Rabu, 22 Agustus 2012

Mudik


tripadvisorindonesia.com

Sore itu di Jalan Raya Nagreg, sebuah sepeda motor melaju sangat pelan di tengah jalanan yang panas, berdebu dan penuh dengan lautan kendaraan. Motor itu tampak dikendarai seorang bapak yang membonceng seorang anak dan istrinya. Si anak yang masih berumur belasan bulan itu duduk diam di antara ayah dan ibunya. Bagian belakang motor dilapisi dengan kayu yang menahan kardus yang mungkin berisi oleh-oleh, baju lebaran, dan entahlah.

Entah ke daerah mana tujuan si pengendara motor itu, yang jelas mereka tengah berada dalam perjalanan mudik bersama ratusan ribu kendaraan yang menghubungkan Jabar bagian barat dengan Jabar bagian timur itu. Tujuan mereka yang terjebak kemacetan, sama, yakni mudik menuju kampung halaman.

Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, jelang lebaran Nagreg kembali menjadi lautan kendaraan para pemudik. Mungkin Nagreg menjadi salah satu jalur di Indonesia yang lalulintasnya paling sibuk di dunia, di samping jalur lainnya seperti jalur tengah dan jalur utara alias Pantura.

Tradisi mudik di Indonesia tidak terlepas dari perayaan Idul Fitri—istilah Indonesianya “Lebaran”—setelah sebulan melakukan ibadah puasa. Konon, tradisi menyambut lebaran ini hanya ada di Indonesia. Di negara lain Idul Fitri dirayakan juga, tetapi tidak segegap gempita lebaran di Indonesia. Jalaluddin Rakhmat dalam buku Islam Aktual (1997) menyatakan, ”Hanya di Indonesia, kita akan menemukan arus mudik, penumpang yang berdesakan, wajah-wajah yang terseok kelelahan, tentengan yang berat, dan mata yang berbinar-binar karena kembali ke kampung halaman”. 1

Dalam tradisi mudik terjadi proses perpindahan penduduk secara masif dari kota ke desa atau kampung halaman. Setiap jelang lebaran ribuan pemudik berjejalan di terminal, di stasiun kereta api, di pelabuhan, di bandara. Bagi yang menggunakan jalur darat, selanjutnya mereka berjejalan di jalanan, tak peduli harus berdesakan di dalam bus yang penuh sesak, tak peduli menginjak jalanan terjal, berdebu, berkelok, naik, turun seperti jalur selatan Jabar di mana si bapak dan anak istrinya akan melintas di sana.

Sejauh mana pun tempat tujuan, seberat apa pun medan yang harus diarungi, para pemudik akan menempuhnya untuk mencapai kampung halaman. Terlebih bagi mereka yang sudah lama berada di kota dan hingar bingarnya, sudah lama meninggalkan kampung halaman.

Kampung halaman atau tempat kelahiran sangat menarik bagi para pemudik yang tinggal di kota atau di tempat lain selain kampung asal mereka. Di kampung halaman ada fragmen masa kecil yang sulit dilupakan, mungkin masih ada orang tua yang bisa dicium tangannya, ada saudara yang berkumpul, ada teman bermain di masa kecil, dan ada tradisi yang tidak ada di kota. Semua itu menjadi daya tarik yang membetot para pemudik. Mereka rindu berkumpul dengan sanak saudara dan tetangga setelah dilupakan oleh kehidupan kota yang sibuk.

Daya tarik itulah yang membuat para pemudik mau mengarungi lautan kendaraan yang macet dan melelahkan. Bahkan Tanjakan Nagreg yang dikenal sangat curam dan berkelok tak menghalangi para pemudik, termasuk pemudik yang memakai kendaraan roda dua yang justru mendominasi. Bahu-bahu Jalan Nagreg menjadi lautan motor, di bagian tengahnya berjajar kendaraan roda empat termasuk bus. Meski panjang kemacetan kadang menjuntai dari Bandung hingga Gentong yang jaraknya puluhan kilometer, para pemudik yang melintasi jalur selatan itu tetap setia berada di jalan menanti roda bisa berputar, meski hanya satu putaran saja.

Niat para pemudik yang kuat menuju kampung halaman mengalahkan resiko kecelakaan yang selalu mengintai di jalan raya. Mereka sadar, bahwa kematian berjarak tipis dengan kehidupan. Maut bisa datang kapan saja, apalagi di jalan raya. Kebahagiaan hidup bisa sekejap mata saja berubah menjadi mala, seperti tercermin dalam syair singkat yang dituli penyair Sitor Situmorang berjudul Malam Lebaran: “Bulan menggantung di atas kuburan.” Sitor yang juga mengalami bagaimana rindunya kembali ke Danau Toba2, lewat puisi Malam Lebaran seperti ingin mengingatkan bahwa kematian pun mengintai di malam Hari Kemenangan. Namun lewat mudik, resiko kecelakaan itu seolah dikesampingkan kalah dengan semangat menggebu untuk pulang.

