ws rendra foto:jurnalfootage.net |
Jose Karosta, mahasiswa yang juga penyair, berkata, Kemudian hatinya pilu melihat jejak-jejak yang sedih dari buruh tani yang teracak di atas tanah gembur, namun tidak memberikan kemakmuran bagi pendudukanya.
Pemuda berambut gondrong
itu berdiri di atas panggung. Wajahnya menghadap kepada ratusan penonton yang memadati
Graha Sanusi Universitas Padjdjaran (Unpad) Bandung.
“Wahai tanah airku, alangkah subur lembah-lembahmu
namun alangkah melarat rakyat-rakyatmu. Penderitaan mengalir dalam parit-parit
dari wajah rakyatku, mereka mengerjakan usaha, tetapi akan buahnya mereka tidak
punya hak memakai apapun, tidak punya hak memilikinya. Dari pagi sampai siang,
rakyat negeriku bergerak-gerak menggapai-gapai, menoleh ke kanan, menoleh ke
kiri dalam usaha tak menentu. Dari siang sampai sore mereka jadi onggokan
sampah. Dan di malam hari mereka terbanting di lantai dan sukmanya menjadi
burung kondor,” lanjut Jose.
Jose menjadi tokoh
sentral dalam teater Mastodon dan Burung Kondor yang dipentaskan di aula utama Unpad malam itu. Suatu rezim yang serakah dan diktator
disebutnya ‘mastodon’. Sementara rakyat yang selalu menderita adalah ‘burung
kondor’.
Kalimat yang diucapkan
Jose berupa syair sajak yang mengungkapkan pemikiran WS Rendra, penulis naskah Mastodon dan Burung Kondor. Naskah tersebut dipentaskan kembali Ken Zuraida Project dengan sutradara istri Rendra,
Ken Zuraida.
Pada adegan lain di lakon
yang pertama kali pentas pada 1973 itu, sekumpulan mahasiswa mengusung obor di sebuah kampus yang berada di suatu negeri di Amerika Latin. Dengan penerangan obor
itu mereka berunding membahas nasib negara yang
dicengkram rezim militer. Mereka menyusun strategi
pergerakan. Nama Jose Karosta disebut-sebut para aktivis itu sebagai sosok yang
tepat untuk menarik simpati massa. Mereka akan memanfaatkan pengaruh Jose
Karosta.
Para aktivis mempertanyakan arti pergerakan mahasiswa untuk mengubah sistem yang
menindas. "Kita memasuki kampus ini untuk tahu api jiwa. Kampus adalah
tempat menyusun, mengolah, menguji kebijaksanaan. Tetapi selama ini kita tidak
diberi kesempatan untuk itu," kata Juan Prederico (diperankan Angin Kamajaya), aktivis yang memimpin pergerakan.
Mereka menilai, pendidikan yang ada telah dijejali kebijaksanaan yang telah diresmikan pemerintah. Ruang diskusi dan seminar hanya disusun untuk peng-iya-an. “Pengiyaan hanya mematikan
jiwa mahasiswa. Kita tidak ingin di
kampus ini jiwa kita mati,” kata Juan berapi-api.
Maka dalam rundingan
antar aktivis dari berbagai kampus yang datang dari berbagai penjuru negeri
yang majemuk itu, muncul wacana Revolusi Semesta Berencana. Hanya saja mereka
bingung bagaimana menularkan semangat revolusi dari kampus kepada rakyat yang
berada di luar kampus. Maka Juan yang cerdas, ingat kepada seorang penyair kampus
yang sudah dikenal merakyat, Jose Karosta (Totenk Mahdasi Tatang).
Diutuslah seorang
mahasiswi cantik bernama Fabiola Andrez (Maryam Supraba) untuk melobi si
penyair gondrong Jose Karosta. Terjadilah perdebatan antara Fabiola dan Jose,
perdebatan yang mencerminkan pemikiran Rendra. Fabiola yang memiliki tubuh
semampai berkata, penderitaan rakyat bukan hanya rohani
tetapi praktis. “Kamu jangan hanya berleha-leha dengan sajak dan filsafat,” katanya, menyindir Jose.
