Sabtu, 20 Oktober 2012

Sulitnya Jualan Literasi Kiri


Sejak 2009 Toko Buku Ultimus menempati rumah kontrakan di Jalan Rangkasbitung yang berdekatan dengan Jalan Jakarta tepat di seberang Rumah Tahanan Kebonwaru, Bandung. Di penghujung September lalu, Toko Ultimus tampak sepi. Di bagian halaman toko tampak gazebo sederhana yang sudah berdebu. Di dinding pintu terpampang spanduk bertulisakan Ultimus dengan warna terang, di sisi lain ada spanduk merah hitam berisi kutipan dari sastrawan Salman Rushdie, penulis buku Satanic Verses itu.

Memasuki ruang utama toko, terdapat etalase yang hanya memajang segelintir buku, salah satunya buku tentang pembantaian pasca G30SPKI 1965 karya John Rossa. Lalu ada tiga rak kayu yang berisi penuh dengan buku. Yang cukup menarik perhatian di antara deretan buku yang berjejal di atas rak itu adalah buku Das Kapital karya Karl Marx. Buku ini dipajang berdampingan dengan buku Anti Duhring karya Fredrick Engels. Kedua buku karaya embahnya Marxisme ini ukurannya cukup tebal dengan warna merah gelap.

Di bagian muka buku Das Kapital terpampang sosok Karl Marx yang khas, penuh cambang dan janggut. Di bagian kanan bawah buku tercetak logo Ultimus, sebagai tanda bahwa Das Kapital diterbitkan oleh Ultimus. Pendiri Toko Buku Ultimus, Bilven Sandalista, menjelaskan sejak 2008, Ultimus bukan sekedar komunitas toko buku tetapi sudah menjelma jadi penerbit. Buku yang diterbitkan terutama buku-buku berhaluan kiri.

Pada September itu, tidak ada kegiatan mencolok di toko buku yang terkenal dengan aliran kiri alias marxisme itu. September Hitam – mengacu kepada tragedi G30SPKI 1965 yang diikuti pembantaian terhadap PKI setelahnya – sepertinya tidak harus menjadi momentum bagi Ultimus untuk melakukan acara. Saat itu justru para pegiat Ultimus lagi berkemas untuk pindah ke tempat anyar akhir tahun ini. Pada Desember komunitas Ultimus akan pindah ke kawasan Dago (Ir H Djuanda). Di tempat anyarnya, Ulimus akan fokus pada penerbitan buku.

Bilven mengatakan, lewat penerbitan buku, upaya mengenalkan literasi Marxsisme diharapkan bisa terbuka lebar. Sehingga ajaran Karl Marx bisa hidup kembali di Indonesia. Dia menegaskan,
marxisme merupakan bagian dari kekayaan intelektual bangsa Indonesia yang pernah hidup sebelum akhirnya dibungkam sejak tragedi 65 meletus.

“Penerbitan itu misi kita, untuk mengembalikan lagi harkat intelektual bangsa yang dulu pernah hidup di negeri ini,” katanya.

Pada 2006, komunitas Ultimus sempat menjadi buah bibir warga Bandung. Saat itu, Ultimus yang masih bermarkas di Jalan Lengkong Besar, tepatnya di seberang kampus Universitas Pasundan (Unpas), menggelar diskusi tentang Marxisme. Namun diskusi ini dibubarkan paksa oleh suatu ormas. Ormas ini menganggap diskusi tersebut menyebarkan ajaran komunis dan membahayakan NKRI. Malah beberapa pengurusnya ada yang diamankan aparat, meski akhirnya dibebaskan. Sejak peristiwa itu, tidak heran jika ada warga yang mencap komunitas Ultimus sebagai komunitas penganut paham komunis, paham yang diharamkan oleh Pemerintah Soeharto atau Orde Baru (Orba).
Bilven menuturkan, pembubaran dan penangkapan itu justru membuat Ultimus makin solid. Pihaknya banyak mendapat bantuan, misalnya dari KontraS dan LBH Jakarta. Komunitas ini berdalih, tidak ada dasar yang kuat untuk menangkap aktivis yang melakukan diskusi literasi kiri. “Apakah salah jika kita melakukan diskusi 65?”

