Sabtu, 17 November 2012

Hijrah


Di ruangan yang mirip kamar itu, seorang lelaki memakai gamis dan sorban menjadi pusat perhatian perempuan-perempuan yang duduk lesehan mengelilinginya. Laki-laki itu bernama Muklis, dia mengaku sebagai hakim atau kadi Negara Islam Indonesia (NII). Kepada perempuan yang rupanya tengah dibaiat itu, Muklis membeberkan kebobrokan republik yang telah menjadi sarang kemiskinan dan kebodohan. “Kita harus Hijrah dari kebobrokan NKRI menuju NII.”

Di antara perempuan yang ada, salah satunya Rima sekaligus satu-satunya perempuan yang tidak berkerudung. Dia seorang mahasiswi sedikit tomboy, yang antusias juga gelisah mendengar pemaparan sang kadi. Risma sudah lama merasa prihatin terhadap ketidaksejahteraan sebagian besar rakyat NKRI. Risma merindukan negara yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada rakyatnya, khususnya kepada perempuan. Maka begitu Muklis mengungkapkan visi misi tentang tatanan baru suatu negara yang adil dan makmur, Risma pun mendapat jawaban yang selama ini dicarinya. Dia yakin NII bisa menjawab kegelisahannya.

Selanjutnya Risma dan kawan-kawan diminta untuk hijrah, atau berpindah dari suatu tempat ke tempat tertentu yang diridoi-Nya. Tugas pertama Risma setelah bertekad Hijrah adalah menggalang dana dan anggota baru demi terwujudnya negara baru.

Di tempat lain, seorang pemuda bernama Jabir baru saja keluar dari pesantren. Orangtuanya tak sanggup lagi membiayainya untuk mendalami ilmu agama. Kondisi ekonomi orang tuanya membuat Jabir harus bekerja sebagai kendek metromini. Suatu hari, Jabir tengah sibuk mencuci metromini. Seorang pria bergamis dan berpeci menghampirinya. Jabir diajak bisnis demi memperbaiki hidup yang melarat. Bisnis tersebut adalah jual beli dengan Tuhan yang imbalannya “Surga tanpa hisab.” Syaratnya, Jabir harus ikut dulu suatu pengajian. Awalnya Jabir mengabaikan ajakan itu, namun akhirnya dia bergabung juga.

Jabir menuju suatu rumah. Di dalam satu ruangan, duduk beberapa pria bergamis, bersorban, dan berjanggut dengan latar bendera hitam bertuliskan huruf Arab. Jabir tidak sendirian, ada beberapa anggota baru yang juga mendengarkan ceramah pria yang menjadi pimpinan di pengajian itu. Si pria bergamis tersebut bertanya, siapa yang mau jual beli dengan Tuhan? Jabir dan kawan-kawannya bungkam. Lalu pria itu kembali bertanya hingga yang ketiga kalinya. Jabir pun bersedia melakukan jual beli itu.

Risma dan Jabir merupakan salah satu tokoh sentral dalam film ‘Mata Tertutup’, film terbaru yang disutradarai Garin Nugroho. Film berdurasi 90 menit ini hasil kerja sama Garin dengan Maarif Institute dan Yayasan Sains Estetika Teknologi, yang diputar perdana di bioskop Jakarta pada Oktober lalu.

Seperti film-filmnya terdahulunya, film ‘Mata Tertutup’ Garin juga meyuguhkan jalan cerita yang khas Garin Nugroho yang punya metafora atau simbol yang terkait dengan makna cerita. Misalnya pada adegan untuk lakon Risma yang akhirnya kecewa terhadap NII. Suatu waktu, Risma ingin mengikuti laskar perang NII. Dia pun mengjukan diri supaya diangkat menjadi laskar oleh kadi. Namun jawaban kadi membuat Risma kecewa. “Kamu perempuan, tidak boleh menjadi laskar,” kata kadi.

Risma sejak awal prihatin dengan nasib kaum hawa di negeri ini yang selalu didominasi laki-laki. Mendapat jawaban itu, Risma sangat kecewa. Dia meninggalkan ruang latihan laskar itu, berteriak histeris sambil memukul daun-daun jendela yang dilewatinya. Ternyata, negara baru yang akan dibangunnya sama saja, memarginalkan perempuan dan menomorsatukan laki-laki.

