Kamis, 22 Desember 2011

Astronomi, Antara Cerita Tragis, Kekalahan Napoleon, dan Meteor Jatuh


                    ahdhan.deviantart.com

Siang itu, staf teknik Observatorium Bosscha Asep Rosmana baru saja selesai memandu ratusan pelajar yang ingin mengetahui sejarah Teropong Zeiss, teropong terbesar di observatorium yang berada di Lembang itu. Asep bukanlah as tronom, tetapi sejak 1976 dia sudah bekerja sebagai teknisi di Bosscha. Sehingga secara umum dia paham astronomi dan hatam sejarah berdirinya Bosscha.

Asep yang spesialis mesin-mesin observasi itu tidak jarang memandu pengunjung Bosscha yang perharinya mencapai 600 orang, umumnya dari kalangan pelajar dari berbagai sekolah di Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Tugas utama Asep adalah membersihkan lensa teropong. Untuk merawat mesin-mesin teropong itu Asep bekerja bersama tiga teknisi lainnya. “Saya di sini teknisi, tetapi ngelayani juga pengunjung SD dan SMP,” kata Asep.

Saat ini Bossha memiliki 22 teropong, 6 di antaranya teropong peninggalan B elanda yang memiliki diameter besar namun sering rusak karena umur yang sudah tua. Kendala muncul ketika suku cadang teropong yang sudah uzur itu ternyata tidak ada di pasaran. Sehingga teknisi Bosscha harus berusaha mengakal inya sebisa-bisa supaya teropong klasik itu bisa diandalkan untuk observasi.

Karel Albert Rudolf Bosscha


Observatorium Bosscha yang didirikan dermawan Belanda pada 1923 lalu, Karel Albert Rudolf Bosscha (1865-1928). Hingga kini observatorium itu masih menyandang peneropongan bintang terbesar se-Asia Tenggara. Keberadaan Bosscha membuat perjalanan ilmu astronomi di Indonesia tumbuh cemerlang, disegani negara lain.

Banyak prestasi penting yang ditorehkan Observatorium Bosscha. Di antaranya konsisten membimbing para pelajar tanah air untuk mengikuti olimpiade astr onomi internasional yang hasilnya selalu mendapatkan emas. Bosscha juga ber andil besar dalam menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah konferensi intern asional astronomi se-Asia Pasifik (2005). Bahkan tahun depan Indonesia juga menjadi tuan rumah pertemuan astronomi Indonesia se-Asia Tenggara. Fasilit
as observasi di Bosscha juga terus bertambah, salah satunya dengan mendatangkan teropong matahari untuk meneliti aktivitas matahari. Di bidang penelitian, para astronom Bosscha berhasil membuat peta Galaksi Bimasakti yang baru. Peta ini hasil penelitian panjang antara 1962-1990.

Karena kualitas penelitian Bosscha diakui di dunia internasional, maka pada 2010 International Astronomical Union (IAU) menjadikan empat nama mantan kepala Observatorium Bosscha sebagai nama asteroid. Mereka adalah Bambang Hidayat (Kepala Observatorium Boscha 1968- 1999), Moedji Raharto (2000-2003), Dhani Hardiwijaya (2004-2005), dan Taufik Hidayat (2006-2009). “Tahun lalu mantan-mantan kepala observatorium kita jadi nama asteroid. Artinya kita masih dipandang di dunia internasional,” kata peneliti Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB) Evan I Akbar.

                                inilahjabar.com
Namun, di balik prestasi itu masalah yang dihadapi Bosscha juga tidak sedikit. Salah satunya keterbatasan dana operasional Bosscha yang selama ini bergantung kepada ITB. Menurut Evan, lembaga penelitian astronomi sekelas Bosscha seharusnya berada di bawah naungan negara, bukan di bawah tanggung jawab perguruan tinggi yang kapasitasnya terbatas. Terlebih ruang lingkup astronomi yang dipelajari di Bosscha sangat luas, seluas alam semesta.

Di Indonesia, bidang-bidang astronomi digeluti dua lembaga, yakni Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang dibiayai negara di bawah Menteri Riset dan Teknologi (Menristek). Lapan khusus meneliti cuaca di antariksa dan roket. Bidang astronomi lainnya didalami Bosscha yang meliputi tatasurya, galaksi, mata hari, pelanet-pelanet, hingga meteor jatuh. Dengan kata lain, Bosscha meneliti yang tidak diteliti Lapan. Nah, bidang sebanyak itulah yang dipelajari Bosscha di bawah naungan ITB, bukan Menristek. “Bosscha di bawah ITB anggarannya terbatas sekali,” kata Evan.

Masalah itu sebenarnya sudah dikeluhkan para astronom Bosscha sejak 80-an. Solusinya, seharusnya Indonesia tidak hanya memiliki satu observatorium. Para astronom berharap pemerintah mau membangun observasi nasional yang dibiayai negara. Di dalam observasi nasional, para astronom ingin membangun teropong besar baru yang diameternya mencapai 2,5 meter melebihi teropong peninggalan Karel Albert Rudolf Bosscha Teropong Zeiss (60 centimeter). Namun rencana itu hampir mustahil jika biayanya bersumber dari ITB saja. Menurut Evan, untuk membangun teropong 2,5 meter yang dilengkapi kubah diperlukan dana sekira Rp100 miliar. “Dana itu bisa jika pemerintah yang mengadakan,” ujarnya. 

 
Usul observasi nasional sudah disampaikan oleh beberapa kepala Observatorium Bosscha sebelumnya, di antaranya oleh Taufik Hidayat. Taufik sendiri telah melakukan survei tempat di Kupang. Namun hingga kini usul itu menguap alias tak ditanggapi pemerintah. Kenapa Bosscha ingin membangun observasi nasional? Menurut Evan, perkembangan astronomi di Indonesia saat ini terancam oleh kemajuan astronomi di luar negeri. “Kita akan makin tertinggal,” ujarnya. 

                                       flickriver.com
Meski secara historis kemajuan astronomi di negeri ini cukup cemerlang, namun kini perkembangan ilmu astronomi di negara-negara tetangga mulai menggeliat. Bahkan gelar astronomi terbesar se-Asia Tenggara tidak lama lagi akan segera pudar. Pasalnya Thailand saat ini tengah membangu
n teropong yang diameternya mencapai 2 meter, jauh lebih besar dari diameter Teropong Zeiss.

“Thailand buat teropong dua meter, udah selesai. Malu kita. Selama ini kita leader di bidang astronomi. Makanya kita ingin bandung teropong 2,5 meter,” ungkapnya. Belum lagi jika dibandingkan dengan Jepang yang saat ini memiliki 40 lebih observatorium. Sehingga Jepang bisa tahu kapan meteror jatuh ke bumi.

Pesatnya perkembangan astronomi di luar negeri tidak lepas dari peran negara. Di luar negeri posisi astronomi seperti nuklir yang diurus di level negara. Tidak heran jika saat ini ada tiga bidang yang perkembangannya sangat mencolok di dunia internasional, yaitu nuklir, teknologi biogenetik atau nano teknologi, dan astronomi. Evan menuturkan, masalah itu sebenarnya dipahami betul ketika jabatan Menristek dipegang Kadiman yang juga Mantan Rektor ITB. Hanya saja untuk membangun pusat astronomi nasional lagi-lagi pemerintah terkendala dana. Astronomi dipandang cukup dipelajari di Bosscha dan Lapan saja. Dengan begitu, pemerintah cukup untuk menutup mata.

“Padahal jaman Soekarno dulu kita tercatat sebagai negara peluncur roket keempat di dunia, setelah Rusia dan AS. Waktu itu namanya Roket Kartika. Dulu kita ditakuti karena punya teknologi,”  tutur Evan. 

 
Persoalan astronomi di Indonesia ternyata tidak terhenti sampai di situ. Masalah sumber daya manusia (SDM) tidak kalah memprihatinkannya. Saat ini kampus di Indonesia yang memiliki jurusan astronomi hanya ITB. Tiap angkatannya, mata jurusan ini diikuti tidak lebih dari 20 orang. Itu pun setelah mereka lulus akan kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusan. Pasalnya, serapan lulusan astronomi di Indonesia hanya mengandalkan Bosscha ITB atau Lapan. Tidak heran jika lulusan astronomi justru banyak yang kerja di luar bidangnya, misalnya di media massa dan bank. Jika ingin tetap kerja sesuai bidangnya, para lulusan terpaksa kerja di lembaga-lembaga penelitian yang ada di luar negeri. Di dalam negeri sulit sekali mencari lapangan kerja di bidang astronomi. Jadi masalahnya bukan hanya bagaimana menarik siswa untuk belajar astronomi, tetapi bagaimana supaya lulusan astronomi tidak kerja di luar negeri.

Situasi serba terbatas juga terjadi di Observatorium Bosscha, misalnua di bidang SDM dan fasilitas observasi. Evan sendiri harus kerja dobel, siangnya sebagai Koordinator Pengunjung dan malamnya sebagai peneliti atau astronom. Membludaknya pengunjung membuat SDM Bosscha kewalahan. Menyiasatinya, Bosscha mengerahkan SDM yang ada. Tidak jarang seorang teknisi seperti Asep bisa menjadi pemandu pengunjung selain sibuk memperbaiki mesin-mesin teropong. Dan jika ada mahasiswa astronomi yang magang, Bosscha akan senang hati menerimanya untuk diperbantukan melayani lonjakan pengunjung.  

       geheugenvannederland.nl                                  
Masalah lainnya, beberapa teropong Bosscha sudah lanjut usia yang suku cadangnya hanya ada di jaman Belanda. Maka teknisi Bosscha harus pandai-pandai mengakalinya sendiri. Rencana moderniasi juga terkendala dana. Seharusnya, kata Evan, ada budget khusus untuk perawatan tiap jenis teropong. Dengan begitu, peneliti Bosscha akan konsentrasi meneliti tanpa harus memikirkan keterbatasan alat dan dana. “Ya, ada cerita tragis di balik prestasi yang diraih Bosscha,” ujar mahasiswa S2 ITB kelahiran Jogja itu. 

Di sisi lain, beban Bosscha makin berat karena dituntut meneliti banyak hal dan harus mengimbangi laju perkembangan astronomi yang terjadi di luar negeri. Meski begitu, kata Evan, di tengah keterbatasan itu para peneliti Bosscha tidak terlalu ambil pusing. Penelitian dan observasi tetap jalan mengandalkan apa yang ada. “Kita teleiti pakai metode yang ada, cuman ga ada terobosan seperti di luar negeri. Kita jalani saja yang ada, harus pinter-pinter saja. Tetapi tidak bisa seperti di luar negeri yang dibantu peralatan canggih,” urainya.

Ilmu astronomi merupakan ilmu paling tua yang dipelajari manusia. Usianya diperkirakan setara dengan filsafat. Bidang yang digelutinya juga sangat luas meski secara umum ada 24 bidang yang dipelajari astronomi, di antaranya tentang tata surya, matahari, galaksi, planet-planet, meteor, dan seterusnya. Dalam kuliah S1, semua bidang itu dipelajari. Makin tinggi jenjang kuliah, makin mengerucut bidang yang dipelajarinya. Misalnya menggeluti salah satu unsur di dalam matahari. Evan sendiri yang tengah kuliah S2 astronomi tengah menekuni planetary bula, yakni tentang bahan bakar yang ada di matahari. Menurutnya, matahari bisa menyala karena memiliki bahan bakar. Begitu juga dengan bintang-bintang lainnya yang memancarkan cahaya, pasti memiliki bahan bakar. Jika begitu, suatu waktu matahari akan kehabisan bahan bakar sehingga bahan-bahan pembentuk matahari akan lepas dan hancur. Menurut perhitungan Evan, matahari akan kehabisan bahan bakarnya selama 4,5 miliar tahun lagi.

Evan juga mempelajari badai matahari yang akhir-akhir ini dikhawatirkan bisa memicu kiamat pada 2012. “Puncak badai matahari sebenarnya bukanlah 2012, tapi Maret 2014. Badai matahari memang berbahaya, hanya saja dampaknya tidak seseram yang dibayangkan orang, apalagi menimbulkan kiamat. Badai matahari hanya menimbulkan gangguan magnetik akibat gelombang elektromagnetik yang ditimbulkannya, misalnya merusak satelit dan peralatan elektronik,” paparnya.

Badai matahari akan muncul di daerah utara dan selatan bumi misalnya di kutub utara dan selatan. Bentuk badai ini disebut aurora. Negara yang pernah merasakan efek badai matahari adalah Finlandia, yang pernah merasakan mati listrik seharian. “Badai matahari bisa melumpuhkan aktivitas suatu negara, terutama bidang komunikasi, penerbangan, dan penerangan,” terangnya. Selain itu, saat ini, para astronom tengah menliti hubungan badai matahari dengan perubahan iklim. Misalnya, ada hubungan antara kemarau panjang dan makin banyaknya badai matahari.

Lalu, bagaimana dengan ancaman badai matahari di Indonesia? Evan menegaskan, negeri ini bisa dipastikan aman dari gangguan badai matahari. Sebab, Indonesia berada di sabuk katulistiwa dengan iklim tropis bukan empat musim. Dengan posisi di bawah garis katulistiwa itu, Indonesia jadi mudah memantau perkembangan angkasa luar termasuk badai matahari. Berbeda dengan negara di bagian selatan atau utara bumi yang tidak bisa mudah mengamati aktivitas matahari seutuhnya. Maka tidak heran jika Belanda begitu agresif membuat Observatorium Bosscha di Indonesia karena dilintasi katulistiwa sehingga letaknya strategis untuk melakukan peneropongan angkasa. Tidak ada negara lain yang terpotong garis katulistiwa selain Indonesia. Tiap saat, Indonesia bisa melihat matahari lebih lama untuk mempelajarinya. Sayangnya kondisi alam yang bagus tidak membuat pemerintah membuka mata untuk memperhatikan astronomi di negeri ini.

“Di katulistiwa ini, sabuk perlindungan dari sinar mataharinya paling tebal. Sehingga tidak akan kena badai matahari. Saya kadang berpikir, Indonesia ini terlalu dimanjakan. Dilenakan dengan negeri yang subur,” ungkapnya.

Penelitian astronomi lainnya yang tengah menjadi pusat perhatian di luar negeri adalah misteri tentang kemungkinan adanya kehidupan di luar angkasa. Para peneliti sudah menemukan unsur-unsur di angkasa yang ternyata ada di bumi. Evan mengungkapkan, di luar angkasa terdapat benda yang mirip awan yang ternyata mengandung emas, logam, oksigen, hidrogen, helium dan molekul-molekul lainnya. Lalu batu-batu di bulan juga sama dengan bebatuan yang ada di bumi. “Molekul adalah langkah awal menuju kehidupan. Berarti di luar angkasa akan ada kehidupan? Bahannya ada. Ibarat sop semua bahan ada. Pertanyaannya, ada yang masak ga?” kata Evan.


teknologi.vivanews.com
Proses terbentuknya alam semesta ini, termasuk bumi, kata Evan, berawal dari hidrogen, helium, lalu oksigen. Semua unsur itu muncul dari bintang yang meledak. Menurutnya, semua bintang termasuk matahari dan bumi berpotensi meledak. Dalam satu tahun ada 5 bintang yang meledak, yaitu bintang yang minimal sudah berusia 1 miliar tahun. Usia bumi sendiri saat ini diperkirakan sudah 5 miliar tahun. Sedangkan usia alam semesta sekira 14 miliar tahun. “Apa yang ada di bumi tadinya berasal dari bintang, dari bimasakti. Makanya di bumi ada oksigen dan besi,” ujarnya.

