Sabtu, 17 November 2012

Hijrah


Di ruangan yang mirip kamar itu, seorang lelaki memakai gamis dan sorban menjadi pusat perhatian perempuan-perempuan yang duduk lesehan mengelilinginya. Laki-laki itu bernama Muklis, dia mengaku sebagai hakim atau kadi Negara Islam Indonesia (NII). Kepada perempuan yang rupanya tengah dibaiat itu, Muklis membeberkan kebobrokan republik yang telah menjadi sarang kemiskinan dan kebodohan. “Kita harus Hijrah dari kebobrokan NKRI menuju NII.”

Di antara perempuan yang ada, salah satunya Rima sekaligus satu-satunya perempuan yang tidak berkerudung. Dia seorang mahasiswi sedikit tomboy, yang antusias juga gelisah mendengar pemaparan sang kadi. Risma sudah lama merasa prihatin terhadap ketidaksejahteraan sebagian besar rakyat NKRI. Risma merindukan negara yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada rakyatnya, khususnya kepada perempuan. Maka begitu Muklis mengungkapkan visi misi tentang tatanan baru suatu negara yang adil dan makmur, Risma pun mendapat jawaban yang selama ini dicarinya. Dia yakin NII bisa menjawab kegelisahannya.

Selanjutnya Risma dan kawan-kawan diminta untuk hijrah, atau berpindah dari suatu tempat ke tempat tertentu yang diridoi-Nya. Tugas pertama Risma setelah bertekad Hijrah adalah menggalang dana dan anggota baru demi terwujudnya negara baru.

Di tempat lain, seorang pemuda bernama Jabir baru saja keluar dari pesantren. Orangtuanya tak sanggup lagi membiayainya untuk mendalami ilmu agama. Kondisi ekonomi orang tuanya membuat Jabir harus bekerja sebagai kendek metromini. Suatu hari, Jabir tengah sibuk mencuci metromini. Seorang pria bergamis dan berpeci menghampirinya. Jabir diajak bisnis demi memperbaiki hidup yang melarat. Bisnis tersebut adalah jual beli dengan Tuhan yang imbalannya “Surga tanpa hisab.” Syaratnya, Jabir harus ikut dulu suatu pengajian. Awalnya Jabir mengabaikan ajakan itu, namun akhirnya dia bergabung juga.

Jabir menuju suatu rumah. Di dalam satu ruangan, duduk beberapa pria bergamis, bersorban, dan berjanggut dengan latar bendera hitam bertuliskan huruf Arab. Jabir tidak sendirian, ada beberapa anggota baru yang juga mendengarkan ceramah pria yang menjadi pimpinan di pengajian itu. Si pria bergamis tersebut bertanya, siapa yang mau jual beli dengan Tuhan? Jabir dan kawan-kawannya bungkam. Lalu pria itu kembali bertanya hingga yang ketiga kalinya. Jabir pun bersedia melakukan jual beli itu.

Risma dan Jabir merupakan salah satu tokoh sentral dalam film ‘Mata Tertutup’, film terbaru yang disutradarai Garin Nugroho. Film berdurasi 90 menit ini hasil kerja sama Garin dengan Maarif Institute dan Yayasan Sains Estetika Teknologi, yang diputar perdana di bioskop Jakarta pada Oktober lalu.

Seperti film-filmnya terdahulunya, film ‘Mata Tertutup’ Garin juga meyuguhkan jalan cerita yang khas Garin Nugroho yang punya metafora atau simbol yang terkait dengan makna cerita. Misalnya pada adegan untuk lakon Risma yang akhirnya kecewa terhadap NII. Suatu waktu, Risma ingin mengikuti laskar perang NII. Dia pun mengjukan diri supaya diangkat menjadi laskar oleh kadi. Namun jawaban kadi membuat Risma kecewa. “Kamu perempuan, tidak boleh menjadi laskar,” kata kadi.

Risma sejak awal prihatin dengan nasib kaum hawa di negeri ini yang selalu didominasi laki-laki. Mendapat jawaban itu, Risma sangat kecewa. Dia meninggalkan ruang latihan laskar itu, berteriak histeris sambil memukul daun-daun jendela yang dilewatinya. Ternyata, negara baru yang akan dibangunnya sama saja, memarginalkan perempuan dan menomorsatukan laki-laki.

Pada adegan lainnya di film ‘Mata Tertutup’, kekecewaan Risma makin memuncak ketika mengetahui anak-anak kadi yang masih kecil menderita sakit dan tidak terurus. Istri kadi yang selalu menunjukkan tatapan mata yang kosong bahkan terlihat prustasi ketika Risma berusaha menolong anak-anaknya yang sakit itu. Istri kadi menolak bantuan Risma, dan berteriak bahwa Risma tidak tahu apa-apa soal penderitaannya selama ini. Suatu hari, Risma mengendap-endap untuk menemui istri kadi kamarnya. Dia mendapati istri kadi tengah tidur. Namun ketika Risma berusaha membangunkannya, dia kaget karena memegang sesuatu yang basah. Risma segera menarik tangannya yang ternyata sudah berlumuran darah.

Adegan Risma yang terkejut melihat tangannya penuh darah, segera pindah ke adegan berikutnya. Entah apa yang terjadi pada istri kadi, apakah bunuh diri atau mati karena keguguran. Namun yang jelas, istri kadi menderita tekanan batin di saat suaminya tengah semangat-semangatnya mengajak orang untuk hijrah. Istri dan anak-anak kadi kelaparan ketika para pengikut suaminya tengah sibuk mengumpulkan harta untuk membangun negara baru yang dicita-citakannya.

Sejak itu, sifat pemberontak Risma kembali muncul. Bahwa kelompok yang semula melambungkan harapannya ternyata sama saja, malah menyimpan ironi yang tak termaafkan oleh nuraninya. Bahwa ayat-ayat tentang keadilan yang selalu didengungkan sang kadi ternyata telah dilanggar di rumahnya sendiri.

“NII adalah negara yang mampu menyejahterakan manusia termasuk perempuan. Tetapi nyatanya perempuan justru telah ditelantarkan,” kata Risma, ketika memperotes perlakukan kadi terhadap istri dan anak-anaknya sendiri.

Garin menuturkan, dirinya terlibat diskusi mendalam dengan Syafii Maarif tentang pembuatan film “Mata Tertutup”. Film ini mengambil bahan dari hasil riset Maarif Institute terhadap beberapa mantan dan anggota NII, serta gerakan radikal lainnya. Dari hasil riset itu, ternyata radikalisme tumbuh kembang di dunia pendidikan dari sekolah elit hingga pesantren yang notabene tempat menimba ilmu agama. Syafii Maarif mengatakan, kata Garin, tentu pemerintah tidak mungkin mengakui bahwa radikalisme itu sebenarnya telah tumbuh di institusi pendidikan. Jika pemerintah mengakui, mereka khawatir disebut gagal dalam melakukan pendidikan kebangsaan.

“Film ini berangkat dari kisah nyata,” jelas Garin, saat ditemui di sela diskusi dan pemutaran film “Mata Tertutup” di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, Bandung, Oktober lalu.

Salah satu kisah nyata misalnya ada pada adegan yang menjadi ending film “Mata Tertutup” ketika Jabir melaksanakan jual beli atas permintaan pimpinan kelompoknya. Jabir tinggal di pemukiman kumuh Jakarta. Setelah siap melaksanakan titah pemimpinnya, Jabir terlebih dahulu pamit kepada orang tuanya yang hidup miskin. Ketika Jabir melankah hendak meninggalkan kampung, temannya yang sopir metromini berusaha melarangnya. Namun Jabir bergeming. Tidak lama kemudian, terdengar suara letusan senjata. Jabir ditembak aparat.

