Sabtu, 06 Desember 2014

Wakil Rakyat di Kandang Monyet

Tepat pukul 09.00 WIB, seniman Isa Perkasa sudah berada di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat, Senin (3/11). Ia berdandan layaknya pejabat atau anggota dewan, memakai setelan formal, jas abu-abunya menutupi kemeja putihnya yang berdasi, plus celana katun hitam.

Untuk menambah kesan pejabatnya, pelukis berambut gondrong ini memakai peci hitam dan sepatu kulit. Ia lalu naik ke atas perahu menuju kantornya yang berada di pulau tengah kolam Kebun Binatang. Di pulau buatan itu tumbuh beberapa pohon di mana monyet-monyet bermain.

Tepat di depan kandang monyet yang berbentuk rumah-rumahan, terdapat meja kerja yang menampung buku kerja dan satu sikat pisang ambon yang ranum. Sambil membuka-buka buku kerjanya, pelukis lulusan FSRD ITB itu lahap menyantap pisang itu. Saat itulah dua ekor monyet bergelantungan di atas pohon dan menimbulkan suara berisik. Isa kemudian melemparkan satu sisir pisang ke arah mereka.

Acara “Ngantor di Kandang Monyet” ini sebagai kritik seniman terhadap kegaduhan politik yang terjadi di negeri ini pasca Pemilihan Presiden 2014, misalnya kegaduhan antar dua kubu di DPR.

“Banyak sekali sekarang yang merindukan bisa berkantor di gedung DPR. Ide ngantor di kandang monyet itu dari situ. Silahkan saja tafsirkan,” terang Isa Perkasa, sebelum mulai “ngantor”. Selanjutnya ia akan ngantor selama lima hari ke depan, berangkat mulai pukul 09.00 WIB dan pulang pukul 16.00 WIB.

Aksi Isa tersebut bentuk sindiran terhadap para wakil rakyat yang kini sibuk dengan urusannya sendiri, padahal rakyat yang memilih mereka berharap punya wakil rakyat yang amanah, yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun pasca pelantikan beberapa waktu lalu, belum satu pun agenda untuk rakyat disentuh para anggota dewan itu. 

“Harusnya DPR mulai bekerja, tapi ini malah terus konflik. Ini seperti melihat drama monyet,” tambah Rahmat Jabaril, seniman yang mendampingi Isa Perkasa.

Rahmat menjelaskan, aksi Ngantor di Kandang Monyet ini sangat multi tafsir, bisa sebagai kritik terhadap pejabat negara, terhadap anggota dewan, maupun terhadap prilaku manusia yang berprilaku binatang.

Dalam konteks tersebut, Isa yang pada 1999 menggelar pameran lukis bertajuk  “Tragedi Buah Semangka” di Pacific Bridge Gallery dan Sproul Plaza Barkley Univesity, Amerika Serikat, itu merujuk pada prilaku hewani yang ditunjukkan manusia.

Di masyarakat, kata “monyet” jadi umpatan untuk prilaku yang buruk dan korup. Menurut Rahmat, prilaku pejabat atau anggota dewan saat ini sudah mendorong pada prilaku hewani yang akhirnya memancing rakyat untuk mengumpat, “dasar monyet!”

“Hakekat binatang yang dimaksud Isa Perkasa, bahwa ada pejabat yang tidak menjadi manusia yang sesungguhnya, yang kehilangan daya humanitasnya. Pejabat ini makan harta yang bukan haknya yang artinya makan sesama. Prilaku-prilaku ini kan sebenaranya hanya dilakukan binatang,” terangnya.

Dalam perform-nya, Isa juga dibekali payung hitam dan makanan kesukaan monyet, yaitu pisang. Hidup monyet sebenarnya monoton, bergelantungan lalu makan pisang. Jika ada pejabat yang hidupnya monoton, yaitu hanya menumpuk kekayaan dan kekuasaan, maka ia tidak jauh berbeda dengan monyet.

“Negeri ini sangat kaya, tidak bisa dikendalikan dengan gaya-gaya monyet. Semua rakyat Indonesia harus meresakan kekayaan negeri ini. Selama ini kekayaan itu hanya dinikmati segelintir elit kekuasaan,” tandasnya.

Performance art yang menarik perhatian pengunjung Kebun Binatang Bandung tersebut bagian dari rangkaian acara kesenian bertajuk Annual Jeprut: Jeprut Permanen yang mulai digelar sejak 31 Oktober hingga 9 November mendatang.

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...