Jumat, 26 Desember 2014

Cetakan Kedua Buku Bandung Lautan Api Lebih Provokatif

Buku sejarah Bandung Lautan Api (BLA) berjudul “Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung Untuk Kedaulatan” kembali dicetak. Meski tidak ada revisi atau tambahan data yang baru, pada cetakan kedua ini cover buku lebih provokatif, didominasi warna merah dan hitam.

“Cover bukunya lebih provokatif memang, jadi seperti buku-buku kiri yang kebanyakan berwarna merah dan gelap,” kata tim penerbit, Tubagus Adi, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (18/1/14).

Buku ini diterbitkan hasil kerja sama Bandung Heritage Society dengan Balai Purbakala, Nilai Sejarah dan Tradisi Jawa Barat. Pada cetakan kedua, jumlah buku yang dicetak sebanyak 1.000 eksemplar. Buku setebal 254 halaman ini dijual 60 ribu rupiah.

Tubagus menuturkan, penerbitan buku yang cetakan pertamanya tahun 2012 ini dilatarbelakangi minimnya pengetahuan tentang peristiwa besar BLA. Di kurikulum sejarah, peristiwa BLA hanya disampaikan sekilas. Padahal BLA merupakan salah satu tonggak berdirinya bangsa Indonesia di tengah ancaman kembalinya penjajah Belanda, Inggris, dan Jepang.

Menghadapi kenyataan  itu, Bandung Heritage Society melakukan gugatan. Bukan dengan jalan hukum, tetapi menggugat dengan menyusun fakta sejarah dan menjadikannya buku.  Maka dibentuklah tim penulis yang terdiri dari Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo,Ummy Latifah Widodo, dengan penyelia Suwarno Darsoprajitno.

Tim bertugas meriset ulang peristiwa BLA. Waktu itu, para narasumber yang terlibat BLA sebagian masih hidup, di antaranya Jenderal Besar TNI (Purn) AH Nasution yang juga menuliskan kata pengantar, lalu Ibu Kasur, dan pelaku sejarah lainnya.

Buku ini merangkum peristiwa sejarah yang terjadi pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga 1949, yang meliputi agresi militer Belanda, pembakaran Bandung, pengungsian warga Bandung dan kembalinya pengungsi ke Bandung.

Banyak persitiwa sejarah yang direkam dalam buku ini, yang tidak ada di catatan sejarah lainnya. Misalnya, pencipta lagu “Halo-halo Bandung” selama ini dikenal diciptakan oleh Ibu Kasur. Padahal Ibu Kasur menjelaskan, lagu “Halo-halo Bandung” sudah muncul dalam perjuangan masa itu. 
Penciptanya para pejuang yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bukan hanya orang Bandung saja. 

Buktinya, dalam lirik lagu terdapat syair “sudah lama beta”, beta sendiri berasal dari bahasa Batak.
Buku ini juga merekam bahwa penyiaran Proklamasi Kemerdekaan RI melalui radio pertama kali terjadi di Bandung, lewat radio Nirom di Tegalega. Waktu itu, Indonesia dicengkram Inggris, berikutnya Jepang.

Selain itu, ada adegan perobekan bendera Belanda yang berkibar di sekitar Jalan Asia Afrika. Pelaku perobekan adalah Endang Karmas dan Mulyono, yang berusaha merobek warna biru di bendera merah putih biru Belanda agar menjadi bendera merah putih. Peristiwa ini mirip dengan upaya perobekan bendera Belanda di Surabaya.

 “Di Surabaya merobek bendera mendapat tepuk tangan. Di Bandung, merobek bendera mendapat tembakan,” kata Tubagus, mengulas isi buku.

Fakta lain, kata Tubagus, buku merekam aksi herois dari seorang perempuan Bandung, Weli, yang memenggal tubuh perwira Jepang dengan sekali tebasan samurai. “Ibu Weli hingga kini masih ada,” kata Tubagus.

Sayangnya, buku ini hanya sedikit mengulas peristiwa pengungsi yang kembali ke Bandung pasca BLA. Waktu itu, setelah ditinggalkan mengungsi Bandung seperti kota mati. Karena itu, ada tim dari Bandung Heritage yang tengah melakukan riset di Belanda. Hasil riset rencananya akan disusun dalam buku “Saya Pilih Mengungsi “ jilid 2. “Kami akan launching buku kedua saat ulang tahun BLA Maret nanti,” kata Tubagus.

Sabtu, 06 Desember 2014

Wakil Rakyat di Kandang Monyet

Tepat pukul 09.00 WIB, seniman Isa Perkasa sudah berada di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat, Senin (3/11). Ia berdandan layaknya pejabat atau anggota dewan, memakai setelan formal, jas abu-abunya menutupi kemeja putihnya yang berdasi, plus celana katun hitam.