Garin mengakui, respons penonton terhadap film ‘Mata Tertutup’ tentu tidak sebesar respons terhadap film-filmnya sebelumnya. Sebab film ini berbeda dengan genre film religius atau edukasi populer Indonesia yang memang lagi naik daun. Film ini bersifat membongkar pemahaman keagamaan, pemahaman yang keliru terhadap suatu keyakinan. Menurutnya, film pembongkaran ini hampir tidak ada dalam sinema Indonesia. Padahal pembongkaran perlu sebagai kritik terhadap diri kita sendiri. Lewat film pembongkaran diharapkan muncul pemahaman bagaimana cara dialog agama. “Dialog ini memerlukan wawasan dan keberanian.”

Garin juga sudah menduga bahwa film ini tidak akan sukses di bioskop. “Di Indonesia, film jenis ini akan kurang disukai, tapi perlu.” Terlebih saat ini film Indonesia lagi asyik dengan tema yang bersifat syiar-populer. Misalnya syiar baik dan buruk, edukatif dan berakhlak. Contohnya, film yang mengisahkan perjuangan seseorrang dari titik nol sampai sukses seperti di cerita Laskar Pelangi dan Negeri Lima Menara. Film dengan metode populer ini, kata Garin, tentu akan disukai oleh ibu-ibu. Mereka akan berkata kepada anak-anaknya “kamu harus berjuang seperti itu dengan berpegangan kepada agama, akhlak, pendidikan, baik, buruk, dosa, neraka.”

Dari segi ongkos produksi, sebenarnya pembuatan film “Mata Tertutup” tidak memakan modal besar. Tetapi isinya mengangung nilai edukasi yang tidak kalah jika dibandingkan dengan film metode populer, bahkan mengandung spirit intelektual keberagamaan.

Baginya, film “Mata Tertutup” tidak harus ditonton oleh jumlah penonton yang membludak di bioskop. Film ini hanya memerlukan ruang diskusi kecil untuk membedahnya seperti yang dilakukan di GIM. Lewat ruang diskusi kecil akan mampu memberi pengalaman agama yang mendalam. “Ruang bioskop tidak mampu memberikan pengalaman agama”.

“Film ini tidak akan terlalu populer, film hanya perlu ruang diskusi kecil.” Sehingga setelah pemutaran film bisa dilakukan diskusi yang melibatkan para ahli seperti psikolog dan alumni NII. “Supaya penonton makin terbuka matanya.” Garin dan timnya juga melakukan diskusi dan pemutaran film “Mata Tertutup” dengan cara road show ke kota-kota, terutama kota pendidikan seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Depok, Solo, Jogja. Sasarannya kota yang memiliki banyak universitas dan SMA elit. “Sasarannya muda yang pintar-pintar. Karena radikalisme tumbuh di ruang-ruang pendidikan,” katanya.

Garin tidak takut dengan konsekuensi akibat pembuatan film “pembongkaran” tersebut. “Soal ancaman itu bagian dari konsekuensi sutradara.” Menurutnya yang penting selama pembongkaran tidak ada maka pertumbuhan intelektual keberagamaan akan serba sungkan untuk melakukan kritik, tidak dewasa.

Di sisi lain, selama ini orang tahu radikalisme itu lewat bacaan saja. Maka dengan lewat film yang berangkat dari kisah nyata, penonton bisa dikenalkan bagaimana cara rekruitmet gerakan radikal. Misalnya bagaimana cara mengetahui suatu komunitas itu radikal atau tidak. Garin mengusulkan supaya organisasi agama tidak hanya berlomba bentuk film populer, tetapi harus membuat film civil education yang memuat pendidikan kewarganegaraan yang terkait nilai-nilai beragama.

“Film seperti ini hampir tidak ada sekarang. Sebenarnya film 80-an lebih maju lagi. Sumanjaya saja pakai tema atheis kok di filmnya. Bayangkan bagaimana kalau kita sekarang pakai tema atheis,” kata sutradara film Daun di Atas Bantal ini.

Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, film yang mengusung semangat otokritik juga jarang ditemui di luar negeri. “Mata Tertutup” sendiri pernah diputar di Belanda. Hasilnya, orang Belanda banyak yang terkaget-kaget. Di luar negeri rupaya otokritik terhadap pemahaman keagamaan termasuk isu sensitif.

Dalam istilah Syafii Maarif, film ini menggambarkan bagaimana orang-orang yang “merampok ayat-ayat untuk kejahatan,” dan “membajak pesan agama.” Tokoh Muhammadiyah ini menyatakan bahwa ketidakadilan adalah penyebab munculnya radikalisme di Indonesia. Garin sendiri melihat ada dua jenis radikalisme. Pertama, radikalisme pragmatis-hedonis yang bentuknya korupsi yang dilakukan elit politik atau elemen negara. Radikalisme jenis ini bisa menular dan menjadi kebiasaan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai budaya. Intinya, bagaimana cara mendapatkan keuntungan ekonomi atau survival secara instan. Kekerasan aparat negara terhadap rakyatnya juga masuk dalam konteks radikalisme jenis ini.

Jenis radikalisme kedua adalah radikalisme agama seperti yang diungkap dalam film “Mata Tertutup”. Namun dua jenis tadikalisme ini tumbuh pada sistem pasar yang berlaku saat ini di Indonesia, sistem yang penuh dengan ketidakadilan.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Sulitnya Jualan Literasi Kiri


Sejak 2009 Toko Buku Ultimus menempati rumah kontrakan di Jalan Rangkasbitung yang berdekatan dengan Jalan Jakarta tepat di seberang Rumah Tahanan Kebonwaru, Bandung. Di penghujung September lalu, Toko Ultimus tampak sepi. Di bagian halaman toko tampak gazebo sederhana yang sudah berdebu. Di dinding pintu terpampang spanduk bertulisakan Ultimus dengan warna terang, di sisi lain ada spanduk merah hitam berisi kutipan dari sastrawan Salman Rushdie, penulis buku Satanic Verses itu.

Memasuki ruang utama toko, terdapat etalase yang hanya memajang segelintir buku, salah satunya buku tentang pembantaian pasca G30SPKI 1965 karya John Rossa. Lalu ada tiga rak kayu yang berisi penuh dengan buku. Yang cukup menarik perhatian di antara deretan buku yang berjejal di atas rak itu adalah buku Das Kapital karya Karl Marx. Buku ini dipajang berdampingan dengan buku Anti Duhring karya Fredrick Engels. Kedua buku karaya embahnya Marxisme ini ukurannya cukup tebal dengan warna merah gelap.

Di bagian muka buku Das Kapital terpampang sosok Karl Marx yang khas, penuh cambang dan janggut. Di bagian kanan bawah buku tercetak logo Ultimus, sebagai tanda bahwa Das Kapital diterbitkan oleh Ultimus. Pendiri Toko Buku Ultimus, Bilven Sandalista, menjelaskan sejak 2008, Ultimus bukan sekedar komunitas toko buku tetapi sudah menjelma jadi penerbit. Buku yang diterbitkan terutama buku-buku berhaluan kiri.