Ketika insiden pembubaran dan penangkapan, Ultimus belum menjadi penerbit tetapi masih menjadi ruang diskusi, pertunjukan, perpustakaan, dan toko buku. Lalu sejak 2008, komunitas yang dimotori anak muda ini mulai memempuh jalan penerbitan buku-buku. “Keputusan jadi penerbit supaya efek misi kita lebih besar lagi,” terang pria kelahiran Malang 34 tahun lalu ini.

Menurutnya, lewat penerbitan buku, misi menghidupkan marxisme bisa sampai kepada semua orang. Penerbitan buku juga membentuk momen untuk mengenalkan buku-buku marxis, yakni lewat acara peluncuran buku.

Pria yang sudah tinggal di Bandung sejak 97 ini menuturkan, buku seperti Das Kapital dan Anti Duhring serta beberapa karya sastra dan fislafat Marxian lainnya diterbitkan pada periode pertama sejak Ultimus menjadi penerbit. Ada juga karya-karya para korban pasca tragedi 65 atau G30SPKI. Mereka adalah keluarga atau orang yang dituduh PKI yang menjadi korban operasi penumpasan PKI. Jumlahnya sekitar 30-an orang, mereka korban langsung dan tidak langsung dari operasi pembersihan pasca tragedi G30SPKI.

Para korban tersebut masing-masing menuliskan berbagai pengalamannya dalam berbagai bentuk tulisan, mulai cerita pendek (cerpen), novel, prosa, puisi, memoar, atau esai. Ada yang menuliskan kesaksian penumpasan, keluarganya yang ditangkap aparat, ada juga korban yang menjalani pengasingan di luar negeri selama terjadi pembersihan dengan dalih bahaya laten komunis di Indonesia.

Testimoni mereka mengungkap peristiwa lain yang selama ini tidak ada dalam catatan sejarah, misalnya cerita tentang adanya penyiksaan dan pembantaian. Meski bersifat testimoni, Bilven berharap penerbitan karya para korban Orde Baru itu bisa menjadi penyeimbang sejarah yang buram. Terlebih, hingga kini peristiwa 65 masih gelap. “Supaya generasi sekarang dan masa depan tahu. Banyak sesuatu yang diungkapkan lewat karya mereka,” katanya.

Namun, diakui bahwa masalah peneribitan buku menjadi tantangan paling berat dalam menghidupkan kembali literasi marxisme. Sebagai gambaran, buku yang dicetak supaya sampai ke tangan pembaca umum tentu harus disebar ke berbagai toko buku. Ultimus berusaha menembus toko buku besar yang menjadi tujuan utama para pembeli buku. Namun, sistem niaga yang diterapkan toko buku besar ternyata sangat merugikan penerbit-penerbit kecil seperti Ultimus. Toko buku besar memang menerima pasokan buku dari Ultimus, namun waktunya sangat singkat, paling lama hanya tiga bulan. Selain itu, mereka juga meminta potongan diskon yang sangat besar hingga 50 persen.

Untuk mensiasatinya, Ultimus tetap memasok buku bagi penerbit besar dan juga mengisi buku bagi toko-toko buku kecil yang tersebar di Bandung. Langkah ini dibarengi dengan membangun modal sosial lewat jaringan antar komunitas. Menghidupkan dan membangun jaringan ini bisa dilakukan dengan acara diskusi dengan topik marrxisme atau peluncuran buku yang biasanya digelar Ultimus sebulan sekali. Lewat jaringan inilah sebagian buku yang diterbitkan Ultimus disalurkan. Ultimus juga mengembangkan konsep penjualan buku dengan sistem online, ataupun jejaring sosial seperti facebook dan twitter.

“Dengan membangun modal sosial misi kita bisa lebih langgeng,” tegas alumnus Institut Teknologi Telkom (kin STT Telkom) yang dangrung terhadap Karl Mark dan Fredrick Engels.

Hingga saat ini, Ultimus sudah menerbitkan 80 judul buku, 50 persen buku marxisme dan 50 persen lagi buku-buku non marxis seperti sastra. Ultimus sengaja tidak menerbitkan buku-buku kanan seperti buku “cara cepat menjadi jutawan”, atau “cara masuk surga” dan sejenisnya. Tetapi Ultimus membuka ruang bagi buku-buku non politis, misalnya buku puisi atau novel cinta.