Untuk menambah kesan pejabatnya, pelukis berambut gondrong ini memakai peci hitam dan sepatu kulit. Ia lalu naik ke atas perahu menuju kantornya yang berada di pulau tengah kolam Kebun Binatang. Di pulau buatan itu tumbuh beberapa pohon di mana monyet-monyet bermain.

Tepat di depan kandang monyet yang berbentuk rumah-rumahan, terdapat meja kerja yang menampung buku kerja dan satu sikat pisang ambon yang ranum. Sambil membuka-buka buku kerjanya, pelukis lulusan FSRD ITB itu lahap menyantap pisang itu. Saat itulah dua ekor monyet bergelantungan di atas pohon dan menimbulkan suara berisik. Isa kemudian melemparkan satu sisir pisang ke arah mereka.

Acara “Ngantor di Kandang Monyet” ini sebagai kritik seniman terhadap kegaduhan politik yang terjadi di negeri ini pasca Pemilihan Presiden 2014, misalnya kegaduhan antar dua kubu di DPR.

“Banyak sekali sekarang yang merindukan bisa berkantor di gedung DPR. Ide ngantor di kandang monyet itu dari situ. Silahkan saja tafsirkan,” terang Isa Perkasa, sebelum mulai “ngantor”. Selanjutnya ia akan ngantor selama lima hari ke depan, berangkat mulai pukul 09.00 WIB dan pulang pukul 16.00 WIB.

Aksi Isa tersebut bentuk sindiran terhadap para wakil rakyat yang kini sibuk dengan urusannya sendiri, padahal rakyat yang memilih mereka berharap punya wakil rakyat yang amanah, yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun pasca pelantikan beberapa waktu lalu, belum satu pun agenda untuk rakyat disentuh para anggota dewan itu. 

“Harusnya DPR mulai bekerja, tapi ini malah terus konflik. Ini seperti melihat drama monyet,” tambah Rahmat Jabaril, seniman yang mendampingi Isa Perkasa.

Rahmat menjelaskan, aksi Ngantor di Kandang Monyet ini sangat multi tafsir, bisa sebagai kritik terhadap pejabat negara, terhadap anggota dewan, maupun terhadap prilaku manusia yang berprilaku binatang.

Dalam konteks tersebut, Isa yang pada 1999 menggelar pameran lukis bertajuk  “Tragedi Buah Semangka” di Pacific Bridge Gallery dan Sproul Plaza Barkley Univesity, Amerika Serikat, itu merujuk pada prilaku hewani yang ditunjukkan manusia.

Di masyarakat, kata “monyet” jadi umpatan untuk prilaku yang buruk dan korup. Menurut Rahmat, prilaku pejabat atau anggota dewan saat ini sudah mendorong pada prilaku hewani yang akhirnya memancing rakyat untuk mengumpat, “dasar monyet!”

“Hakekat binatang yang dimaksud Isa Perkasa, bahwa ada pejabat yang tidak menjadi manusia yang sesungguhnya, yang kehilangan daya humanitasnya. Pejabat ini makan harta yang bukan haknya yang artinya makan sesama. Prilaku-prilaku ini kan sebenaranya hanya dilakukan binatang,” terangnya.

Dalam perform-nya, Isa juga dibekali payung hitam dan makanan kesukaan monyet, yaitu pisang. Hidup monyet sebenarnya monoton, bergelantungan lalu makan pisang. Jika ada pejabat yang hidupnya monoton, yaitu hanya menumpuk kekayaan dan kekuasaan, maka ia tidak jauh berbeda dengan monyet.

“Negeri ini sangat kaya, tidak bisa dikendalikan dengan gaya-gaya monyet. Semua rakyat Indonesia harus meresakan kekayaan negeri ini. Selama ini kekayaan itu hanya dinikmati segelintir elit kekuasaan,” tandasnya.

Performance art yang menarik perhatian pengunjung Kebun Binatang Bandung tersebut bagian dari rangkaian acara kesenian bertajuk Annual Jeprut: Jeprut Permanen yang mulai digelar sejak 31 Oktober hingga 9 November mendatang.

Ruwatan Gedung Sate

Sejumlah orang berpakaian adat duduk bersila menghadapi hamparan sesaji dan tungku yang menyala. Mereka sedang meruwat Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat. dengan ruwatan, kantor pemeritah Provinsi Jawa Barat itu diharapkan jauh dari nafsu kekuasaan.