Pada September itu, tidak ada kegiatan mencolok di toko buku yang terkenal dengan aliran kiri alias marxisme itu. September Hitam – mengacu kepada tragedi G30SPKI 1965 yang diikuti pembantaian terhadap PKI setelahnya – sepertinya tidak harus menjadi momentum bagi Ultimus untuk melakukan acara. Saat itu justru para pegiat Ultimus lagi berkemas untuk pindah ke tempat anyar akhir tahun ini. Pada Desember komunitas Ultimus akan pindah ke kawasan Dago (Ir H Djuanda). Di tempat anyarnya, Ulimus akan fokus pada penerbitan buku.

Bilven mengatakan, lewat penerbitan buku, upaya mengenalkan literasi Marxsisme diharapkan bisa terbuka lebar. Sehingga ajaran Karl Marx bisa hidup kembali di Indonesia. Dia menegaskan,
marxisme merupakan bagian dari kekayaan intelektual bangsa Indonesia yang pernah hidup sebelum akhirnya dibungkam sejak tragedi 65 meletus.

“Penerbitan itu misi kita, untuk mengembalikan lagi harkat intelektual bangsa yang dulu pernah hidup di negeri ini,” katanya.

Pada 2006, komunitas Ultimus sempat menjadi buah bibir warga Bandung. Saat itu, Ultimus yang masih bermarkas di Jalan Lengkong Besar, tepatnya di seberang kampus Universitas Pasundan (Unpas), menggelar diskusi tentang Marxisme. Namun diskusi ini dibubarkan paksa oleh suatu ormas. Ormas ini menganggap diskusi tersebut menyebarkan ajaran komunis dan membahayakan NKRI. Malah beberapa pengurusnya ada yang diamankan aparat, meski akhirnya dibebaskan. Sejak peristiwa itu, tidak heran jika ada warga yang mencap komunitas Ultimus sebagai komunitas penganut paham komunis, paham yang diharamkan oleh Pemerintah Soeharto atau Orde Baru (Orba).
Bilven menuturkan, pembubaran dan penangkapan itu justru membuat Ultimus makin solid. Pihaknya banyak mendapat bantuan, misalnya dari KontraS dan LBH Jakarta. Komunitas ini berdalih, tidak ada dasar yang kuat untuk menangkap aktivis yang melakukan diskusi literasi kiri. “Apakah salah jika kita melakukan diskusi 65?”

Ketika insiden pembubaran dan penangkapan, Ultimus belum menjadi penerbit tetapi masih menjadi ruang diskusi, pertunjukan, perpustakaan, dan toko buku. Lalu sejak 2008, komunitas yang dimotori anak muda ini mulai memempuh jalan penerbitan buku-buku. “Keputusan jadi penerbit supaya efek misi kita lebih besar lagi,” terang pria kelahiran Malang 34 tahun lalu ini.

Menurutnya, lewat penerbitan buku, misi menghidupkan marxisme bisa sampai kepada semua orang. Penerbitan buku juga membentuk momen untuk mengenalkan buku-buku marxis, yakni lewat acara peluncuran buku.

Pria yang sudah tinggal di Bandung sejak 97 ini menuturkan, buku seperti Das Kapital dan Anti Duhring serta beberapa karya sastra dan fislafat Marxian lainnya diterbitkan pada periode pertama sejak Ultimus menjadi penerbit. Ada juga karya-karya para korban pasca tragedi 65 atau G30SPKI. Mereka adalah keluarga atau orang yang dituduh PKI yang menjadi korban operasi penumpasan PKI. Jumlahnya sekitar 30-an orang, mereka korban langsung dan tidak langsung dari operasi pembersihan pasca tragedi G30SPKI.

Para korban tersebut masing-masing menuliskan berbagai pengalamannya dalam berbagai bentuk tulisan, mulai cerita pendek (cerpen), novel, prosa, puisi, memoar, atau esai. Ada yang menuliskan kesaksian penumpasan, keluarganya yang ditangkap aparat, ada juga korban yang menjalani pengasingan di luar negeri selama terjadi pembersihan dengan dalih bahaya laten komunis di Indonesia.

Testimoni mereka mengungkap peristiwa lain yang selama ini tidak ada dalam catatan sejarah, misalnya cerita tentang adanya penyiksaan dan pembantaian. Meski bersifat testimoni, Bilven berharap penerbitan karya para korban Orde Baru itu bisa menjadi penyeimbang sejarah yang buram. Terlebih, hingga kini peristiwa 65 masih gelap. “Supaya generasi sekarang dan masa depan tahu. Banyak sesuatu yang diungkapkan lewat karya mereka,” katanya.

Namun, diakui bahwa masalah peneribitan buku menjadi tantangan paling berat dalam menghidupkan kembali literasi marxisme. Sebagai gambaran, buku yang dicetak supaya sampai ke tangan pembaca umum tentu harus disebar ke berbagai toko buku. Ultimus berusaha menembus toko buku besar yang menjadi tujuan utama para pembeli buku. Namun, sistem niaga yang diterapkan toko buku besar ternyata sangat merugikan penerbit-penerbit kecil seperti Ultimus. Toko buku besar memang menerima pasokan buku dari Ultimus, namun waktunya sangat singkat, paling lama hanya tiga bulan. Selain itu, mereka juga meminta potongan diskon yang sangat besar hingga 50 persen.

Untuk mensiasatinya, Ultimus tetap memasok buku bagi penerbit besar dan juga mengisi buku bagi toko-toko buku kecil yang tersebar di Bandung. Langkah ini dibarengi dengan membangun modal sosial lewat jaringan antar komunitas. Menghidupkan dan membangun jaringan ini bisa dilakukan dengan acara diskusi dengan topik marrxisme atau peluncuran buku yang biasanya digelar Ultimus sebulan sekali. Lewat jaringan inilah sebagian buku yang diterbitkan Ultimus disalurkan. Ultimus juga mengembangkan konsep penjualan buku dengan sistem online, ataupun jejaring sosial seperti facebook dan twitter.

“Dengan membangun modal sosial misi kita bisa lebih langgeng,” tegas alumnus Institut Teknologi Telkom (kin STT Telkom) yang dangrung terhadap Karl Mark dan Fredrick Engels.

Hingga saat ini, Ultimus sudah menerbitkan 80 judul buku, 50 persen buku marxisme dan 50 persen lagi buku-buku non marxis seperti sastra. Ultimus sengaja tidak menerbitkan buku-buku kanan seperti buku “cara cepat menjadi jutawan”, atau “cara masuk surga” dan sejenisnya. Tetapi Ultimus membuka ruang bagi buku-buku non politis, misalnya buku puisi atau novel cinta.

Dengan rencana kepindahan Ultimus ke Dago, dan akan fokus di bidang penerbitan, bukan berarti Ultimus tidak menjadi toko buku. Toko buku tetap jalan, namun buku-bukunya dititipkan ke berbagai toko buku, misalnya ke Toko Buku Kecil (Tobucil) Jalan Aceh, dan kebanyakan di toko buku Indonesia Menggugat (IM) Books, Jalan Perintiskemerdekaan. Kebanyakan pembeli buku terbitan Ultimus adalah anak muda tetetapi masih kalangannya masih terbatas, misalnya aktivis kampus. Jumlah koleksi buku di toko buku Ultimus mencapai 2.000 judul. Sedangkan jumlah koleksi buku di perpustakaannya mencapai 8.000 judul buku.