Pada adegan lainnya di film ‘Mata Tertutup’, kekecewaan Risma makin memuncak ketika mengetahui anak-anak kadi yang masih kecil menderita sakit dan tidak terurus. Istri kadi yang selalu menunjukkan tatapan mata yang kosong bahkan terlihat prustasi ketika Risma berusaha menolong anak-anaknya yang sakit itu. Istri kadi menolak bantuan Risma, dan berteriak bahwa Risma tidak tahu apa-apa soal penderitaannya selama ini. Suatu hari, Risma mengendap-endap untuk menemui istri kadi kamarnya. Dia mendapati istri kadi tengah tidur. Namun ketika Risma berusaha membangunkannya, dia kaget karena memegang sesuatu yang basah. Risma segera menarik tangannya yang ternyata sudah berlumuran darah.

Adegan Risma yang terkejut melihat tangannya penuh darah, segera pindah ke adegan berikutnya. Entah apa yang terjadi pada istri kadi, apakah bunuh diri atau mati karena keguguran. Namun yang jelas, istri kadi menderita tekanan batin di saat suaminya tengah semangat-semangatnya mengajak orang untuk hijrah. Istri dan anak-anak kadi kelaparan ketika para pengikut suaminya tengah sibuk mengumpulkan harta untuk membangun negara baru yang dicita-citakannya.

Sejak itu, sifat pemberontak Risma kembali muncul. Bahwa kelompok yang semula melambungkan harapannya ternyata sama saja, malah menyimpan ironi yang tak termaafkan oleh nuraninya. Bahwa ayat-ayat tentang keadilan yang selalu didengungkan sang kadi ternyata telah dilanggar di rumahnya sendiri.

“NII adalah negara yang mampu menyejahterakan manusia termasuk perempuan. Tetapi nyatanya perempuan justru telah ditelantarkan,” kata Risma, ketika memperotes perlakukan kadi terhadap istri dan anak-anaknya sendiri.

Garin menuturkan, dirinya terlibat diskusi mendalam dengan Syafii Maarif tentang pembuatan film “Mata Tertutup”. Film ini mengambil bahan dari hasil riset Maarif Institute terhadap beberapa mantan dan anggota NII, serta gerakan radikal lainnya. Dari hasil riset itu, ternyata radikalisme tumbuh kembang di dunia pendidikan dari sekolah elit hingga pesantren yang notabene tempat menimba ilmu agama. Syafii Maarif mengatakan, kata Garin, tentu pemerintah tidak mungkin mengakui bahwa radikalisme itu sebenarnya telah tumbuh di institusi pendidikan. Jika pemerintah mengakui, mereka khawatir disebut gagal dalam melakukan pendidikan kebangsaan.

“Film ini berangkat dari kisah nyata,” jelas Garin, saat ditemui di sela diskusi dan pemutaran film “Mata Tertutup” di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, Bandung, Oktober lalu.

Salah satu kisah nyata misalnya ada pada adegan yang menjadi ending film “Mata Tertutup” ketika Jabir melaksanakan jual beli atas permintaan pimpinan kelompoknya. Jabir tinggal di pemukiman kumuh Jakarta. Setelah siap melaksanakan titah pemimpinnya, Jabir terlebih dahulu pamit kepada orang tuanya yang hidup miskin. Ketika Jabir melankah hendak meninggalkan kampung, temannya yang sopir metromini berusaha melarangnya. Namun Jabir bergeming. Tidak lama kemudian, terdengar suara letusan senjata. Jabir ditembak aparat.

Garin mengakui, respons penonton terhadap film ‘Mata Tertutup’ tentu tidak sebesar respons terhadap film-filmnya sebelumnya. Sebab film ini berbeda dengan genre film religius atau edukasi populer Indonesia yang memang lagi naik daun. Film ini bersifat membongkar pemahaman keagamaan, pemahaman yang keliru terhadap suatu keyakinan. Menurutnya, film pembongkaran ini hampir tidak ada dalam sinema Indonesia. Padahal pembongkaran perlu sebagai kritik terhadap diri kita sendiri. Lewat film pembongkaran diharapkan muncul pemahaman bagaimana cara dialog agama. “Dialog ini memerlukan wawasan dan keberanian.”

