baru digali,
mendengarkan doa yang dilantunkan pemuka agama. Pemimpin prosesi itu lalu
menutupnya dengan kalimat:
“Semoga amal ibadahnya diterima Yang Maha Kuasa.
Amin.”
“Amin,” kata hadirin setengah berbisik.
Nisan yang terbuat dari kayu mahoni ditancapkan di
bagian kepala kuburan, tanda pemakaman selesai. Seorang buruh mati dibunuh, tanpa
menimbulkan tanya mereka yang masih hidup. Para pengantar jenazah ingin segera
meninggalkan pemakaman itu.
Langit mendung namun tak hujan. Tak ada air mata
namun meski muram wajah mereka; seperti menyembunyikan empati pada si mati. Pekuburan
kembali sunyi.
Seorang pria tigapuluhan masih mematung di hadapan
gundukan tanah merah itu; raut mukanya begitu keras dan dingin. Matanya
berkilat padaku, “Dulu aku sering main catur dengannya,” sejenak ia ragu, lalu
melanjutkan, “bagaimana kalau nanti malam kita main catur di rumahku?” Tanpa
menunggu jawabanku, ia pun pergi. Sedang aku hanya melongo sendirian di depan
guntukan tanah merah itu.
***
Namanya Otto. Ia anak asli kampung sini yang baru
kembali. Menurut gosip warga, ia baru pulang dari pengasingan yang jauh dan
berbahaya. Rumahku berhadapan dengan rumahnya; rumah yang tidak begitu besar
namun tidak terlalu kecil bagi pria penyendiri sepertinya. Dindingnya terbuat
dari bilik—sebagaimana kebanyakan rumah lainnya di kampung ini—yang dicat
hingga mengkilap, beberapa kembang mawar tumbuh di halaman, satu pohon mangga
berdiri di pojoknya, berdekatan dengan sumur dan kamar mandi.
Meski enggan, aku tak berani menolak ajakan Otto;
inilah kekuranganku—mengkin kekurangan warga kampung sini juga—: sungkan
mengatakan tidak. Tak satu pun warga yang dekat dengan Otto atau sengaja datang
ke rumahnya. Belasan tahun menghilang, di mata warga Otto menjadi orang lain,
asing.
Ternyata Otto tak seperti sangkaan orang. Ia
menghidangkan ubi rebus dan kopi kental dalam gelas batok; jauh sekali dari
kesan angker sebagaimana citra yang disemakkan bisik-bisik warga. Kami duduk di
ruang tamu yang polos, berhadapan menghadapi bidak-bidak catur. Tak ada benda
lain di ruang itu, tak ada radio atau tv, jam atau lukisan; kecuali satu yang
menempel di bilik sehingga keberadaannya menjadi kontras: pisau belati.
Otto meminum kopinya yang masih mengepul, suara
berisik di tengah sepinya malam yang sesekali pecah oleh suara langkah bidak
catur. Otto lalu menyulut rokok kereteknya, menghisapnya dalam-dalam, dan
menawarkannya padaku. Seketika asap rokok memenuhi ruangan itu, menepis embun
malam yang membekukan udara.
Di luar, hujan mulai deras menimbulkan suara riuh
saat jatuh mengena bilik.
“Dia, Sabri, orang baik,” kata Otto, mengenang
orang mati tadi. Aku terkejut karena masih memikirkan pisau belati itu. “Kini
ia tak bisa main catur lagi....kematian yang tak wajar. Ia menuntut kenaikan
gaji, kemudian para kuli menemukannya mati di kubangan berak sapi.”
Otto melangkahkan kudanya untuk menjebak ratuku
yang sejak awal permainan diam saja di posisinya. Aku pun sadar akan ancaman
itu, ratu segera kugerakan untuk menghindar.
“Akan ada hajatan di rumah kuwu besok. Semua warga
kampung sini diundang. Termasuk kita....Aku pikir, itu perayaan peringatan,”
katanya sambil tersenyum misterius.
“Kau, akan datang?” tanyaku dengan suara dan muka
seperti orang bego.
“Ya, kita pergi bersama.” Aku hanya mengangguk
tanpa tahu kenapa. Lagi-lagi sikap ini membuatku jengkel. Kenapa aku selalu
berkata “Iya”.