Bagi Belven, momen September Hitam atau G30S/PKI tidak dipungkiri makin menguatkan stigma bahwa kiri patut dibenci. Stigma itu melekat hingga kini. Dia dan para aktivis Ultimus merasakan adanya alergi dari masyarakat terutama terhadap hal berbau PKI. Stigma yang masih kuat inilah yang membuat misi Ultimus makin berat.

Dia heran, kenapa kiri harus dibenci. Padahal, esensi ajaran Marx adalah anti kemapanan, mendorong suatu masyarakat untuk berubah ke arah yang lebih baik. Bahkan sejarah mencatat, gerakan kiri berandil besar dalam mengusir kolonialisme di Tanah Air. Dengan berpegangan kepada litelatur kiri yang penuh nuansa perubahan, kaum kiri di masa perjuangan mengajak masyarakat melawan kemapanan kolonialisme.

Tetapi sejarah juga mencatat, pada akhirnya gerakan kiri ini tumbang pasca peristiwa 1965. Selanjutnya gerakan ini dicap negatif dan terlarang meskipun sejarah di balik G30SPKI masih gelap hingga kini. Maka ketika Komnas HAM menyatakan kasus pembunuhan massal 1965-1966 sebagai pelanggaran HAM berat, Bilven menyebutnya sebagai kemajuan meskipun kejadiannya sudah terjadi empat dekade lalu. Rekomendasi Komnas HAM agar membuka kasus pembunuhan massal juga dinilainya positif meskipun menimbulkan pro kontra.

Dia yakin, suatu saat kabut yang menyelimuti sejarah kelam Indonesia itu akan tersingkap. “Peristiwa 65 engga perlu lagi ditutupi, semuanya harus clear. Seandainya sekarang tidak dibuka, kelak perkembangan masyarakat akan membukanya. Itu keniscayaan sejarah,” katanya.

Para aktivis Ultimus meyakini sebuah bangsa tidak akan maju dan berubah jika tidak mempelajari literatur kiri. Pihak-pihak yang alergi terhadap kekirian justru mereka anti perubahan. Suatu bangsa tidak akan maju jika tidak belajar dari literatur kiri. Literasi mengandung nuasa perubahan dan membawa dinamika masyarakat ke arah yang lebih maju dan baik. Dengan semangat itu, Bilven dan kawan-kawannya di Ultimus akan terus mengenalkan literasi kiri. Dia berharap, sudah saatnya masyarakat saat ini tidak merasa dihantui oleh ketakutan bangkitnya komunisme. Sebaliknya, aktivis yang dicap komunis harus bangga karena sebagai pelaku perubahan. “Kita ingin mengembalikan literatur kiri yang dulu dibungkam,” tandas sarjana teknik industri yang banting stir menjadi editor buku ini.
.
Komunitas Ultimus dibentuk pada 2004 oleh Bilven dan enam orang lainnya, kebanyakan mahasiswa IT Telkom. Awalnya, komunitas ini menempati ruko kecil di Jalan Karapitan. Saat itu komunitas ini selain berjualan buku-buku kiri juga aktif membangun komunitas lewat gerakan literasi seperti diskusi, peluncuran buku, pagelaran teater dan lain-lain. Lalu pada 2005 hingga 2008, Ultimus pindah ke Jalan Lengkong Besar. Dan pada 2009 komunitas ini pindah ke Jalan Rangkasbitung. 

Bandung, 26 September 2012


Rabu, 22 Agustus 2012

Mudik


tripadvisorindonesia.com

Sore itu di Jalan Raya Nagreg, sebuah sepeda motor melaju sangat pelan di tengah jalanan yang panas, berdebu dan penuh dengan lautan kendaraan. Motor itu tampak dikendarai seorang bapak yang membonceng seorang anak dan istrinya. Si anak yang masih berumur belasan bulan itu duduk diam di antara ayah dan ibunya. Bagian belakang motor dilapisi dengan kayu yang menahan kardus yang mungkin berisi oleh-oleh, baju lebaran, dan entahlah.

Entah ke daerah mana tujuan si pengendara motor itu, yang jelas mereka tengah berada dalam perjalanan mudik bersama ratusan ribu kendaraan yang menghubungkan Jabar bagian barat dengan Jabar bagian timur itu. Tujuan mereka yang terjebak kemacetan, sama, yakni mudik menuju kampung halaman.

Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, jelang lebaran Nagreg kembali menjadi lautan kendaraan para pemudik. Mungkin Nagreg menjadi salah satu jalur di Indonesia yang lalulintasnya paling sibuk di dunia, di samping jalur lainnya seperti jalur tengah dan jalur utara alias Pantura.

Tradisi mudik di Indonesia tidak terlepas dari perayaan Idul Fitri—istilah Indonesianya “Lebaran”—setelah sebulan melakukan ibadah puasa. Konon, tradisi menyambut lebaran ini hanya ada di Indonesia. Di negara lain Idul Fitri dirayakan juga, tetapi tidak segegap gempita lebaran di Indonesia. Jalaluddin Rakhmat dalam buku Islam Aktual (1997) menyatakan, ”Hanya di Indonesia, kita akan menemukan arus mudik, penumpang yang berdesakan, wajah-wajah yang terseok kelelahan, tentengan yang berat, dan mata yang berbinar-binar karena kembali ke kampung halaman”. 1

Dalam tradisi mudik terjadi proses perpindahan penduduk secara masif dari kota ke desa atau kampung halaman. Setiap jelang lebaran ribuan pemudik berjejalan di terminal, di stasiun kereta api, di pelabuhan, di bandara. Bagi yang menggunakan jalur darat, selanjutnya mereka berjejalan di jalanan, tak peduli harus berdesakan di dalam bus yang penuh sesak, tak peduli menginjak jalanan terjal, berdebu, berkelok, naik, turun seperti jalur selatan Jabar di mana si bapak dan anak istrinya akan melintas di sana.

Sejauh mana pun tempat tujuan, seberat apa pun medan yang harus diarungi, para pemudik akan menempuhnya untuk mencapai kampung halaman. Terlebih bagi mereka yang sudah lama berada di kota dan hingar bingarnya, sudah lama meninggalkan kampung halaman.

Kampung halaman atau tempat kelahiran sangat menarik bagi para pemudik yang tinggal di kota atau di tempat lain selain kampung asal mereka. Di kampung halaman ada fragmen masa kecil yang sulit dilupakan, mungkin masih ada orang tua yang bisa dicium tangannya, ada saudara yang berkumpul, ada teman bermain di masa kecil, dan ada tradisi yang tidak ada di kota. Semua itu menjadi daya tarik yang membetot para pemudik. Mereka rindu berkumpul dengan sanak saudara dan tetangga setelah dilupakan oleh kehidupan kota yang sibuk.

Daya tarik itulah yang membuat para pemudik mau mengarungi lautan kendaraan yang macet dan melelahkan. Bahkan Tanjakan Nagreg yang dikenal sangat curam dan berkelok tak menghalangi para pemudik, termasuk pemudik yang memakai kendaraan roda dua yang justru mendominasi. Bahu-bahu Jalan Nagreg menjadi lautan motor, di bagian tengahnya berjajar kendaraan roda empat termasuk bus. Meski panjang kemacetan kadang menjuntai dari Bandung hingga Gentong yang jaraknya puluhan kilometer, para pemudik yang melintasi jalur selatan itu tetap setia berada di jalan menanti roda bisa berputar, meski hanya satu putaran saja.

Niat para pemudik yang kuat menuju kampung halaman mengalahkan resiko kecelakaan yang selalu mengintai di jalan raya. Mereka sadar, bahwa kematian berjarak tipis dengan kehidupan. Maut bisa datang kapan saja, apalagi di jalan raya. Kebahagiaan hidup bisa sekejap mata saja berubah menjadi mala, seperti tercermin dalam syair singkat yang dituli penyair Sitor Situmorang berjudul Malam Lebaran: “Bulan menggantung di atas kuburan.” Sitor yang juga mengalami bagaimana rindunya kembali ke Danau Toba2, lewat puisi Malam Lebaran seperti ingin mengingatkan bahwa kematian pun mengintai di malam Hari Kemenangan. Namun lewat mudik, resiko kecelakaan itu seolah dikesampingkan kalah dengan semangat menggebu untuk pulang.

Saking hebatnya pengaruh pulang atau mudik, para penyair tak melewatkan untuk diabadikan ke dalam puisinya. Penulis esai Asarpin mengungkapkan, puisi-puisi yang menyinggung pulang kampung setidaknya ada sejak 1950-an, berlanjut hingga tahun 1970-an. “Begitulah perjalanan puisi modern Indonesia. Persoalan rumah dan pulang akan terus merundung sebagian penyair.” Lanjut Asarpin, sampai pada 1980-an, daya tarik puisi pulang kampung semakin kencang, terus menggema hingga era postmodernisme. 3 Salah satu puisi tentang pulang yang dikutip Asarpin misalnya Surat Dari Ibu karya penyair Asrul Sani:



Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
pikiran-rakyat.com
selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutupi pintu waktu-lampau

Jika bayang-bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
bolehlah engkau datang padaku

Kembali pulang anakku sayang
kembali ke balik malam
jika kapalmu telah rapat ke tepi
aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari 4

Dari catatan Asarpin, bisa disimpulkan bahwa tradisi mudik di Indonesia sudah ada sejak dulu dengan bukti pemotretan yang dilakukan para penyair lewat puisi-puisinya di masa lalu. Dan hingga kini tradisi mudik terus lestari dengan jumlah yang makin masif. Tradisi ini tentu tidak bisa dicegah, bahkan dicemooh meski diakui adanya absurditas mengingat mobilisasi masa yang besar dengan resiko yang besar. Tahun ini angka kecelakaan yang dirilis Korps Lantas Polri mulai H-7 hingga H-2 mencapai 2.217 kasus, meninggal dunia 345 orang, luka berat 364 orang dan luka ringan 1.385 orang. Kecelakaan paling banyak disumbang pengendara kendaraan roda dua yang mencapai 69 persen atau sekitar 1.279 kasus. 5

Namun mudik bukanlah mobilisasi masa untuk pemilu apalagi pilkada. Mudik merupakan kebalikan dari urbanisasi, meski saat arus balik keran urbanisasi selalu menganga lebar. Mudik adalah tradisi milik dan diperlukan rakyat yang harus difasilitasi, bahkan dimanjakan dengan berbagai kemudahan-kemudahan. Mudik atau pulang kampung juga hak setiap orang, termasuk para pemudik yang menggunakan motor. Pemudik bermotor tidak perlu dilarang, apalagi ditilang, mengingat motor adalah kendaraan yang murah meriah dan mudah didapatkan. Memang ancaman kecelakaan pengendara motor lebih tinggi dibandingkan dengan roda tiga atau lebih. Tetapi akses untuk mendapatkan motor saat ini begitu mudah, bahkan tidak perlu uang muka, sehingga motor begitu menjamur di jalanan. Akan ironis jika pemerintah atau aparat melarang pemudik bemotor sementara pemerintah sendiri yang membuka akses memiliki motor. Selain itu moda transportasi umum yang ada bisa dipastikan tidak akan menampung para pemudik jika pemudik bermotor dilarang.  Maka motor adalah pilihan pemudik yang harus dihormati selama tidak ada pilihan lain yang bisa dipiliih pemudik.

Di sisi lain, tradisi mudik juga menjadi berkah bagi desa yang sudah lama ditinggal pergi sebagian warganya. Kehidupan desa yang sepi, bahkan cenderung monoton, akan kembali berdenyut ketika para pemudik tiba di kampung halaman. Uang yang di bawa para pemudik seolah menjadi darah segar bagi urat nadi desa. Kehidupan desa menjadi hangat dan bergairah, senyum orang tua yang ditinggal anaknya merantau kembali mengembang. Anak-anak desa begitu antusias mengajarkan permainan tradisional kepada anak-anak kota yang dibawa para pemudik. Kakek atau nenek akan bercerita kepada anak cucunya yang dari kota. “Jika kapalmu telah rapat ke tepi aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari.” 6

Dan mudik pun mewariskan tradisi dari generasi ke generasi, atau minimal mengisi memori modern kota dengan tradisi desa.



Catatan kaki:

Rabu, 01 Agustus 2012

RA Kosasih, Seniman Sastra Komik

RA Kosasih. TEMPO/Jacky Rachmansyah
Komik bisa disebut pintu gerbang untuk memulai kebiasaan membaca. Banyak orang mengaku suka membaca diawali dengan membaca bacaan yang ringan-ringan seperti komik, selanjutnya bergerak memburu bacaan yang lebih berat, misalnya novel yang murni berisi kata-kata tanpa gambar. Lewat komik, kata-kata dan gambar menyatu hingga melahirkan imajinasi. Kata dan gambar di dalam komik membimbing si pembaca untuk menikmati jalan cerita. Gambar di dalam komik seperti hidup layaknya tv portable.

Nah, ngomong-ngomong soal komik, Indonesia juga memiliki seniman ternama yakni seniman komik wayang Raden Ahmad (RA) Kosasih yang telah meninggal Selasa, 24 Juli 2012. RA Kosasih telah menciptakan ratusan komik wayang yang telah dibaca berbagai generasi. Entah berapa puluh generasi yang menyukai membaca gara-gara komik wayang RA Kosasih. Maka bisa disimpulkan bahwa RA Kosasih ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa lewat komik yang melahirkan kebiasaan membaca.

mahabharata_war.jpg kmrao.wordpress.com
Pendiri situs KomikIndonesia.com, Andy Wijaya, menganggap wafatnya RA Kosasih sebagai kehilangan besar bagi jagat komik Indonesia. “Dia kami sebut Bapak Komik Indonesia,” kata Andy, seperti dikutip TEMPO.CO, Selasa, 24 Juli 2012. Tempo melaporkan, RA Kosasih meninggal di usia 93 tahun sekitar pukul 01.00 WIB, Selasa, 24 Juli 2012, di rumahnya di Jalan Cempaka Putih III Nomor 2 Rempoa, Ciputat.

Wafatnya pria kelahiran Bogor itu tentu saja menjadi pemberitaan media massa. Banyak yang menaruh hormat dan merasa kehilangan. Meski begitu, meninggalnya sang komikus diyakini tidak akan membuat karya-karyanya ikut mati dan terkubur.

“Karya-karya RA Kosasih begitu fenomenal. Usia karyanya tak akan pernah mati. Beliau boleh mati sebagai manusia. Tetapi karyanya akan tetap hidup,” ungkap Rois Am Majelis Sastra Bandung yang juga agen penjual komik karya RA Kosasih, Mat Don.

Seperti yang lainnya, Mat Don mengaku sangat kehilangan almarhum. Meskipun hanya mengenal almarhum lewat karya-karyanya. Pria yang juga pernah menjalani profesi wartawan di beberapa media ini menilai, komik karya RA Kosasih memiliki ciri khusus yang ekslusif, yakni mengandung unsur sastra. Maka Mat Don menyebut karya RA Kosasih sebagai sastra komik. “Beliau bukan hanya pengembang komik wayang tetapi juga pengembang sastra komik yang konsisten," tambahnya.

