Jumat, 05 Desember 2014

Cerita tentang Pos & Surat

WILLIAM Shakespeare mungkin harus merombak total kisah Romeo and Juliet-nya jika plot SMS masuk ke dalam struktur ceritanya. Tapi pada masa itu mungkin belum terpikirkan teknologi handphone. Penyampaian pesan sangat mengandalkan jasa pos. Maka akibat terlambatnya tukang pos, Romeo and Juliet mengakhiri hidupnya secara tragis.

Sastrawan Hawe Setiawan menyatakan, pos sangat besar pengaruhnya terhadap peradaban manusia dan menjadikan plot yang membuat karya Shakespeare makin tragis. “Kalau plot SMS masuk Romeo and Juliet, bisa hancur ceritanya. Karena Juliet tinggal SMS Romeo, tanpa perlu menunggu tukang pos,” kata Hawe, di Bandung, baru-baru ini.

Tidak sedikit musisi membuat lagu bertema pos. The Beatles membuat lagu Please Mr. Postman, Sting membuat lagu Message In A Bottle, dan di Indonesia Vina Panduwinata menyanyikan laguSurat Cinta. Di dunia sineas ada The Postman yang dibintangiKevin Costner; film ini menceritakan begitu heroik-nya tukang pos.

Banyak sastrawan besar yang menulis pos menjadi tema utama karya mereka. Misalnya Antonio Skármeta menulis novel Il Postino (The Postman); bahkan pujangga Khalil Gibran menulis surat cintanya kepada kekasihnya May Ziadah yang tak pernah ditemuinya hingga akhir hayatnya.

Tidak ketinggalan sastrawan Indonesia menjadikan pos sebagai plot cerita. Ramadan KH menulis roman Ku Antar Kau ke Gerbangyang menyajikan adegan message in a bottle dan menghanyutkannya ke kali. Botol tersebut semacam tukang pos yang mengantarkan surat kepada siapa saja.

Hal itu menunjukkan betapa besar pengaruh pos dalam kehidupan sehari-hari, bahwa Message In A Bottle tidak hanya menjadi kebudayaan barat, tetapi juga terjadi di Indonesia. “Message In A Bottle menjadi metafor bagi penulis. Kita menulis tanpa tahu siapa yang akan membacanya,” kata Hawe yang juga dosen sastra di Universitas Pasundan Bandung.

Editor dan juga penerjemah sastra ini mengatakan, kini peran pos sebagai jasa penyampai pesan digantikan teknologi handphone dan internet. Perubahan ini menimbulkan transformasi besar dari era pra-digital menuju digital. Akibatnya banyak aspek kehidupan yang tereduksi, di antaranya peran pos dalam kehidupan manusia.

Salah satu aspek yang tereduksi adalah budaya menulis surat dengan tangan langsung lalu dikirim melalui kantor pos. Untuk menulis surat pribadi, entah surat cinta ataupun surat kaleng, si penulis harus melewati proses panjang. Mulai dari mengukir tulisannya sebaik mungkin—hingga melahirkan seni kaligrafi—bahkan untuk menulis surat cinta, penulis surat harus membuka-buka buku puisi.

Usai menulis surat, penulis surat harus belajar seni melipat dan memasukkan surat ke dalam amplop. Lalu ia berangkat menuju kantor pos. Setelah surat dikirim ia harus menunggu beberapa hari untuk mendapatkan jawaban atas suratnya.

Semua proses atau tahapan menulis surat itu tereduksi di era digital ini. Semuanya diringkas, mulai dari menulis tangan, berjalan ke kantor pos, antrean membeli perangko atau menunggu giliran dilayani petugas pos, hingga hilangnya landscape pria tukang pos yang memakai sepeda dengan dua kantong surat di kedua sisinya. Dan peralatan pos seperti timbangan manual, mesin telek, telegraf, mesin tik, bus surat pun harus diparkir di museum karena tak lagi sesuai dengan jaman.

Di sisi lain, transformasi ini memunculkan budaya baru. Pesan yang dikirim di era digital bisa tiba seketika. Tidak ada lagi proses mengirim surat yang panjang, tidak perlu lagi tergantung pada jadwal pengiriman surat yang dibuat kantor pos. Birokrasi dipangkas; jarak, ruang dan waktu makin ringkas.

“Jaman pos kita tidak mungkin bisa ngirim surat jam 7 malam. Kita harus menunggu kantor pos buka. Sekarang, jamannya email, kita menjadi real time, kapan pun bisa dilakukan,” kata Hawe.

