Di ruangan yang mirip kamar itu, seorang lelaki memakai
gamis dan sorban menjadi pusat perhatian perempuan-perempuan yang duduk lesehan
mengelilinginya. Laki-laki itu bernama Muklis, dia mengaku sebagai hakim atau
kadi Negara Islam Indonesia (NII). Kepada perempuan yang rupanya tengah dibaiat
itu, Muklis membeberkan kebobrokan republik yang telah menjadi sarang kemiskinan
dan kebodohan. “Kita harus Hijrah dari kebobrokan NKRI menuju NII.”
Di antara perempuan yang ada, salah satunya Rima sekaligus satu-satunya
perempuan yang tidak berkerudung. Dia seorang mahasiswi sedikit tomboy, yang
antusias juga gelisah mendengar pemaparan sang kadi. Risma sudah lama merasa
prihatin terhadap ketidaksejahteraan sebagian besar rakyat NKRI. Risma
merindukan negara yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada rakyatnya,
khususnya kepada perempuan. Maka begitu Muklis mengungkapkan visi misi tentang
tatanan baru suatu negara yang adil dan makmur, Risma pun mendapat jawaban yang
selama ini dicarinya. Dia yakin NII bisa menjawab kegelisahannya.
Selanjutnya Risma dan kawan-kawan diminta untuk hijrah, atau
berpindah dari suatu tempat ke tempat tertentu yang diridoi-Nya. Tugas pertama
Risma setelah bertekad Hijrah adalah menggalang dana dan anggota baru demi
terwujudnya negara baru.
Di tempat lain, seorang pemuda bernama Jabir baru saja
keluar dari pesantren. Orangtuanya tak sanggup lagi membiayainya untuk mendalami
ilmu agama. Kondisi ekonomi orang tuanya membuat Jabir harus bekerja sebagai
kendek metromini. Suatu hari, Jabir tengah sibuk mencuci metromini. Seorang pria
bergamis dan berpeci menghampirinya. Jabir diajak bisnis demi memperbaiki hidup
yang melarat. Bisnis tersebut adalah jual beli dengan Tuhan yang imbalannya
“Surga tanpa hisab.” Syaratnya, Jabir harus ikut dulu suatu pengajian. Awalnya
Jabir mengabaikan ajakan itu, namun akhirnya dia bergabung juga.
Jabir menuju suatu rumah. Di dalam satu ruangan, duduk
beberapa pria bergamis, bersorban, dan berjanggut dengan latar bendera hitam
bertuliskan huruf Arab. Jabir tidak sendirian, ada beberapa anggota baru yang
juga mendengarkan ceramah pria yang menjadi pimpinan di pengajian itu. Si pria
bergamis tersebut bertanya, siapa yang mau jual beli dengan Tuhan? Jabir dan
kawan-kawannya bungkam. Lalu pria itu kembali bertanya hingga yang ketiga
kalinya. Jabir pun bersedia melakukan jual beli itu.
Risma dan Jabir merupakan salah satu tokoh sentral dalam
film ‘Mata Tertutup’, film terbaru yang disutradarai Garin Nugroho. Film
berdurasi 90 menit ini hasil kerja sama Garin dengan Maarif Institute dan
Yayasan Sains Estetika Teknologi, yang diputar perdana di bioskop Jakarta pada
Oktober lalu.
Seperti film-filmnya terdahulunya, film ‘Mata Tertutup’ Garin juga meyuguhkan jalan cerita yang khas Garin Nugroho yang punya metafora atau simbol yang terkait dengan makna cerita. Misalnya pada adegan untuk lakon Risma yang akhirnya kecewa terhadap NII. Suatu waktu, Risma ingin mengikuti laskar perang NII. Dia pun mengjukan diri supaya diangkat menjadi laskar oleh kadi. Namun jawaban kadi membuat Risma kecewa. “Kamu perempuan, tidak boleh menjadi laskar,” kata kadi.
Risma sejak awal prihatin dengan nasib kaum hawa di negeri
ini yang selalu didominasi laki-laki. Mendapat jawaban itu, Risma sangat
kecewa. Dia meninggalkan ruang latihan laskar itu, berteriak histeris sambil
memukul daun-daun jendela yang dilewatinya. Ternyata, negara baru yang akan
dibangunnya sama saja, memarginalkan perempuan dan menomorsatukan laki-laki.