Di luar, hujan mulai reda, meninggalkan kesunyian
yang dingin. Seorang kuli mati dibunuh tepat di saat kampung ini sedang
melakukan pemilihan kuwu baru. Sabri kerja di peternakan kuwu yang jabatannya
akan habis namun mencalonkan kembali jadi kuwu masa depan kampung ini. Kemungkinan
besar kuwu ini akan kembali menang dan menduduki jabatan periode kedua. Ia memiliki
kekuasan dan uang. Kekuasaannya begitu mandiri mengingat kampung ini jauh dari
dunia luar, jauh dari kota. Aparat desa yang ada berlomba-lomba menjilatnya.
Salah satu kebijakkan sang kuwu adalah monopoli
angkot dengan jam terbang terbatas. Angkot mulai beroperasi subuh, siang dan,
terakhir jam tujuh malam, dengan mempekerjakan satu sopir saja. Karena terbatasnya
transportasi membuat kampung ini makin terpencil.
“Skak!” kata Otto. Aku terkejut dengan langkah
luncur yang tiba-tiba. Aku teringat pada pertemuan pertama dengan Otto yang
naik jadwal angkutan terkhir.
“Kau masih muda, sayang kau terikat dengan
pekerjaanmu,” lanjutnya, sambil menunggu langkah bidak caturku. Otto terus
berkata layaknya seperti aktor yang bermonolog. Yang dapat kutangkap dari
monolog Otto selagi aku sibuk mengatur strategi antara lain:
“Aku baru bebas....Pengasingan memang tepat untuk
ini....Nusa Kambangan....Di sana aku banar-benar dilemparkan ke tempat yang
dalam, sebuah dunia lain tapi nyata....saat itu aku menemukan diriku
sendirian....ada dan hidup....”
Selebihnya aku tak dengar lagi apa yang dikatakan
Otto, atau mungkin ia tidak berkata apa-apa. Hingga subuh permainan baru
selesai. Entah berapa babak, yang jelas tak satu kali pun aku menang. Sebelum
pamit, aku sempat bertanya mengapa Otto dipenjara—satu-satunya pertanyaan yang
kuanggap paling cerdas selama obrolan itu.
“Aku tak bersalah maka aku di tahan.”
***
Hajatan di peternakan berlangsung mahabesar—untuk
ukuran kampung ini. Seperti dugaan banyak orang: kuwu lama kembali terpilih.
Tampak merah wajah sang Kuwu karena kebanyakan minum arak. Ia terbahak, di
antara kerumunan warga, di tengah alunan dangdut yang membahana. Ia sempoyongan
yang dengan sigap di bimbing pengawalnya masuk ke kamar yang jendelanya
menghadap ke peternakan. Kerumunan warga membuat aku dan Otto berpisah, bertemu
kembali satu jam kemudian saat aku hendak pulang.
“Aku mau langsung pergi ke kota, kau mau
membantuku?”
Aku hanya mengangguk, lalu marah pada diriku
sendiri.
Malam itu juga kami berangkat ke kota. Inilah
puncak kebodohanku karena tanpa tahu alasan kenapa aku melakukan ini. Di
sebelahku, Otto duduk sangat tenang, gagang belati terselip di balik jaketnya.
“Kau masih ingat tawa angkuh kuwu saat mengangkat
arak tadi? Tawa itu segera sirna,” kata Otto.
Di ujung belati itu mungkin darahnya belum kering.
Aku mengemudi dengan kesadaran remang-remang. Dan untuk kali ini aku
benar-benar terlemapar pada dunia yang lain, bukan lagi sopir kuwu. Sepertinya
aku menuju ke tempat yang asing.
***
Orang-orang kampung geger. Karena menemukan tubuh
sang kuwu terbenam dalam kotoran sapi dengan luka menganga tepat di jantungnya.
Mereka harus menguburkan satu mayat lagi, di butit itu. Upacara kematian
digelar besar-besaran bak memakamkan pahlawan yang gugur di medan perang. Orang-orang
kampung berinisiatif menggelar pemakaman termegah itu, karena khawatir
menyinggung kuwu meski ia sudah tak bernyawa.
Bandung 23 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar