Senin, 09 Januari 2012

Ronggeng Gunung Bi Raspi dan Pergantian Tahun

BANDUNG- RONGGENG GUNUNG. Raspi (60) menampilkan Ronggeng Gunung dalam acara malam Tahun Baru di Kebun Seni Tamansari Bandung, Jawa Barat, Minggu (1/1). Ronggeng Gunung merupakan salah satu seni tradisi dari kabupaten Ciamis yang kini diambang kepunahan karena jarangnya generasi muda yang memelajari seni tradisi ini. FOTO ANTARA/Agus Bebeng


Pergantian tahun di Kebon Seni Taman Sari Bandung, Jawa Barat, lain dari yang umumnya dilakukan masyarakat umum. Acara menyambut tahun 2012 yang dihelat para seniman dari Bandung dan sekitarnya itu menyajikan Ronggeng Gunung, kesenian Jawa Barat yang umurnya sudah sangat tua dan kini nyaris punah.

Tepat menjelang tengah malam di penghujung 2011, Sabtu 31 Desember, kawih dari Ronggeng Gunung generasi terakhir, Bi Raspi (60), melengking-lengking, membuat suasana malam tahun begitu hening. Meskipun sesekali terdengar tiupan terompet dan letusan kembang api tahun baru di kejauhan. Namun kawih Bi Raspi tidak hirau hingar bingar kota. Bi Raspi yang mengenakan busana ronggeng dan bersanggul, terus mengawih diiringi musik dari bonang, gong, dan kendang, yang juga menimbulkan irama monoton.

Nyanyian Nyi Ronggeng itu mengiringi puluhan penari yang bergerak monoton mengelilingi api unggun. Uniknya, sebagian penari merupakan anak muda yang tergabung dalam berbagai komunitas seni, di antaranya anak Bi Raspi yang marupakan satu-satunya penerus Ronggeng Gunung saat ini, Nani Nurhayati (33), aktivis seni dari kelompok teater Laskar Panggung, Majelis Sastra Bandung,
mahasiswa dan mahasiswi dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.

Mereka menari bersama para seniman yang tergabung dalam Komunitas Kebon Seni Taman Sari serta beberapa tokoh masyarakat. Ronggeng Gunung dibuka sekira pukul 12.00 WIB. Diawali dengan pembakaran api unggun, Bi Raspi yang memegang mic mulai mengawih dengan lagu pembuka Ronggeng Gunung, yakni ladrang, kudup turi, dan sisigaran. Nani Nurhayati yang mengenakan busana ronggeng putih dan selendang merah mendekat ke arah api unggung. Dia mulai menari sebagai penari utama, mengelilingi api unggun. Lalu, siapa pun yang ada di situ boleh ikut menari hingga membentuk lingkaran besar. Mereka terus menari mengikuti kawih Bi Raspi dan musik dari gamelan. Tarian itu tampak khidmat, berputar mengikuti arah jarum jam mengelilingi api unggun dan penari utama sebagai pusat tarian.

Beberapa penari laki-laki mengenakan pakaian pangsi hitam namun bagian kepalanya ditutup menggunakan sarung. Itu merupakan salah satu kekhasan yang ada di Ronggeng Gunung. Sastrawan Sunda Godi Suwarna yang juga hadir dalam pagelaran menyebutkan, Ronggeng Gunung merupakan kesenian buhun yang berangkat dari sebuah mitos Kerajaan Gauh.

Konon, para penari laki-laki Galuh dulu sengaja menutup kepalanya dengan sarung merupakan strategi untuk memancing musuh yang ikut dalam tarian. Ketika musuh mereka ikut menari dan lengah, sebilah senjata akan ditikamkan. Siasat itu diilhami Dewi Siti Samboja yang diperistri Raden Anggalarang, putraPrabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh. Pasangan ini mendirikan kerajaan di
Pananjung, kini Cagar Alam Pananjung di obyek wisata Pangandaran. Saat itu, Kerajaan Pananjung diserang perompak. Pertempuran yang tidak seimbang membuat Pangeran Anggalarang gugur, namun istrinya, Dewi Siti Samboja, berhasil menyelamatkan diri. Dia bersembunyi di kaki gunung, lalu berkelana sambil menyamar untuk memata-matai perompak dengan cara menjadi ronggeng bernama Dewi Rengganis. 
Menurut Godi, masyarakat Ciamis Selatan juga menjadikan ronggeng gunung sebagai upacara adat saat bercocok tanam. Dewi Rengganis perannya seperti Dewi Sri Pohaci alias dewi kesuburan tanaman. Pada saat petani mengharapkan turun hujan, ronggeng gunung dijadikan perantra untuk mendatangkan hujan.

“Selain sebagai upaya menyusun strategi dan penyamaran, ronggeng gunung juga menyiman filosofi kehidupan manusia, para penari harus mengikuti irama lagu dan gerakan yang sama dan kompak. Dengan begitu mereka bisa meng elilingi api unggun sebagai simbol matahari atau pusat tata surya. Intinya, matahari itu sebagai simbol satu untuk semua dan semua untuk satu,” ungkap Godi.

Ketika bunyi terompet dan letusan kembang api mulai reda, lengkingan suara Bi Raspi masih mendayu-dayu. “Tong ngalamun, kunaon bedegong wae,” begitu salah satu lirik kawih dari sekitar 16 lagu yang dinyanyikan Bi Raspi. Dalam lirik-lirik lagu ronggeng gunung, menurut Bi Raspi, ada pepatah bagi generasi muda. Misalnya dalam lirik tong ngalamun, generasi sekarang dituntut harus kreatif dan mau aksi jangan hanya berkhayal. Begitu juga dengan pergantian tahun, sebaiknya generasi saat ini mau introspeksi diri dan tidak mengulaangi kesalahan pada tahun lalu.

Sayangnya, Bi Raspi yang kini mengurus sanggar Padepokan Ronggeng Panggugah Rasa di Ciamis, kini merasa kesulitan melakukan regenerasi. Dia khawatir, sebentar lagi seni Ronggeng gunung akan punah. Sebab, di daerahnya hanya dirinya dan anaknya saja yang masih menekuni seni tradisi itu. Padahal dulu, tiap kampung minimal ada tiga ronggeng gunung.
“Sulit menemukan generasi muda yang mau menekuni ronggeng gunung. Saya takut kesenian ini akan punah,” katanya, seraya berharap anaknya bisa mewarisi bakat ronggengnya.

Menjalani ronggeng gunung, kata ronggeng yang sudah menekuni ronggeng sejak 1972 itu, memang tidak mudah. Seorang ronggeng gunung selain harus bisa kawih yang mampu menggugah rasa, juga harus bisa menari. Intonasi kawih ronggeng gunung sangat khas, pendengar akan terlena menyimaknya, begitu juga saat mengikuti tarian. Hal itulah yang sulit dilakukan oleh seorang ronggeng gunung.

Ronggeng gunung Bi Raspi sudah dua kali tampil di Bandung. Tahun lalu, dia juga tampil menutup tahun 2010 dan menyambut 2011. Kini dia menutup 2011 dan menyambut 2012. Entah sampai kapan Bi Raspi bisa tampil menyambut tahun baru, yang jelas Bi Raspi berharap akan segera terjadi regenerasi terkait kesenian tradisional itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...