Krishna_epiphany.jpg arryavisbrown.homestead.com
Disebut sastra komik, karena karya-karya RA Kosasih mengandung etika dan pelajaran budi pekerti selain selain memuat gambar cerita wayang. Ajaran sastra Hindu dan sastra Jawa-Sunda tradisional mampu dikemas RA Kosasih dengan bahasa yang sederhana tanpa kehilangan maknanya.

Komik RA Kosasih yang mulai melejit pada era 1930-an. Kosasih menekuni komik dengan genre tersendiri, yakni wayang. Kata Mat Don, Kosasih juga berhasil memancing seniman komik Indonesia lainnya untuk membuat komik, meski tidak harus komik wayang. Buktinya, setelah komik wayang munculah genre komik berikutnya, yakni komik silat yang lahir dari generasi komikus selanjutnya.

Namun setelah era RA Kosasih dan pasca komik silat oleh generasi berikutnya, nampaknya belum ada lagi komik tanah air yang berpegangan kepada tradisi dan sejarah. Terlebih saat ini dunia komik didominasi oleh komik-komik asing terutama komik Jepang.

“Saya belum lihat lagi ada genre baru. Ya mudah-mudahan ada lagi karena wayang kan ciri khas komik Indonesia," kata pria yang memiliki koleksi ratusan judul komik wayang karya RA Kosasih.

Di sisi lain, Mat Don yang membuka kios buku di Komunitas Kebon Seni Tamansari Bandung ini memiliki pengalaman khusus pada saat menjelang meninggalnya RA Kosasih. "Setahun ini komik wayang RA Kosasih lagi diburu," katanya. Para pencari komik terutama datang dari kalangan usia 40 tahun ke atas. "Mungkin untuk nostalgia dan mengajarkan nilai-nilai yang ada pada komik kepada anak-anak cucunya. Ya supaya senang baca juga. Penjualan paling hebat terjadi Juni kemarin.”

Mat Don menjual komik karya RA Kosasih yang terdiri dari ratusan judul. Satu judul terdiri dari beberapa seri yang harganya antara Rp10 ribu hingga Rp125 ribu. Karya RA Kosasih yang paling monumental dan paling dicari adalah komik berjudul Mahabharata seri A dan B, sebuah epos dari India. "
Sampai hari ini, setelah dikabarkan RA Kosasih meninggal, makin banyak yang cari terutama Mahabharata," ungkapnya.

Komik Mahabarata terdiri dari dua seri dan dua edisi. Edisi softcover Rp55 ribu dan edisi hardcover Rp180 ribu. Komik RA Kosasih lainnya yang juga banyak di cari berjudul Barathayuda, Pandawaseda, Parikesit, Ramayana, Wayang Purwa, Arjuna, dan lainnya.

RA Kosasih memulai kariernya pada penerbit Melodi di Bandung. Beberapa karyanya ternamanya juga diterbitkan oleh Penerbit Maranatha. Pada dasawarsa 1990-an karyanya diterbitkan ulang penerbit Elex Media Komputindo dan penerbit Paramita, Surabaya.

Komik+RA+Kosasih01.jpg thegreatindianperformance.wordpress.com
You +1'd this publicly.

Selamat Jalan Bapak Kosasih......

Jumat, 08 Juni 2012

Leila


public-domain-photos.org    
Afghanistan. Negeri yang terus dicabik bom dan mesiu, kematian hanyalah statistik. Di negeri ini generasi manusia menatap masa depannya yang suram; termasuk Leila, seorang gadis beranjak dewasa yang tinggal di Kota Kabul. Nasib buram Leila diuraikan Asne Seirstad lewat buku Saudagar Buku dari Kabul.

Leila hanyalah satu dari berjuta rakyat Afghanistan yang menderita. Dia hidup di negara yang selalu mengalami transisi. Sejarah Afghanistan, tulis Seirstad, pernah luluh lantak oleh serbuan Genghis Khan dari Mongol. Berikutnya, perebutan kekuasaan dan perang saudara: kudeta kekuasaan terhadap Raja Zahir Shah pada 1973, invasi Uni Soviet hingga dipukul mundur oleh pasukan Mujahidin pada 1989. Selanjutnya, perang saudara kembali bergolak. Taliban memasuki Kabul pada September 1996, para mullah berusaha menegakan negara dengan hukum Tuhan.

Waktu itu, Taliban langsung mengeluarkan dekrit yang memerintahkan wanita mengenakan burkak, melarang pemutaran musik, menari, film, dan gambar dan sejumlah aturan khusus bagi para wanita. Taliban membentuk sistem negara yang khas. Mereka mendirikan benteng yang kokoh antara kaum laki-laki dan perempuan.



jasrock.fr
Lima tahun kemudian, World Trade Center (WTC) di New York Amerika Serikat, hancur dihantam pesawat terbang sipil. Amerika menuduh Usamah bin Laden—yang tinggal di Afghanistan—di balik serangan yang menewaskan ribuan nyawa itu. Maka Afghanistan kembali bergolak menjadi ajang perburuan tokoh yang dicap teroris. Amerika menginvasi negerinya Leila. Rezim Taliban pun hancur.

Di masa Taliban berkuasa Leila hidup dan dibesarkan. Leila juga menyaksikan bagaimana Kabul luluh lantak oleh pasukan Amerika yang diikuti hancurnya rezim Taliban. Leila, tulis Seirstad, baru berusia 19 tahun ketika Taliban hengkang. Dia menjadi bagian Afghanistan yang terus meradang.

Leila tinggal di suatu lantai sebuah flat di Mikrorayon Kota Kabul yang dindingnya penuh luka bekas peluru dan hantaman mortir. Flat ini milik Sultan Khan sang saudagar buku. Leila, adik perempuan Sultan yang terkecil, tinggal bersama ibunya, kakak-kakaknya, dan hidup berdampingan dengan dua istri Sultan serta anak-anaknya.

Di rumah Sultan, Leila kerja layaknya pembantu, mungkin lebih. Sehari-hari dia kerja lebih dari 12 jam: memasak, melayani kebutuhan anak-anak sultan dan istrinya seperti menyediakan air panas untuk mandi, membersihkan rumah yang selalu kotor dan amburadul, hingga memasak makanan kesukaan Sultan. Tugas rumah tangga itu dilakukan Leila tanpa menghiraukan rasa lelah hingga tubuhnya selalu bau minyak dapur dan debu Kota Kabul.

Leila, kata Seirstad, dibesarkan untuk melayani, disuruh oleh semua orang yang berada di dalam rumah. Para sepupunya, anak-anak Sultan yang usianya lebih muda darinya, semuanya berani memerintah Leila layaknya babu. Jika ada yang sedang marah, Leila-lah yang menjadi tempat pelampiasannya. Leila melayani 13 orang di rumah itu. “(Leila) merasa kata-katanya tidak didengar. Biasanya bicara tentang kehidupan sehari-hari sebab hanya itulah dunianya” (Hal. 302).