Ruwatan Gedung Sate ini bukan acara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melainkan pembukaan rangkaian acara kesenian bertajuk “Anual Jeprut” yang digelar seniman Bandung, 31 hingga 9 November mendatang.

Meski ritual ini bersifat kesenian, namun tetap saja kental dengan nuansa mistik. Nuansa ini diperkuat dengan aroma kemenyan  yang tajam yang berasal dari 16 tungku pedupaan, sehingga bagian depan Gedung Sate seperti berkabut. Lalu seorang sinden melantunkan tembangnya, diiringi gamelan yang ditabuh para pemuda berpakaian hitam dan ikat kepala batik.

Ritual yang dimulai pukul 14.00 WIB ini dilakukan sekitar 30 orang, tampak para seniman “Anual Jeprut” Tisna Sanjaya, Wawan Husen, Heri Dim, penari Ine Arini, pelukis Isa Perkasa, Yusef Muldiana, dan lainnya.

Mereka bersila membentuk lingkaran, menghadapi hamparan sesaji, pedupaan yang menyala, bongkahan kemenyan, kembang setaman, tumpeng nasi kuning, telur ayam, batang tebu dan bambu kuning, kelapa muda yang ditusuk kujang (senjata tradisional Sunda), dan berbagai rempah-rempah. Tak ketinggalan, sisingaan dan kuda lumping pun ikut melengkapi upacara. 

Dua orang pria berpakaian putih kemudian melantunkan doa dan salawat yang diiringi petikan kecapi, menggantikan tembang sinden. Ritual ini menarik warga yang melintas di depan Gedung Sate. Puluhan wartawan sibuk mengabadikan momen langka ini.

Salah satu yang menjadi pusat perhatian adalah bergeletakannya delapan orang yang dari kepala sampai ujung kaki ditutupi kain putih, seperti kain kafan. Di antara sosok-sosok yang menyerupai mayat itu duduk seorang perempuan dan laki-laki dengan tatapan lulus ke depan sambil memegangi setangkai daun pisang.

Pemimpin ruwatan, seniman tari tradisional yang juga dosen STSI Bandung, Mas Nanu Muda, menjelaskan ngaruwat merupakan upacara yang penuh simbol dan makna, sebuah tradisi warusan leluhur atau kearifan lokal yang menyatukan manusia, alam, dan penciptanya.

Dalam ruwatan ini selalu diwarnai dengan prosesi ngukus (membakar kemenyan) yang menghasilkan asap mengepul dan menimbulkan bau wangi. Prosesi ngukus menggambarkan bentuk dari doa yang dipanjatkan; doa ini terbang seperti asap menuju langit. Doa yang baik akan menebarkan wewangian atau kebaikan. Kejahatan akan dibakar dalam tungku yang menyala.

Secara harfiah, ngaruwat berasal dari kata ruwat yang berarti bebas atau lepas. Jadi kata ngaruwat berarti membebaskan atau melepaskan. “Yang diruwat adalah makhluk yang semula hidup mulia atau bahagia kemudian menjadi hina dan sengsara. Untuk membebaskannya ia harus diruwat, harus dibebaskan dari kesengsaraan dan kehinaan,” jelas Nanu.

Dengan kata lain, ngaruwat merupakan upacara berisi doa menolak bala. Tradisi ini kini mungkin asing bagi warga kota. Gedung Sate sengaja dipilih menjadi tempat yang diruwat karena menjadi simbol pemerintahan. Pemerintah merupakan unsur penting dalam negara. Kepada pemerintah, rakyat memberikan mandatnya.

Lewat pemberian mandat itu rakyat berharap pemerintah bisa mendistribusikan kemakmuran dan kebahagiaan. Tetapi yang terjadi saat ini justru sebaliknya, para elit pemerintah sibuk dengan kepentingannya sendiri. Rakyat dibiarkan sengsara, terbelit urusan ekonomi sehari-hari, dipusingkan dengan korupsi dan hingar-bingar politik.

Karena itu menurut Nanu pemerintah harus diruwat, harus didoakan agar nafsu berebut kekuasannya hangus dalam tungku, lalu berubah menjadi asap yang wangi seperti kemenyan. Sesuatu yang wangi akan menghasilkan kebaikan. Pemerintah yang wangi akan meninggalkan sifat jahatnya, dan menggantinya dengan sifat kasih sayang, lalu membuat kebijakan demi kebahagiaan rakyatnya.

“Kita melakukan ruwatan di Gedung Sate supaya pemerintah memberikan kemakmuran kepada rakyatnya, memberi kebahagiaan, memberi yang manis-manis, jangan yang pahit-pahit. Lewat ruwatan ini kita berdoa agar kebaikan pemerintah terbuka dan keburukan pemerintah ditutup,” terangnya.