Garin juga sudah menduga bahwa film ini tidak akan sukses di bioskop. “Di Indonesia, film jenis ini akan kurang disukai, tapi perlu.” Terlebih saat ini film Indonesia lagi asyik dengan tema yang bersifat syiar-populer. Misalnya syiar baik dan buruk, edukatif dan berakhlak. Contohnya, film yang mengisahkan perjuangan seseorrang dari titik nol sampai sukses seperti di cerita Laskar Pelangi dan Negeri Lima Menara. Film dengan metode populer ini, kata Garin, tentu akan disukai oleh ibu-ibu. Mereka akan berkata kepada anak-anaknya “kamu harus berjuang seperti itu dengan berpegangan kepada agama, akhlak, pendidikan, baik, buruk, dosa, neraka.”

Dari segi ongkos produksi, sebenarnya pembuatan film “Mata Tertutup” tidak memakan modal besar. Tetapi isinya mengangung nilai edukasi yang tidak kalah jika dibandingkan dengan film metode populer, bahkan mengandung spirit intelektual keberagamaan.

Baginya, film “Mata Tertutup” tidak harus ditonton oleh jumlah penonton yang membludak di bioskop. Film ini hanya memerlukan ruang diskusi kecil untuk membedahnya seperti yang dilakukan di GIM. Lewat ruang diskusi kecil akan mampu memberi pengalaman agama yang mendalam. “Ruang bioskop tidak mampu memberikan pengalaman agama”.

“Film ini tidak akan terlalu populer, film hanya perlu ruang diskusi kecil.” Sehingga setelah pemutaran film bisa dilakukan diskusi yang melibatkan para ahli seperti psikolog dan alumni NII. “Supaya penonton makin terbuka matanya.” Garin dan timnya juga melakukan diskusi dan pemutaran film “Mata Tertutup” dengan cara road show ke kota-kota, terutama kota pendidikan seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Depok, Solo, Jogja. Sasarannya kota yang memiliki banyak universitas dan SMA elit. “Sasarannya muda yang pintar-pintar. Karena radikalisme tumbuh di ruang-ruang pendidikan,” katanya.

Garin tidak takut dengan konsekuensi akibat pembuatan film “pembongkaran” tersebut. “Soal ancaman itu bagian dari konsekuensi sutradara.” Menurutnya yang penting selama pembongkaran tidak ada maka pertumbuhan intelektual keberagamaan akan serba sungkan untuk melakukan kritik, tidak dewasa.

Di sisi lain, selama ini orang tahu radikalisme itu lewat bacaan saja. Maka dengan lewat film yang berangkat dari kisah nyata, penonton bisa dikenalkan bagaimana cara rekruitmet gerakan radikal. Misalnya bagaimana cara mengetahui suatu komunitas itu radikal atau tidak. Garin mengusulkan supaya organisasi agama tidak hanya berlomba bentuk film populer, tetapi harus membuat film civil education yang memuat pendidikan kewarganegaraan yang terkait nilai-nilai beragama.

“Film seperti ini hampir tidak ada sekarang. Sebenarnya film 80-an lebih maju lagi. Sumanjaya saja pakai tema atheis kok di filmnya. Bayangkan bagaimana kalau kita sekarang pakai tema atheis,” kata sutradara film Daun di Atas Bantal ini.

Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, film yang mengusung semangat otokritik juga jarang ditemui di luar negeri. “Mata Tertutup” sendiri pernah diputar di Belanda. Hasilnya, orang Belanda banyak yang terkaget-kaget. Di luar negeri rupaya otokritik terhadap pemahaman keagamaan termasuk isu sensitif.

Dalam istilah Syafii Maarif, film ini menggambarkan bagaimana orang-orang yang “merampok ayat-ayat untuk kejahatan,” dan “membajak pesan agama.” Tokoh Muhammadiyah ini menyatakan bahwa ketidakadilan adalah penyebab munculnya radikalisme di Indonesia. Garin sendiri melihat ada dua jenis radikalisme. Pertama, radikalisme pragmatis-hedonis yang bentuknya korupsi yang dilakukan elit politik atau elemen negara. Radikalisme jenis ini bisa menular dan menjadi kebiasaan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai budaya. Intinya, bagaimana cara mendapatkan keuntungan ekonomi atau survival secara instan. Kekerasan aparat negara terhadap rakyatnya juga masuk dalam konteks radikalisme jenis ini.

Jenis radikalisme kedua adalah radikalisme agama seperti yang diungkap dalam film “Mata Tertutup”. Namun dua jenis tadikalisme ini tumbuh pada sistem pasar yang berlaku saat ini di Indonesia, sistem yang penuh dengan ketidakadilan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...