Istilah real time sendiri muncul di era digital ini sebagai pengganti istilah time sebelumnya. Di jaman real time segala sesuatu dituntut serba cepat, banyak orang yang terburu-buru demi efisiensi. “Jika jaman pos kita mengutamakan keindahan, sekarang kita mengutamakan efisiensi. Tak ada lagi seni menulis indah dan melipat surat.”

Sikap real time yang menuntut orang berpikir cepat namun mengabaikan imajinasi. Tulisan tangan yang marak di jaman pos makin banyak ditinggalkan. Padahal tulisan tangan menuntut orang lebih banyak berpikir, mengingat, dan berimajinasi.

“Karena itulah surat berisi tulisan tangan diyakini mengandung karakter penulisnya. Mengirim surat berisi tulisan tangan sama dengan mengirimkan tubuh ke tujuan. Itu sebabnya surat cinta tak bisa digantikan email, apalagi sms,” jelas Hawe. Iman Herdiana/Koran Jakarta

Tentang Surat 

Sekelompok anak SD memenuhi Museum Pos Indonesia Bandung, Sabtu (18/10) siang. Mereka mencatat berbagai benda pos yang menjadi koleksi museum, seperti diorama tukang pos keliling, bus surat, perangko dan timbangan surat manual.

Beberapa anak terpaku di depan timbangan surat model kwadran yang bentuknya seperti busur dan anak panah. Sebelum mereka lahir, timbangan terbuat dari baja dan kuningan ini masih aktif bekerja di kantor-kantor pos. Kini, timbangan berkapasitas 100 sampai 200 gram itu sudah menjadi barang antik.

Anak-anak sekarang yang hidup di era digital tak mengalami langsung fungsi timbangan manual maupun benda pos lainnya. Kini, pesan pribadi banyak disampaikan bukan melalui surat, melainkan dengan handphone dan internet dengan berbagai program yang ada di dalamnya seperti email, SMS, BBM, facebooke, twitter dan lainnya.

“Anak-anak sekarang mungkin banyak yang sudah tidak mengalami menulis dan mengirim surat memakai jasa pos. Saat berkunjung ke museum, mereka hanya sebatas melihat-lihat banyak barang yang bagi mereka sangat aneh,” kata Basyari, staf Museum Pos Indonesia kepada Koran Jakarta, Sabtu (18/10).

Basyari yang juga staf di PT Pos mengungkapkan, sebelum munculnya handphone dan internet pada 90-an, banyak orang yang mengirim pesan melalui surat maupun kartu pos. Sedangkan kini, pengiriman surat pribadi drastis berkurang. Tugas pos lebih banyak melayani pengiriman surat resmi dan paket.

Benda-benda di museum Pos Indonesia menunjukkan betapa panjangnya proses pengiriman surat di era pra-digital yang sebenarnya belum terlalu lama berlalu. Benda seperti secarik kertas di dalam amplop, perangko, timbangan surat, hingga petugas pos yang memakai sepeda merupakan mata rantai yang tak terpisahkan dengan dunia tulis-menulis.

Contohnya, untuk menulis surat pribadi, entah surat cinta atau kasih sayang kepada teman dan saudara, orang harus menulis surat di atas kertas dengan penanya. Ia harus menyusun kalimat yang enak dibaca. Setelah itu ia harus pergi ke kantor pos. Surat itu kemudian ditempeli perangko dan ditimbang. Dalam waktu tiga hari atau seminggu, surat itu akan tiba di tujuan.

Semua proses yang memakan waktu itu diringkas di era digital, di mana orang cukup mengetik pesan yang diinginkan di depan layar komputer yang tersambung internet, seketika itu pula pesan itu sampai, dan jawaban bisa datang seketika.

Untuk mengenalkan budaya menulis surat, Museum Pos Indonesia kadang menawarkan program mengirim surat melalui kantor pos. Program ini terutama ditawarkan kepada generasi yang “terancam” kehilangan budaya menulis surat, yakni anak-anak TK. Anak-anak ditugaskan gurunya menggambar atau menulis surat, lalu dimasukan ke dalam amplop. Mereka lalu antre membeli perangko, belajar menempel perangko itu, dan ramai-ramai memasukan surat ke dalam bus surat.

Dengan begitu, minimal proses menulis surat yang nyaris hilang itu berusaha dikenalkan kembali lewat pengalaman langsung. Lebih jauh, pengenalan ini diharapkan menumbuhkan budaya menulis. Tanpa upaya pengenalan, mungkin budaya menulis surat, terutama surat pribadi, akan menjadi barang antik yang hanya bisa dilihat di museum. ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...