Jumat, 05 Desember 2014

Cerita tentang Pos & Surat

WILLIAM Shakespeare mungkin harus merombak total kisah Romeo and Juliet-nya jika plot SMS masuk ke dalam struktur ceritanya. Tapi pada masa itu mungkin belum terpikirkan teknologi handphone. Penyampaian pesan sangat mengandalkan jasa pos. Maka akibat terlambatnya tukang pos, Romeo and Juliet mengakhiri hidupnya secara tragis.

Sastrawan Hawe Setiawan menyatakan, pos sangat besar pengaruhnya terhadap peradaban manusia dan menjadikan plot yang membuat karya Shakespeare makin tragis. “Kalau plot SMS masuk Romeo and Juliet, bisa hancur ceritanya. Karena Juliet tinggal SMS Romeo, tanpa perlu menunggu tukang pos,” kata Hawe, di Bandung, baru-baru ini.

Tidak sedikit musisi membuat lagu bertema pos. The Beatles membuat lagu Please Mr. Postman, Sting membuat lagu Message In A Bottle, dan di Indonesia Vina Panduwinata menyanyikan laguSurat Cinta. Di dunia sineas ada The Postman yang dibintangiKevin Costner; film ini menceritakan begitu heroik-nya tukang pos.

Banyak sastrawan besar yang menulis pos menjadi tema utama karya mereka. Misalnya Antonio Skármeta menulis novel Il Postino (The Postman); bahkan pujangga Khalil Gibran menulis surat cintanya kepada kekasihnya May Ziadah yang tak pernah ditemuinya hingga akhir hayatnya.

Tidak ketinggalan sastrawan Indonesia menjadikan pos sebagai plot cerita. Ramadan KH menulis roman Ku Antar Kau ke Gerbangyang menyajikan adegan message in a bottle dan menghanyutkannya ke kali. Botol tersebut semacam tukang pos yang mengantarkan surat kepada siapa saja.

Hal itu menunjukkan betapa besar pengaruh pos dalam kehidupan sehari-hari, bahwa Message In A Bottle tidak hanya menjadi kebudayaan barat, tetapi juga terjadi di Indonesia. “Message In A Bottle menjadi metafor bagi penulis. Kita menulis tanpa tahu siapa yang akan membacanya,” kata Hawe yang juga dosen sastra di Universitas Pasundan Bandung.

Editor dan juga penerjemah sastra ini mengatakan, kini peran pos sebagai jasa penyampai pesan digantikan teknologi handphone dan internet. Perubahan ini menimbulkan transformasi besar dari era pra-digital menuju digital. Akibatnya banyak aspek kehidupan yang tereduksi, di antaranya peran pos dalam kehidupan manusia.

Salah satu aspek yang tereduksi adalah budaya menulis surat dengan tangan langsung lalu dikirim melalui kantor pos. Untuk menulis surat pribadi, entah surat cinta ataupun surat kaleng, si penulis harus melewati proses panjang. Mulai dari mengukir tulisannya sebaik mungkin—hingga melahirkan seni kaligrafi—bahkan untuk menulis surat cinta, penulis surat harus membuka-buka buku puisi.

Usai menulis surat, penulis surat harus belajar seni melipat dan memasukkan surat ke dalam amplop. Lalu ia berangkat menuju kantor pos. Setelah surat dikirim ia harus menunggu beberapa hari untuk mendapatkan jawaban atas suratnya.

Semua proses atau tahapan menulis surat itu tereduksi di era digital ini. Semuanya diringkas, mulai dari menulis tangan, berjalan ke kantor pos, antrean membeli perangko atau menunggu giliran dilayani petugas pos, hingga hilangnya landscape pria tukang pos yang memakai sepeda dengan dua kantong surat di kedua sisinya. Dan peralatan pos seperti timbangan manual, mesin telek, telegraf, mesin tik, bus surat pun harus diparkir di museum karena tak lagi sesuai dengan jaman.

Di sisi lain, transformasi ini memunculkan budaya baru. Pesan yang dikirim di era digital bisa tiba seketika. Tidak ada lagi proses mengirim surat yang panjang, tidak perlu lagi tergantung pada jadwal pengiriman surat yang dibuat kantor pos. Birokrasi dipangkas; jarak, ruang dan waktu makin ringkas.

“Jaman pos kita tidak mungkin bisa ngirim surat jam 7 malam. Kita harus menunggu kantor pos buka. Sekarang, jamannya email, kita menjadi real time, kapan pun bisa dilakukan,” kata Hawe.