Namun Jose tahu bahwa
Fabiola disuruh Juan Prederico supaya mau bergabung ke dalam gerakan Revolusi
Semesta Berencana. Jose mencium dirinya akan dimanfaatkan gerakan mahasiswa. “Perubahan yang mendadak
yang ditimbulkan oleh revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu,” timpal
Jose.
Jose tidak percaya pada perubahan mendadak. Baginya, revolusi hanya akan ganti baju sementara jiwanya tetap sama.
Para aktivis yang berperan dalam revolusi nantinya akan berubah menjadi elit
politik, saat itulah dia akan menjadi diktator.
“Kaum ekstrimis
sebenarnya terpisah dari masyarakat umum. Seandainya berkuasa, merekapun akan
tetap ekstrim dan akan tetap terpisah dari masalah masyarakatnya. Sebelum menang
mereka bernama grilyawan, sesudah menang mereka akan berubah menjadi diktator,”
ungkapnya.
Para aktivis pengikut Juan Prederico menuduh
Jose Karosta sebagai penyair yang terlena dengan puisi dan dongeng cinta.
Tetapi, jawab Jose, memang secara langsung puisi tidak bisa mengatasi
kemelaratan rakyat. Namun, seni memberi pengertian
dari segi kebudayaan. “Seni terutama memberikan pengertian, bukan hanya hiburan. Tetapi karena
pengertian mendatangkan kekuatan, maka kekuatan bisa menjadi hiburan,”
tegasnya.
ws rendra foto: rendrarendra.blogspot.com |
Bagi Jose, dongeng dan kisah percintaan bukan pelarian tapi keseimbangan.
Naskah Mastodon dan Burung Kondor merupakan masterpiece mendiang Rendra. Naskah ini ditulis penyair berjuluk si Burung Merak itu antara 1971-1973 dengan mengambil
konteks kehidupan di Amerika Latin. Namun, banyak yang percaya lakon Mastodon dan Burung Kondor merupakan simbol kehidupan Indonesia masa itu yang dicengkram rezim Orde
Baru.
Rektor Unpad Ganjar
Kurnia mengatakan, adalah hak semua orang untuk berimajinasi dan berinterpretasi
tentang apa yang diucapkan Jose Karosta. Demikian pula Rendra. “Walaupun
mengatakan Mastodon dan Burung Kondor adalah cerita di Amerika Latin, namun banyak
orang yang mengatakan bahwa itu cerita di Indonesia pada saat awal Rezim Orde
Baru berkuasa,” katanya.
Ganjar juga menyinggung
ada pihak yang mempertanyakan apakah cerita tersebut masih relevan dengan
kondisi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia saat ini. Menurutnya,
siapapun boleh menginterpretasi naskah itu. Yang jelas, lewat karya Rendra
diharapkan penonton bisa melakukan pengkayaan intelektual. “Apapun yang dibuat
oleh seseorang tentang sesuatu adalah merupkan haknya,” tambahnya.
Tahun 70-an, setiap sendi
kehidupan di Indonesia, termasuk kampus, memang berada dalam kontrol
pemerintah. Hebatnya, naskah ini justru pertama kali
dipentaskan Bengkel Teater Rendra di
Kampus ITB pada 1973. Akibatnya, Rendra dicekal. Kini, Mastodon dan
Burung Kondor kembali dipentaskan.
Saat ini memang tidak ada
pencekalan yang vulgar seperti yang dilakukan Orde Baru. Siapa pun boleh
ngomong dan mengkritik tentang kelemahan pemerintahan tanpa harus merasa
was-was dibui. Tetapi, di negeri yang subur makmur ini seperti yang dikatakan
Jose Karosta, masih banyak rakyat yang miskin.
Ken Zuraeda mengatakan, pementasan tersebut untuk mengenalkan pemikiran Rendra yang sudah 39 tahun
tidak dipblikasikan. Penonton boleh menafsirkan apa saja mengenai yang
ditontonnya, termasuk menjawab relevan atau tidak teater tersebut dengan masa
kini. Namun secara pribadi bagi Ken, dia merasa sangat terharu bisa menyutradarai
Mastodon dan Burung Kondor setelah suaminya telah berpulang 2,5 tahun lalu.