Meski terkungkung oleh pekerjaan dan terus disibukan oleh situasi monoton, hati dan pikiran Leila medambakan kebebasan. Dia ingin kehidupan lebih baik di masa depan. Terlebih Leila fasih bahasa Inggris karena pernah belajar di sekolah Pakistan ketika mengungsi, dan pernah ikut sekolah sore di Afghanistan. Dia berharap kelak bisa mendaftar untuk ngajar jadi guru mengingat Afghanistan sangat membutuhkan guru. Namun cita-cita ini kandas karena dia seorang perempuan, juga birokrasi Afghanistan yang sangat berbelit-belit dan tidak rasional.


Suatu hari dalam kehidupan Leila, dia pergi ke tempat kursus. Di dalam kelas ternyata dia disatukan dengan laki-laki, sesuatu yang diharamkan ketika Pemerintahan Taliban. Leila sendiri merasa tidak karuan harus berada di dalam kelas bersama para lelaki yang baru bisa menuliskan kata fuck dan pussy. Leila ingin segera pulang dari tempat kursus itu, dan tidak akan kembali lagi.

Setibanya di rumah, dia mengungkapkan keluhannya itu kepada ibu dan kakak-kakak perempuannya. Mereka kaget bukan main karena Leila harus sekelas dengan laki-laki. Ibunya Leila menegaskan supaya Leila tidak usah kembali kursus Bahasa Inggris. Pada cerita ini, Seirstad mencatat, memang Taliban sudah lenyap karena invasi Amerika Serikat pasca 11 September dan menguatnya pasukan Aliansi Utara, oposisi Taliban. Tetapi Taliban masih hidup di kepala Leila dan para perempuan Afghanistan.

Memang kejatuhan Taliban disambut gembira—orang tidak lagi takut diganggu di jalanan oleh polisi agama (di Indonesia semacam polisi syariah), kaum perempuan bisa pergi ke kota tanpa harus ditemani, bisa belajar, anak perempuan bisa sekolah. Namun Taliban tidak secepat itu hengkang dari benak kaum perempuan Afghanistan. Para wanita bergembira karena masa Taliban telah habis. Mereka bisa melakukan kegiatan yang dilarang Taliban ketika rezim ini berkuasa, di antaranya menari, mendengarkan musik, mengecat kuku. Namun kebiasaan baru ini masih dilakukan sembunyi-sembunyi, “asalkan tak ada yang melihat dan mereka bisa bersebunyi di balik burkak yang aman.”

“Leila adalah produk anak sejati produk peran saudara, pemerintahan para mullah, dan Taliban. Anak yang ketakutan. Menangis di dalam hati. Upaya untuk melepaskan diri, bertindak mandiri, mempelajari sesuatu, ternyata gagal. Selama lima tahun masa pemerintahan Taliban, pendidikan bagi anak perempuan dilarang. Sekarang sudah diijinkan, tapi dia sendirilah yang melarang dirinya,” ungkap Seirstad.

Di tengah hidup yang penuh ketidakpastian itu tiba-tiba Leila mendapat secarik harapan dari Karim, teman keponakan Leila, Mansour, anaknya Sultan yang bertingkah menyebalkan. Karim yang kerja untuk sebuah televisi luar negeri asal Jepang terus mengirimi surat cinta kepada Leila. Leila marah mengingat ulah Karim yang membahayakan posisinya sebagai perempuan. Bagi perempuan single di Afghanistan, menerima surat cinta dari laki-laki adalah pelanggaran, aib, tindakan asusila. Gara-gara cinta, tetangga Leila, Jamila dibunuh orang tuanya sendiri.

“Perempuan (Afghanistan) ditabukan mendambakan cinta, diharamkan oleh konsep kehormatan suku dan para mullah,” tulis Seirstad (hal . 83). Di dalam hatinya, Leila suka kepada Karim. Meski begitu, dia tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi mengatakannya. Cinta baginya, bagi perempuan, adalah dilarang. Tidak ada cinta bagi perempuan Afghanistan. “Cinta pelanggaran sangat serius yang bisa berakibat hukuman mati.”

“Di pihak Leila, tak ada kata jatuh cinta,” tulis Seirstad. Begitu juga keinginan, bagi Leila harus dipendam dalam angan, keinginan mustahil diwujudkan. Semua keputusan yang menyangkut jodoh ada di tangan keluarga, di tangan laki-laki, yaitu Sultan Khan, sebagai satu-satunya saudara laki-laki tertua yang ada. Sehingga keputusan perjodohan Leila ada di tangan walinya, Sultan Khan. Ayah Leila tewas akibat perang.


sarabasharmal.wordpress.com
Bagi Leila, Karim ibarat debu yang menempel di burkaknya, yang suatu waktu akan terbang kembali atau lenyap bersama debu-debu lain. Leila marah kepada nasib dirinya sendiri yang terlahir sebagai perempuan. Ketika Karim menyatakan cintanya, Leila menjawab ketus, “keluargaku yang memutuskan.”

Di rumah flat yang penuh sesak, Leila membuka surat cinta dan jam tangan hadiah dari Karim. Leila merobek dan menggerus jam tangan itu, lalu membuangnya karena khawatir ketahuan keluarga. Padahal Karim adalah pria berpendidikan, sesuatu yang jarang di tengah negeri yang angka buta hurufnya paling tinggi. Karim lulusan universitas yang punya masa depan cerah. Mungkin, bisik Leila, jika dirinya kawin dengan Karim, dia akan membiarkannya bekerja sebagai guru. Kebanyakan kaum perempuan Afghanistan dilarang kerja oleh suaminya.

Karim makin jauh ketika Leila ditaksir lelaki yang masih ada hubungan kerabat, Said, yang salah satu jarinya terputus akibat kecelakaan mobil (tetapi Said mengaku jarinya putus karena ranjau, supaya dia disangka lelaki yang ikut perang). Said adalah pengangguran yang buta huruf yang dibenci Leila. Namun karena masih kerabat, dia akan menjadi prioritas di keluarga Leila ketimbang Karim yang hanya orang lain. Dalam tradisi Afghanistan, perkawinan biasa terjadi dengan saudara jauh, bahkan kadang dengan saudara dekat.

Lalu keluarga Said datang meminang Leila. Sultan mengatakan sudah waktunya Leila nikah. Dalam keluarga, tradisi tetap dipatuhi, laki-laki yang memutuskan. Keluarga Leila tidak akan menanyakan tanggapan Leila terhadap pinangan keluarga Said. Keputusan Sultan atau keluarga tak bisa Leila tolak. Perempuan Afghanistan tidak bisa mengatakan tidak. Yang memutuskan masa depannya adalah keluarga. “Tak ada yang akan bertanya kepada Leila, dan Leila pun tak akan menjawab. Gadis yang santun tidak akan menjawab apakah dia suka atau tidak suka kepada seseorang.”

Khayalan Leila untuk bisa membangun rumah tangga dengan Karim yang cerdas, segera lenyap. Leila harus melupakan impiannya menjadi guru. Leila akan kembali menjalani hidup di dapur, melayani suaminya, anggota keluarga suaminya yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah keluarga Sultan. Di tengah rutinitas yang muram itu, Leila hanya bisa menyimpan kemurungannya di balik burkak yang apek dan pengap.

Nasib tak berdaya dalam menentukan jalan hidup tidak hanya dialami Leila saja. Kata Seirstad, selama berabad-abad, para perempuan Afghanista harus mau saja menerima yang diberlakukan atas nama mereka. Tetapi mereka bukan berarti sepenuhnya tak berdaya dan tidak berbuat apa-apa untuk “melawan” nasib yang sengaja “dirancang” kaum laki-laki.