Istilah real time sendiri muncul di era digital ini sebagai pengganti istilah time sebelumnya. Di jaman real time segala sesuatu dituntut serba cepat, banyak orang yang terburu-buru demi efisiensi. “Jika jaman pos kita mengutamakan keindahan, sekarang kita mengutamakan efisiensi. Tak ada lagi seni menulis indah dan melipat surat.”

Sikap real time yang menuntut orang berpikir cepat namun mengabaikan imajinasi. Tulisan tangan yang marak di jaman pos makin banyak ditinggalkan. Padahal tulisan tangan menuntut orang lebih banyak berpikir, mengingat, dan berimajinasi.

“Karena itulah surat berisi tulisan tangan diyakini mengandung karakter penulisnya. Mengirim surat berisi tulisan tangan sama dengan mengirimkan tubuh ke tujuan. Itu sebabnya surat cinta tak bisa digantikan email, apalagi sms,” jelas Hawe. Iman Herdiana/Koran Jakarta

Tentang Surat 

Sekelompok anak SD memenuhi Museum Pos Indonesia Bandung, Sabtu (18/10) siang. Mereka mencatat berbagai benda pos yang menjadi koleksi museum, seperti diorama tukang pos keliling, bus surat, perangko dan timbangan surat manual.

Beberapa anak terpaku di depan timbangan surat model kwadran yang bentuknya seperti busur dan anak panah. Sebelum mereka lahir, timbangan terbuat dari baja dan kuningan ini masih aktif bekerja di kantor-kantor pos. Kini, timbangan berkapasitas 100 sampai 200 gram itu sudah menjadi barang antik.

Anak-anak sekarang yang hidup di era digital tak mengalami langsung fungsi timbangan manual maupun benda pos lainnya. Kini, pesan pribadi banyak disampaikan bukan melalui surat, melainkan dengan handphone dan internet dengan berbagai program yang ada di dalamnya seperti email, SMS, BBM, facebooke, twitter dan lainnya.

“Anak-anak sekarang mungkin banyak yang sudah tidak mengalami menulis dan mengirim surat memakai jasa pos. Saat berkunjung ke museum, mereka hanya sebatas melihat-lihat banyak barang yang bagi mereka sangat aneh,” kata Basyari, staf Museum Pos Indonesia kepada Koran Jakarta, Sabtu (18/10).

Basyari yang juga staf di PT Pos mengungkapkan, sebelum munculnya handphone dan internet pada 90-an, banyak orang yang mengirim pesan melalui surat maupun kartu pos. Sedangkan kini, pengiriman surat pribadi drastis berkurang. Tugas pos lebih banyak melayani pengiriman surat resmi dan paket.

Benda-benda di museum Pos Indonesia menunjukkan betapa panjangnya proses pengiriman surat di era pra-digital yang sebenarnya belum terlalu lama berlalu. Benda seperti secarik kertas di dalam amplop, perangko, timbangan surat, hingga petugas pos yang memakai sepeda merupakan mata rantai yang tak terpisahkan dengan dunia tulis-menulis.

Contohnya, untuk menulis surat pribadi, entah surat cinta atau kasih sayang kepada teman dan saudara, orang harus menulis surat di atas kertas dengan penanya. Ia harus menyusun kalimat yang enak dibaca. Setelah itu ia harus pergi ke kantor pos. Surat itu kemudian ditempeli perangko dan ditimbang. Dalam waktu tiga hari atau seminggu, surat itu akan tiba di tujuan.

Semua proses yang memakan waktu itu diringkas di era digital, di mana orang cukup mengetik pesan yang diinginkan di depan layar komputer yang tersambung internet, seketika itu pula pesan itu sampai, dan jawaban bisa datang seketika.

Untuk mengenalkan budaya menulis surat, Museum Pos Indonesia kadang menawarkan program mengirim surat melalui kantor pos. Program ini terutama ditawarkan kepada generasi yang “terancam” kehilangan budaya menulis surat, yakni anak-anak TK. Anak-anak ditugaskan gurunya menggambar atau menulis surat, lalu dimasukan ke dalam amplop. Mereka lalu antre membeli perangko, belajar menempel perangko itu, dan ramai-ramai memasukan surat ke dalam bus surat.

Dengan begitu, minimal proses menulis surat yang nyaris hilang itu berusaha dikenalkan kembali lewat pengalaman langsung. Lebih jauh, pengenalan ini diharapkan menumbuhkan budaya menulis. Tanpa upaya pengenalan, mungkin budaya menulis surat, terutama surat pribadi, akan menjadi barang antik yang hanya bisa dilihat di museum. ****

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...