Selasa, 18 Oktober 2011

Catatan Sieling Go di Puncak Himalaya



Nama Sieling Go tentu tidak asing lagi di kalangan pendaki gunung. Beberapa kali perempuan asal Bandung ini berhasil mencapai puncak gunung di berbagai belahan dunia, termasuk puncak di Pegunungan Himalaya.

Hebatnya, kebanyakan pendakian itu dilakukan Sieling seorang diri alias tanpa tim. “Saya tidak mau bawa korban berikutnya,” kelakarnya, dalam acara peluncuran bukunya yang berjudul Nyanyian Angin di Celah Gemunung Himalaya, di Bandung, beberapa waktu lalu.

Saat itu, peluncuran buku dihadiri banyak rekan dan kerabat Sieling. Banyak yang bertanya, di antaranya pertanyaan kenapa Sieling tidak suka mendaki dengan tim. Ada juga yang bertanya sampai kapan pendakian gunung dilakukan perempuan yang tinggal di Lembang itu. Namun hingga kini Sieling masih belum akan berhenti mendaki gunung.

Kecintaannya dalam mendaki gunung dan menikmati pemandangan alam pegunungan membuat ibu rumah tangga beranak tiga ini belum memikirkan kapan berhenti mendaki. Bahkan kecintaannya itu membuatnya menuangkan pengalamannya selama mendaki ke dalam bentuk buku berjudul Nyanyian Angin di Celah Gemunung Himalaya itu.

Buku tersebut awalnya berupa catatan sehari-hari Sieling selama melakukan pendakian di Pegunungan Himalaya dalam kurun waktu 23 Maret 2007 hingga 12 April 2007. Berkat dorongan sejumlah pihak, tulisan harian Sieling akhirnya dibukukan dan diterbitkan Grasindo. Dalam buku itu, perempuan yang memang lebih cakap menulis ketimbang bicara itu berbagi pengalaman dan ilmu yang didapatnya selama mendaki gunung Himalaya.

Dari judul bukunya, memang terasa aneh bahkan berbau mistis. “Nyanyian menemani saya selama di perjalanan. Kadang gemuruh seperti badai yang meruntuhkan salju. Angin seperti ajak saya komunikasi. Soal nyanyian angin itu dikupas di buku ini,” jelas Sieling, ketika menjawab penanya yang penasaran dengan judul buku Nyanyian Angin di Celah Gemunung Himalaya.

Tentu jawaban itu tidak memuaskan si penanya. Meskipun jawaban Sieling memang tepat. Dalam buku setebal 402 halaman itu dituturkan bagaimana seorang pendaki terasing di pegunungan yang dipenuhi salju. Di saat lelah mendaki, hanya angin yang menemaninya. Mungkin ini dialami semua pendaki ketika sedang sendirian. Angin yang melewati celah-celah gunung dan bukut seperti dawai yang digesek seorang musisi hingga menimbulkan nada, nada alami tentunya. Setidaknya begitulah yang dialami Sieling.

Buku itu juga menuturkan proses pendakian yang tidak sederhana. Sieling menggambarkannya hingga detail, mulai dari persiapan mendaki yaitu jauh hari sebelum berangkat, hingga hal yang harus diperhatikan saat berada di airpot atau hotel.


Sieling juga bercerita ketika dia mengalami kehabisan “bateraiĆ¢” akibat penyakit yang selalu menghantui pendaki: Acute Montaint Sickness alias AMS. Cerita horor ini ditegaskan dalam sebuah foto bagaimana Sieling yang memakai pakaian merah terkapar pingsan di atas gundukan salju.

Di tiap halaman buku dihiasi foto-foto hasil jepretan sarjana Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Katholik Parahyangan (Unpar) yang bergabung dengan himpunan mahasiswa pecinta alam Mahitala Unpar itu. Foto tersebut diikuti dengan tulisan yang mengalir yang menjelaskan konteks foto. Buku juga dicetak dengan kertas foto sehingga dari segi fisik buku ini memang menarik.

Sieling menyajikan ceritanya dengan gaya santai dan ringan khas penulisan buku harian. Tulisannya juga dilengkapi dengan data yang detail. Misalnya Sieling bercerita mengenai hotel mana yang jorok dan mana yang bersih meski kedua hotel tersebut sama-sama memiliki kekurangan. Informasi ini tentu akan dibutuhkan calon pendaki.

“Semalam di Kathmandu, aku tinggal di Blue Diamond Hotel yang kondisinya sangat jorok. Kapuk bantal sudah gerindilan dan apek. Wc dengan kloset duduk yang kotor. Semua perabotan dan karpet sangat berdebu. Listrik matidi malam hari. Tidak ada air panas. Aku minta pindah ke Buddha Hotel di Thamel yang sudah familiar meski di sana sangat berisik,” tulisnya.

Di tengah kesibukannya melakukan pendakian, Sieling juga masih sempat mencatat bon makanan (bahkan bon makan ini dipotretnya dan dicetak melengkapi halaman buku), memilah restoran mana yang mahal dan murah, hingga mencatat berbagai jenis bunga dan satwa yang ditemuinya.

Buku juga dilengkapi dengan sketsa-sketsa cerita Sieling dan guide-nya. Sketsa ini sering dibumbui dengan humor-humor segar. Buku juga menyajikan peta perjalanan hingga tips-tips yang sangat diperlukan bagi calon pendaki yang ingin mendaki gunung yang berada di luar negeri.

Guru Besar Geologi ITB MT Zein mengatakan, Sieling adalah seorang perempuan yang sangat berani, pergi mendaki di pegunungan Himalaya seorang diri dan hanya disertai dua orang pengangkut perlengkapan dan dua orang guide. “Bagi seorang wanita Indonesia, ini hebat sekali,” tulisnya MT. Zein, di halaman kata pengantar buku Sieling.

MT Zein menuturkan, Sieling Go adalah ibu rumah tangga yang sudah berusia kepala lima yang bersuamikan Paul Sukran, seorang pengecara. Mereka dikaruniai tiga orang anak Dion, Keinan, dan Fay. “Sejak remaja dia senang dengan alam raya”.

Rencananya, November mendatang Sieling akan kembali mendaki Pegunungan Himalaya yang berada di Nepal itu. Dan buku Nyanyian Angin di Celah Gemunung Himalaya adalah buku perjalanan keduanya. Dia juga berjanji siap menuliskan cerita perjalanan lainnya selama pendakian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...