Saking hebatnya pengaruh pulang atau mudik, para penyair tak melewatkan untuk diabadikan ke dalam puisinya. Penulis esai Asarpin mengungkapkan, puisi-puisi yang menyinggung pulang kampung setidaknya ada sejak 1950-an, berlanjut hingga tahun 1970-an. “Begitulah perjalanan puisi modern Indonesia. Persoalan rumah dan pulang akan terus merundung sebagian penyair.” Lanjut Asarpin, sampai pada 1980-an, daya tarik puisi pulang kampung semakin kencang, terus menggema hingga era postmodernisme. 3 Salah satu puisi tentang pulang yang dikutip Asarpin misalnya Surat Dari Ibu karya penyair Asrul Sani:



Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
pikiran-rakyat.com
selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutupi pintu waktu-lampau

Jika bayang-bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
bolehlah engkau datang padaku

Kembali pulang anakku sayang
kembali ke balik malam
jika kapalmu telah rapat ke tepi
aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari 4

Dari catatan Asarpin, bisa disimpulkan bahwa tradisi mudik di Indonesia sudah ada sejak dulu dengan bukti pemotretan yang dilakukan para penyair lewat puisi-puisinya di masa lalu. Dan hingga kini tradisi mudik terus lestari dengan jumlah yang makin masif. Tradisi ini tentu tidak bisa dicegah, bahkan dicemooh meski diakui adanya absurditas mengingat mobilisasi masa yang besar dengan resiko yang besar. Tahun ini angka kecelakaan yang dirilis Korps Lantas Polri mulai H-7 hingga H-2 mencapai 2.217 kasus, meninggal dunia 345 orang, luka berat 364 orang dan luka ringan 1.385 orang. Kecelakaan paling banyak disumbang pengendara kendaraan roda dua yang mencapai 69 persen atau sekitar 1.279 kasus. 5

Namun mudik bukanlah mobilisasi masa untuk pemilu apalagi pilkada. Mudik merupakan kebalikan dari urbanisasi, meski saat arus balik keran urbanisasi selalu menganga lebar. Mudik adalah tradisi milik dan diperlukan rakyat yang harus difasilitasi, bahkan dimanjakan dengan berbagai kemudahan-kemudahan. Mudik atau pulang kampung juga hak setiap orang, termasuk para pemudik yang menggunakan motor. Pemudik bermotor tidak perlu dilarang, apalagi ditilang, mengingat motor adalah kendaraan yang murah meriah dan mudah didapatkan. Memang ancaman kecelakaan pengendara motor lebih tinggi dibandingkan dengan roda tiga atau lebih. Tetapi akses untuk mendapatkan motor saat ini begitu mudah, bahkan tidak perlu uang muka, sehingga motor begitu menjamur di jalanan. Akan ironis jika pemerintah atau aparat melarang pemudik bemotor sementara pemerintah sendiri yang membuka akses memiliki motor. Selain itu moda transportasi umum yang ada bisa dipastikan tidak akan menampung para pemudik jika pemudik bermotor dilarang.  Maka motor adalah pilihan pemudik yang harus dihormati selama tidak ada pilihan lain yang bisa dipiliih pemudik.

Di sisi lain, tradisi mudik juga menjadi berkah bagi desa yang sudah lama ditinggal pergi sebagian warganya. Kehidupan desa yang sepi, bahkan cenderung monoton, akan kembali berdenyut ketika para pemudik tiba di kampung halaman. Uang yang di bawa para pemudik seolah menjadi darah segar bagi urat nadi desa. Kehidupan desa menjadi hangat dan bergairah, senyum orang tua yang ditinggal anaknya merantau kembali mengembang. Anak-anak desa begitu antusias mengajarkan permainan tradisional kepada anak-anak kota yang dibawa para pemudik. Kakek atau nenek akan bercerita kepada anak cucunya yang dari kota. “Jika kapalmu telah rapat ke tepi aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari.” 6

Dan mudik pun mewariskan tradisi dari generasi ke generasi, atau minimal mengisi memori modern kota dengan tradisi desa.



Catatan kaki:

Rabu, 01 Agustus 2012

RA Kosasih, Seniman Sastra Komik

RA Kosasih. TEMPO/Jacky Rachmansyah
Komik bisa disebut pintu gerbang untuk memulai kebiasaan membaca. Banyak orang mengaku suka membaca diawali dengan membaca bacaan yang ringan-ringan seperti komik, selanjutnya bergerak memburu bacaan yang lebih berat, misalnya novel yang murni berisi kata-kata tanpa gambar. Lewat komik, kata-kata dan gambar menyatu hingga melahirkan imajinasi. Kata dan gambar di dalam komik membimbing si pembaca untuk menikmati jalan cerita. Gambar di dalam komik seperti hidup layaknya tv portable.