“Namun dalam aneka lagu dan puisi, para wanita menggumamkan kehidupan mereka. Mereka melakukan protes dengan bunuh diri dan lagu, kata penyair Afghanistan Sayd Bahodine Majrouh yang dibunuh di Peshawar pada 1988, diduga oleh kaum fundamentalis.”

theworldbiography.blogspot.com     
Sayd, tulis Seirstad, mengumpulkan puisi dan lagu para perempuan di negeri Jalaluddin Rumi (1200an), penyait sufi yang terkenal itu. Salah satu syair yang biasa digumamkan perempuan Afghanistan, yakni:

Orang kejam, dapatkah kau lihat si lelaki tua itu
Menuju tempat tidurku
Dan kau bertanya mengapa aku menangis dan menjambak rambutku
Oh tuhanku, sekali lagi Kauberi aku malam yg gelap
Dan sekali lagi tubuhku gemetar dari ujung kepala sampai ke ujung kaki
Aku harus naik ke tempat tidur yg kubenci


Di dalam buku yang mulai ditulis pada 2001 ini, Seirstad juga nenyoroti masalah burkak yang menjadi bagian penting dari tema utamanya, yakni tentang perempuan (selain perjuangan Sultan Khan dan bukunya). Pada bab Menggelembung Berkibar dan Berangin, Seirstad menulis hanya segelintir wanita yang melepaskan burkak pada musim semi ketika Taliban jatuh. Dan hanya sedikit kaum perempuan yang mengtahui bahwa leluhur mereka, wanita Afghanistan pada abad yang lalu tidak mengenakan burkak.

Pengalaman mengenai burkak ini juga dilukiskan Seirstad melalui pengalaman pribadinya (selama menulis buku ini dia memakai burkak), “Satu-satunya keadaan yang bisa kumanfaatkan untuk menyendiri; di Kabul, tidak banyak tempat sepi seperti di balik burkak.”

Bagi Seirstad, burkak merupakan bentuk dominasi sistem patriarki terhadap perempuan Afghanistan. Kewajiban bagi perempuan untuk mengenakan burkak masih satu rangkaian dengan tidak adanya kehendak bebas dari si perempuan seperti menentukan pilihan hidup seperti yang diinginkan Leila. “Hal yang itu-itu jugalah yang membuatku terpicu: sikap kaum lelaki terhadap perempuan. Keyakinan pada superioritas kaum lelaki sudah begitu merasuk sehingga jarang dipertanyakan.” (Hal 23)

Sambil memakai burkak, Seirstad merasakan bagaimana rasanya dijejalkan di barisan belakang bus yang khusus disediakan untuk perempuan, padahal bus masih separuh kosong, bagaimana rasanya duduk di atas kap atas taksi karena ada lelaki yang duduk di kursi belakang, bagaimana rasanya dipandang sebagai perempuan pemakai burkak bertumbuh tinggi dan menarik, dan menerima pujian dari laki-laki.

“Bagaimana kemudian aku berangsur-angsur membencinya. Bagaimana burkak itu menusuk-nusuk kepala dan menyebabkan sakit kepala, betapa sulitnya melihat apapun melalui kisi-kisinya, betapa menyesakkannya, betapa sedikitnya udara yg bisa masuk, betapa cepatnya kita berkeringat, betapa harus berhati-hati saat melangkah karena tak bisa melihat kaki sendiri, betapa mudahnya burkak itu menangkap kotoran, betapa menghalangi. Betapa leganya ketika di rumah dan bisa melepaskannya” (hal. 25).


ndtv.com
Leila sebenarnya hanya salah satu tokoh yang diceritakan dalam buku Saudagar Buku dari Kabul. Ada beberapa kisah lain yang juga tidak kalah getirnya dibandingkan dengan kehidupan Leila, termasuk kisah buku-buku yang dijual Sultan Khan. Dari judulnya, buku tentang Afghanistan berjudul Saudagar Buku dari Kabul kedengarannya janggal. Masih adakah buku di Afghanistan, di negeri yang lekat dengan konflik dan perang? Pertanyaan ini juga diakui Seirstad, “Keluarga saudagar buku yang memang tidak lazim di sebuah negeri yang tiga perempat penduduknya tidak bisa baca tulis.”

Dalam pengantar buku yang diterbitkan Penerbit Qanita ini disebutkan alasan Seirstad menulis buku Saudagar Buku dari Kabul. Sultan Khan, kata Seirstad, merupakan orang pertama yang ditemuinya di Kabul pada 2001. Saat itu Seirstad ikut dengan Komando Aliansi Utara, musuh Taliban. Setelah lama melakukan peliputan perang bersama para tentara yang bergumul senjata, di tempat Sultan Seirstad menemukan “koleksi puisi, legenda Afghanistan, buku sejarah, novel.”

Dari pertemuan dengan Sultan itu Seirstad terlibat dalam percakapan seru. Dia menilai Sultan sebagai seorang patriot Afghanistan yang merasa tak putus-putusnya dikecewakan oleh negerinya. "Mula-mula komunis membakar buku-bukuku, lalu Mujahidin menjarah dan merampasnya, dan akhirnya Taliban membakar lagi semuanya" (Hal 16).


Sultan harus berjuang melawan rezim yang berbeda-beda dan sensor yang mereka lakukan. Hal ini mengobarkan perlawanan pribadi Sultan dengan cara menyembunyikan buku dari polisi, meminjamkan kepada orang lain, dan akhirnya dijebloskan ke dalam penjara akibat perbuatannya itu. Dia berusaha menyelamatkan kebudayaan dan susastra negerinya, sementara serangkaian diktator berusaha menghancurkannya.

Suatu hari Seirstad diundang makan malam oleh Sultan. Dalam jamuan itu dia bertemu salah seorang istri Sultan yang cantik dan masih muda, saudara-saudara kandungnya, ibunya, beberapa orang sepupunya. Sultan bercerita, putranya bercanda dan tertawa. “Tapi para perempuan tak banyak bicara. Para perempuan hanya menjawab ketika mereka ditanya, tapi tak pernah memulai percakapan” (Hal. 17).

Dari situlah muncul keinginan Seirstad untuk menulis kisah si saudagar buku dan keluarganya. Keinginan Seirstad ini mendapat ijin dari Sultan. Seirstad bisa tinggal di dalam rumah Sultan. Dia tidur di sebelah Leila. Isi buku ini memang mengungkap kegigihan Sultan Khan yang ingin menyelamatkan sejarah dan peradaban Afghanistan. Dia tak kenal lelah dan menyerah berdagang buku di tengah asap mesiu yang masih mengepul dan mengancam.

Seirstad akhirnya tidak hanya menceritakan Sultan dan buku-bukunya, dia juga menguak kehidupan di Afghanistan lewat keluarga besar Sultan Khan. Dia memotret kehidupan keluarga besar di Kota Kabul dengan background peperangan yang tak ada ujung yang hampir mustahil hengkang di Afghanistan; bagaimana keluarga Khan berada di lingkungan masyarakat Afghanistan di tengah situasi sulit akibat perang; bagaimana mereka bertahan hidup di lingkungannya sambil menjalani budaya dan tradisinya.

Negeri yang digandeng Pakistan dan India itu masih bergolak hingga kini. Berita tentang Afghanistan terus berputar di sekitar agresi militer, perang saudara, terorisme, kekerasan terhadap perempuan, kemarian anak dan angka buta huruf paling tinggi di dunia. Perang melawan teroris sejauh ini menjadi bagian akhir dari sejarah negeri yang sudah penuh dengan peperangan itu.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...