Banyak orang yang terkagum-kagum dengan penelitian bidang astronomi. Evan sendiri tertarik menggeluti studi astronomi karena sewaktu SMA dia ikut organisasi remaja masjid atau rohis. Di dalam Kitab Suci banyak ayat yang menyinggung tentang langit, tentang bagaimana alam semesta diciptakan. “Bagi saya astronomi bisa menyadarkan orang supaya tidak menelan agama mentah-mentah. Tuhan menciptakan alam semesta tidak sekali jadi, tetapi ada prosesnya. Proses itulah yang ]dipelajari astronomi,” teragnya.

Namun, ilmu astronomi tidak terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. Ilmu yang mempelajari miliaran bintang di angkasa ini tidak bisa menjadi ilmu terapan seperti fisika. Mungkin karena itulah pemerintah enggan menggarap ilmu astronomi. Terlebih selain sulit dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, penelitian astronomi juga memakan waktu yang sangat panjang. Hasil penelitian di bidang astronomi akan terasa 5 atau puluhan tahun ke depan. Misalnya saat ini Evan tengah meneliti efek letusan gunung berapi saat gerhana bulan. Penelitian ini untuk mengetahui berapa banyak debu yang berada di angkasa akibat letusan gunung berapi. Makin banyak debu yang diterbangkan ke angkasa akan berpengaruh terhadap perubahan musim. Banyaknya debu akan mempercepat pembentukan awan hujan. Namun untuk meneliti pengaruh gunung berapi terhadap perubahan musim, kata Evan, tidak cukup hanya meneliti sekali gerhana bulan. Perlu beberapa kali penelitian gerhana bulan sehingga hasilnya bisa akurat.

Secara historis, letusan gunung berapi memang berpengaruh terhadap perubahan musim. Evan menuturkan, kekalahan Napoleon ternyata disebabkan letusan Gunung Tambora di Indonesia, bukan karena kuatnya pasukan Inggris. Asap letusan Gunung Tambora membuat musim salju yang terjadi di dataran Eropa datang lebih cepat, di luar perkiraan Napoleon. Senjata-senjata berat yang disiapkan Napoleon sesuai dengan musim panas jadinya malah tertimbun salju, begitu juga pasukannya. Mereka menjadi santapan empuk tentara Inggris. Belakangan ilmu astronomi menyimpulkan, bahwa kekalahan Napoleon merupakan efek dari letusan Gunung Tambora yang debunya sampai ke Eropa dan membentuk awan yang menimbulkan hujan salju.

“Jadi, untuk memajukan ilmu astronomi diperlukan pemerintahan yang visioner,” lanjutnya. Kadang astronomi dipandang penting tidak penting. Pentingnya, jika ada fenomena alam yang dirasa merugikan atau mengancam, baru semua perhatian tertuju kepada para astronom. Misalnya jika satelit mati karena badai matahari atau ketika ada ancaman meteor jatuh. Evan menuturkan, ketika meteor jatuh menimpa pemukiman warga Duren Sawit, Jakarta Timur, tahun lalu, saat itu pemerintah seperti kebakaran jenggot. Mereka segera memanggil para astronom dan menanyakan kenapa meteor bisa jatuh tanpa bisa diprediksi. Kita, tegas Evan, tentu saja tidak bisa menyalahkan astronom Bosscha atau Lapan. Sebab untuk memprediksi kapan meteor jatuh tidak bisa mengandalkan satu observatorium saja. Evan kembali menegaskan pentingnya pembangunan sebuah observasi nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...