Nah, ngomong-ngomong soal komik, Indonesia juga memiliki seniman ternama yakni seniman komik wayang Raden Ahmad (RA) Kosasih yang telah meninggal Selasa, 24 Juli 2012. RA Kosasih telah menciptakan ratusan komik wayang yang telah dibaca berbagai generasi. Entah berapa puluh generasi yang menyukai membaca gara-gara komik wayang RA Kosasih. Maka bisa disimpulkan bahwa RA Kosasih ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa lewat komik yang melahirkan kebiasaan membaca.

mahabharata_war.jpg kmrao.wordpress.com
Pendiri situs KomikIndonesia.com, Andy Wijaya, menganggap wafatnya RA Kosasih sebagai kehilangan besar bagi jagat komik Indonesia. “Dia kami sebut Bapak Komik Indonesia,” kata Andy, seperti dikutip TEMPO.CO, Selasa, 24 Juli 2012. Tempo melaporkan, RA Kosasih meninggal di usia 93 tahun sekitar pukul 01.00 WIB, Selasa, 24 Juli 2012, di rumahnya di Jalan Cempaka Putih III Nomor 2 Rempoa, Ciputat.

Wafatnya pria kelahiran Bogor itu tentu saja menjadi pemberitaan media massa. Banyak yang menaruh hormat dan merasa kehilangan. Meski begitu, meninggalnya sang komikus diyakini tidak akan membuat karya-karyanya ikut mati dan terkubur.

“Karya-karya RA Kosasih begitu fenomenal. Usia karyanya tak akan pernah mati. Beliau boleh mati sebagai manusia. Tetapi karyanya akan tetap hidup,” ungkap Rois Am Majelis Sastra Bandung yang juga agen penjual komik karya RA Kosasih, Mat Don.

Seperti yang lainnya, Mat Don mengaku sangat kehilangan almarhum. Meskipun hanya mengenal almarhum lewat karya-karyanya. Pria yang juga pernah menjalani profesi wartawan di beberapa media ini menilai, komik karya RA Kosasih memiliki ciri khusus yang ekslusif, yakni mengandung unsur sastra. Maka Mat Don menyebut karya RA Kosasih sebagai sastra komik. “Beliau bukan hanya pengembang komik wayang tetapi juga pengembang sastra komik yang konsisten," tambahnya.

Krishna_epiphany.jpg arryavisbrown.homestead.com
Disebut sastra komik, karena karya-karya RA Kosasih mengandung etika dan pelajaran budi pekerti selain selain memuat gambar cerita wayang. Ajaran sastra Hindu dan sastra Jawa-Sunda tradisional mampu dikemas RA Kosasih dengan bahasa yang sederhana tanpa kehilangan maknanya.

Komik RA Kosasih yang mulai melejit pada era 1930-an. Kosasih menekuni komik dengan genre tersendiri, yakni wayang. Kata Mat Don, Kosasih juga berhasil memancing seniman komik Indonesia lainnya untuk membuat komik, meski tidak harus komik wayang. Buktinya, setelah komik wayang munculah genre komik berikutnya, yakni komik silat yang lahir dari generasi komikus selanjutnya.

Namun setelah era RA Kosasih dan pasca komik silat oleh generasi berikutnya, nampaknya belum ada lagi komik tanah air yang berpegangan kepada tradisi dan sejarah. Terlebih saat ini dunia komik didominasi oleh komik-komik asing terutama komik Jepang.

“Saya belum lihat lagi ada genre baru. Ya mudah-mudahan ada lagi karena wayang kan ciri khas komik Indonesia," kata pria yang memiliki koleksi ratusan judul komik wayang karya RA Kosasih.

Di sisi lain, Mat Don yang membuka kios buku di Komunitas Kebon Seni Tamansari Bandung ini memiliki pengalaman khusus pada saat menjelang meninggalnya RA Kosasih. "Setahun ini komik wayang RA Kosasih lagi diburu," katanya. Para pencari komik terutama datang dari kalangan usia 40 tahun ke atas. "Mungkin untuk nostalgia dan mengajarkan nilai-nilai yang ada pada komik kepada anak-anak cucunya. Ya supaya senang baca juga. Penjualan paling hebat terjadi Juni kemarin.”

Mat Don menjual komik karya RA Kosasih yang terdiri dari ratusan judul. Satu judul terdiri dari beberapa seri yang harganya antara Rp10 ribu hingga Rp125 ribu. Karya RA Kosasih yang paling monumental dan paling dicari adalah komik berjudul Mahabharata seri A dan B, sebuah epos dari India. "
Sampai hari ini, setelah dikabarkan RA Kosasih meninggal, makin banyak yang cari terutama Mahabharata," ungkapnya.

Komik Mahabarata terdiri dari dua seri dan dua edisi. Edisi softcover Rp55 ribu dan edisi hardcover Rp180 ribu. Komik RA Kosasih lainnya yang juga banyak di cari berjudul Barathayuda, Pandawaseda, Parikesit, Ramayana, Wayang Purwa, Arjuna, dan lainnya.

RA Kosasih memulai kariernya pada penerbit Melodi di Bandung. Beberapa karyanya ternamanya juga diterbitkan oleh Penerbit Maranatha. Pada dasawarsa 1990-an karyanya diterbitkan ulang penerbit Elex Media Komputindo dan penerbit Paramita, Surabaya.

Komik+RA+Kosasih01.jpg thegreatindianperformance.wordpress.com
You +1'd this publicly.

Selamat Jalan Bapak Kosasih......
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...