Dengan rencana kepindahan Ultimus ke Dago, dan akan fokus di bidang penerbitan, bukan berarti Ultimus tidak menjadi toko buku. Toko buku tetap jalan, namun buku-bukunya dititipkan ke berbagai toko buku, misalnya ke Toko Buku Kecil (Tobucil) Jalan Aceh, dan kebanyakan di toko buku Indonesia Menggugat (IM) Books, Jalan Perintiskemerdekaan. Kebanyakan pembeli buku terbitan Ultimus adalah anak muda tetetapi masih kalangannya masih terbatas, misalnya aktivis kampus. Jumlah koleksi buku di toko buku Ultimus mencapai 2.000 judul. Sedangkan jumlah koleksi buku di perpustakaannya mencapai 8.000 judul buku.

Bagi Belven, momen September Hitam atau G30S/PKI tidak dipungkiri makin menguatkan stigma bahwa kiri patut dibenci. Stigma itu melekat hingga kini. Dia dan para aktivis Ultimus merasakan adanya alergi dari masyarakat terutama terhadap hal berbau PKI. Stigma yang masih kuat inilah yang membuat misi Ultimus makin berat.

Dia heran, kenapa kiri harus dibenci. Padahal, esensi ajaran Marx adalah anti kemapanan, mendorong suatu masyarakat untuk berubah ke arah yang lebih baik. Bahkan sejarah mencatat, gerakan kiri berandil besar dalam mengusir kolonialisme di Tanah Air. Dengan berpegangan kepada litelatur kiri yang penuh nuansa perubahan, kaum kiri di masa perjuangan mengajak masyarakat melawan kemapanan kolonialisme.

Tetapi sejarah juga mencatat, pada akhirnya gerakan kiri ini tumbang pasca peristiwa 1965. Selanjutnya gerakan ini dicap negatif dan terlarang meskipun sejarah di balik G30SPKI masih gelap hingga kini. Maka ketika Komnas HAM menyatakan kasus pembunuhan massal 1965-1966 sebagai pelanggaran HAM berat, Bilven menyebutnya sebagai kemajuan meskipun kejadiannya sudah terjadi empat dekade lalu. Rekomendasi Komnas HAM agar membuka kasus pembunuhan massal juga dinilainya positif meskipun menimbulkan pro kontra.

Dia yakin, suatu saat kabut yang menyelimuti sejarah kelam Indonesia itu akan tersingkap. “Peristiwa 65 engga perlu lagi ditutupi, semuanya harus clear. Seandainya sekarang tidak dibuka, kelak perkembangan masyarakat akan membukanya. Itu keniscayaan sejarah,” katanya.

Para aktivis Ultimus meyakini sebuah bangsa tidak akan maju dan berubah jika tidak mempelajari literatur kiri. Pihak-pihak yang alergi terhadap kekirian justru mereka anti perubahan. Suatu bangsa tidak akan maju jika tidak belajar dari literatur kiri. Literasi mengandung nuasa perubahan dan membawa dinamika masyarakat ke arah yang lebih maju dan baik. Dengan semangat itu, Bilven dan kawan-kawannya di Ultimus akan terus mengenalkan literasi kiri. Dia berharap, sudah saatnya masyarakat saat ini tidak merasa dihantui oleh ketakutan bangkitnya komunisme. Sebaliknya, aktivis yang dicap komunis harus bangga karena sebagai pelaku perubahan. “Kita ingin mengembalikan literatur kiri yang dulu dibungkam,” tandas sarjana teknik industri yang banting stir menjadi editor buku ini.
.
Komunitas Ultimus dibentuk pada 2004 oleh Bilven dan enam orang lainnya, kebanyakan mahasiswa IT Telkom. Awalnya, komunitas ini menempati ruko kecil di Jalan Karapitan. Saat itu komunitas ini selain berjualan buku-buku kiri juga aktif membangun komunitas lewat gerakan literasi seperti diskusi, peluncuran buku, pagelaran teater dan lain-lain. Lalu pada 2005 hingga 2008, Ultimus pindah ke Jalan Lengkong Besar. Dan pada 2009 komunitas ini pindah ke Jalan Rangkasbitung. 

Bandung, 26 September 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...