Kanvas 185x140 cm itu menampilkan video Monumen Perjuangan (Monju) Rakyat Jawa
Barat yang berdiri megah di Jalan Dipatiukur, Bandung. Relief-relief yang
mengitari sebagian dinding monju juga tidak lepas dari sorotan kamera.
Tiba-tiba, seorang pria mengenakan kemeja putih muncul di sebelah kiri layar,
dia menghapus relief-relief yang menunjukkan kekuasaan Rezim Soeharto. Maka
kanvas bergambar Monju itu perlahan menjadi berwarna putih, polos.
* Foto-foto karya: Bambang Prasetyo (Ibenk)
|
Video berdurasi kurang dari 30 menit itu berjudul Abstracting
History karya Theo Frids Hutabarat. Video ini menjadi salah satu karya
yang dipamerkan dalam pameran bertajuk Kitaran, sebuah oleh
mahasiswa magister Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), yang digelar di
Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, 7-13 Januari.
Dalam tafsir Rumi, Theo menghapus salah satu bagian relief yang ada di Monju,
yakni relief tentang heroisme Soeharto. Theo ingin memperlihatkan bagaimana
kekuasaan sengaja ditancapkan lewat sebuah pembangunan monumen yang megah
sambil sengaja melupakan sisi lain yang sengaja ditutupi sejarah.
"Seorang seniman mungkin tidak bisa mengubah sejarah dengan teks
atau wacana, tetapi seniman bisa melakukannya lewat sebuah karya,"
katanya.
Pameran dibuka Senin (7/1) sore dengan prolog dari pengajar pascasarjana di
Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (FSRD ITB) Acep Iwan Saidi. Acep mengakui
tidak bisa membahas satu-satu karya yang disajikan 12 seniman. Tetapi Acep
menyimpulkan, 12 orang ini merupakan seniman generasi muda yang berusaha
menunjukkan realitas masa kini maupun masa lalu.
Seniman Theo melalui video Abstracting History , misalnya, kata Acep, menyampaikan kritik terhadap realitas masa lalu. Theo berusaha menaturalisasi terhadap simbol Rezim Orba, yakni Monju yang merupakan metafora dari bangunan-bangunan sejarah lainnya yang dibuat penguasa. Monumen merupakan upaya manusia untuk melakukan kamuflase tentang suatu peristiwa perjuangan di masa lalu. Tetapi pada saat yang sama, monumen ingin mengajak orang untuk melupakan apa yang terjadi.
"Di monju itu dulunya kan perumahan dan mereka digusur, dan mereka harus
pergi dari sana. Tetapi kita harus melupakan itu, yang harus diingat di sana
adalah sebuah monumen. Nah seniman Theo mencoba menghapus itu. Dia mencoba
memutihkan semua itu, menaturalisasikan, mengembalikan ke alam
luas," tuturnya.
"Abstracting History" , menurut Acep, seolah-olah mengatakan
bahwa monumen adalah omong kosong jika harus menghancurkan konteksnya,
masyarakatnya. Dengan kata lain, Theo telah meminjam monju sebagai
metafora yang sudah mati atau yang sudah menjadi suatu karya untuk dibangkitkan
kembalihingga menjadi karya yang baru dengan pemaknaan yang lain.
Seniman lainnya, Kireina Windiah, membuat instalasi "Browse for Your
Face." Instalasi yang selesai disusun pada 2012 ini memajang berbagai
bentuk hidung dan bibir manusia. Dua alat indera manusia ini berderet di atas
meja mirip meja labolatorium medis. Di antara meja-meja berisi hidung dan bibir
dalam toples, berdiri papan berisi tulisan ilmiah tentang hidung dan bibir.
Melalui karya instalasinya, Kireina menyikapi praktek operasi terhadap bagian tubuh manusia yang marak dilakukan saat ini. Acep melihat instalasi ini lahir dari proses perpaduan antara unsur seni dan ilmu pengetahuan, senimannya menggabungkan proses kreatif dan riset. "Instalasi ini menunjukkan bahwa seni bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja, tapi membutuhkan keringat, bahkan riset hingga wawancara dengan sejumlah ahli," terangnya.
Selain itu, Acep menggarisbawahi tempat pelaksanaan pameran di Gedung Indonesia
Menggugat, bukan di dalam Kampus ITB sendiri. Dengan memilih tempat di luar
kampus, para seniman mahasiswa Seni Rupa ini berusaha, atau ingin berusaha,
mengeluarkan dirinya dalam kungkungan dunia akademis.
"Mereka mencoba melakukan otokritik terhadap dirinya untuk keluar dari
kungkungan dunia akademis. Mereka ingin mengawinkan proses kreatif berkesenian
yang berdarah-darah itu dengan situasi di luar kampus, di luar dunia
akademis," jelas sastrawan yang juga kritikus seni ini.
Pameran Kitaran menempati ruang utama Gedung Indonesia Menggugat. Para seniman yang memamerkan karyanya di antaranya Patriot Mukmin lewat lukisan Sakala 280x100 cm. Lukisan yang dibuat pada 2012 ini tentang tiga wajah, namun akan menampilkan tiga wajah lain jika melihat lukisan ini dari sudut pandang lain. Lukisan Sakala ini seolah berkata bahwa seseorang bisa memiliki wajah atau sisi lebih dari satu. Misalnya, satu sisi seseorang bisa berupa perempuan rupawan, namun di sisi lainnya dia bisa berwajah mengerikan.
Pameran Kitaran menempati ruang utama Gedung Indonesia Menggugat. Para seniman yang memamerkan karyanya di antaranya Patriot Mukmin lewat lukisan Sakala 280x100 cm. Lukisan yang dibuat pada 2012 ini tentang tiga wajah, namun akan menampilkan tiga wajah lain jika melihat lukisan ini dari sudut pandang lain. Lukisan Sakala ini seolah berkata bahwa seseorang bisa memiliki wajah atau sisi lebih dari satu. Misalnya, satu sisi seseorang bisa berupa perempuan rupawan, namun di sisi lainnya dia bisa berwajah mengerikan.
Kurator pameran, Rumi Siddharta, menyebut lukisan Patriot Mukmin itu sebagai
objek dengan persepsi berlapis. Lewat karya ini, Patriot mengingatkan bahwa
manusia itu bukan hanya secara individual berbeda, tetapi dalam satu individu
pun bisa berbeda-beda. Sebab cara melihat individu tak lepas dari latar
belakang yang tak selalu lurus.
Masalah lingkungan tidak lepas dari pengamatan seniman di pameran Kitaran ini.
Misalnya Panji Firman yang menyajikan digital printing berjudul
"Unidentified Water Issue." Karya yang selesai dibuat 2013 ini
sebelumnya melewati riset tentang lingkungan, khususnya pencemaran terhadap air
oleh industri. Sehingga dalam karya 100x90 cm itu tampak mesin pompa air
tradisional yang yang penuh dengan warna-warna bahan kimia, lalu di lukisan
lain terdapat beberapa merek air mineral kemasan yang justru dipandang sebagai
perusak air tanah.
Ada juga seniman yang mengeksplorasi pengalaman sehari-hari, misalnya disajikan Ivana Stojakovic lewat instalasi sepeda jatuh. Ivana yang masa kecilnya dihabiskan di Serbia, suatu waktu mengisi pagi yang basah dan berlumpur di kampung halamannya itu. Dia dibonceng kakeknya memakai sepeda model kumbang. Namun karena jalanan berlumpur dan licin, mereka terjatuh. Instalasi itu berupa sepeda yang terbujur di atas lumpur; sebuah jaket anak kecil tergeletak tak jauh dari sepeda itu.
Seniman Paramitha Citta Prabaswara juga menyajikan pemaknaan terhadap waktu kesehariannya lewat karya berupa jam dinding dari kayu yang diberi nama "Hope." Melalui karya itu, Paramitha menyatakan bahwa sejak kecil manusia diajari pola waktu hingga waktu tersebut menentukan gaya hidupnya. Padahal kehidupan bisa dibalik, jarum jam bisa diputar oleh tangan, artinya manusia juga bisa mengatur waktunya sendiri.
Ada juga seniman yang mengeksplorasi pengalaman sehari-hari, misalnya disajikan Ivana Stojakovic lewat instalasi sepeda jatuh. Ivana yang masa kecilnya dihabiskan di Serbia, suatu waktu mengisi pagi yang basah dan berlumpur di kampung halamannya itu. Dia dibonceng kakeknya memakai sepeda model kumbang. Namun karena jalanan berlumpur dan licin, mereka terjatuh. Instalasi itu berupa sepeda yang terbujur di atas lumpur; sebuah jaket anak kecil tergeletak tak jauh dari sepeda itu.
Seniman Paramitha Citta Prabaswara juga menyajikan pemaknaan terhadap waktu kesehariannya lewat karya berupa jam dinding dari kayu yang diberi nama "Hope." Melalui karya itu, Paramitha menyatakan bahwa sejak kecil manusia diajari pola waktu hingga waktu tersebut menentukan gaya hidupnya. Padahal kehidupan bisa dibalik, jarum jam bisa diputar oleh tangan, artinya manusia juga bisa mengatur waktunya sendiri.
Menurut Rumi, para seniman muda tersebut berhasil menyajikan berbagai
perspektif kehidupan melalui karya-karyanya yang tak seragam. Masing-masing
seniman memiliki kekuatan dengan cara berkarya dan karyanya. Pameran ini,
diakui Rumi, bukan hanya sulit untuk menentukan mana karya terbaik, tetapi juga
sulit untuk merangkum dalam satu tema. Pameran Kitaran menampilkan
banyak ide, makna, dan bentuk karya. Pengunjung akan merasa menghadiri sebuah
toko yang menyajikan beragam produk atau karya. Karena itulah pameran ini diberi
tema "Kitaran" yang secara harfiah berarti "berputar
mengelilingi."
Beberapa seniman yang mengikuti pameran ini selain para seniman di atas adalah
Nomas Kurnia, Nugroho Prio Utomo, Patriot Mukmin, Theo Frits Hutabarat, Anita
Yustisia, Aulia Ibrahim Yeru, Esra Oesen, Fransisca Retno, Ferri Agustian S,
Firman Panji, Ivana Stojakovic. Mereka melakukan persiapan pameran selama 6
bulan.
*) Tulisan ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Khazanah, Minggu
13 Januari 2013