Pada adegan lainnya di film ‘Mata Tertutup’, kekecewaan
Risma makin memuncak ketika mengetahui anak-anak kadi yang masih kecil
menderita sakit dan tidak terurus. Istri kadi yang selalu menunjukkan tatapan
mata yang kosong bahkan terlihat prustasi ketika Risma berusaha menolong
anak-anaknya yang sakit itu. Istri kadi menolak bantuan Risma, dan berteriak
bahwa Risma tidak tahu apa-apa soal penderitaannya selama ini. Suatu hari,
Risma mengendap-endap untuk menemui istri kadi kamarnya. Dia mendapati istri
kadi tengah tidur. Namun ketika Risma berusaha membangunkannya, dia kaget
karena memegang sesuatu yang basah. Risma segera menarik tangannya yang
ternyata sudah berlumuran darah.
Adegan Risma yang terkejut melihat tangannya penuh darah,
segera pindah ke adegan berikutnya. Entah apa yang terjadi pada istri kadi,
apakah bunuh diri atau mati karena keguguran. Namun yang jelas, istri kadi
menderita tekanan batin di saat suaminya tengah semangat-semangatnya mengajak
orang untuk hijrah. Istri dan anak-anak kadi kelaparan ketika para pengikut
suaminya tengah sibuk mengumpulkan harta untuk membangun negara baru yang
dicita-citakannya.
Sejak itu, sifat pemberontak Risma kembali muncul. Bahwa
kelompok yang semula melambungkan harapannya ternyata sama saja, malah
menyimpan ironi yang tak termaafkan oleh nuraninya. Bahwa ayat-ayat tentang
keadilan yang selalu didengungkan sang kadi ternyata telah dilanggar di
rumahnya sendiri.
“NII adalah negara yang mampu menyejahterakan manusia termasuk perempuan. Tetapi nyatanya perempuan justru telah ditelantarkan,” kata Risma, ketika memperotes perlakukan kadi terhadap istri dan anak-anaknya sendiri.
Garin menuturkan, dirinya terlibat diskusi mendalam dengan
Syafii Maarif tentang pembuatan film “Mata Tertutup”. Film ini mengambil bahan
dari hasil riset Maarif Institute terhadap beberapa mantan dan anggota NII,
serta gerakan radikal lainnya. Dari hasil riset itu, ternyata radikalisme
tumbuh kembang di dunia pendidikan dari sekolah elit hingga pesantren yang
notabene tempat menimba ilmu agama. Syafii Maarif mengatakan, kata Garin, tentu
pemerintah tidak mungkin mengakui bahwa radikalisme itu sebenarnya telah tumbuh
di institusi pendidikan. Jika pemerintah mengakui, mereka khawatir disebut
gagal dalam melakukan pendidikan kebangsaan.
“Film ini berangkat dari kisah nyata,” jelas Garin, saat
ditemui di sela diskusi dan pemutaran film “Mata Tertutup” di Gedung Indonesia
Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, Bandung, Oktober lalu.
Salah satu kisah nyata misalnya ada pada adegan yang menjadi ending film “Mata Tertutup” ketika Jabir melaksanakan jual beli atas permintaan pimpinan kelompoknya. Jabir tinggal di pemukiman kumuh Jakarta. Setelah siap melaksanakan titah pemimpinnya, Jabir terlebih dahulu pamit kepada orang tuanya yang hidup miskin. Ketika Jabir melankah hendak meninggalkan kampung, temannya yang sopir metromini berusaha melarangnya. Namun Jabir bergeming. Tidak lama kemudian, terdengar suara letusan senjata. Jabir ditembak aparat.
Garin mengakui, respons penonton terhadap film ‘Mata
Tertutup’ tentu tidak sebesar respons terhadap film-filmnya sebelumnya. Sebab
film ini berbeda dengan genre film religius atau edukasi populer Indonesia yang
memang lagi naik daun. Film ini bersifat membongkar pemahaman keagamaan, pemahaman
yang keliru terhadap suatu keyakinan. Menurutnya, film pembongkaran ini hampir
tidak ada dalam sinema Indonesia. Padahal pembongkaran perlu sebagai kritik
terhadap diri kita sendiri. Lewat film pembongkaran diharapkan muncul pemahaman
bagaimana cara dialog agama. “Dialog ini memerlukan wawasan dan keberanian.”
Garin juga sudah menduga bahwa film ini tidak akan sukses di bioskop. “Di Indonesia, film jenis ini akan kurang disukai, tapi perlu.” Terlebih saat ini film Indonesia lagi asyik dengan tema yang bersifat syiar-populer. Misalnya syiar baik dan buruk, edukatif dan berakhlak. Contohnya, film yang mengisahkan perjuangan seseorrang dari titik nol sampai sukses seperti di cerita Laskar Pelangi dan Negeri Lima Menara. Film dengan metode populer ini, kata Garin, tentu akan disukai oleh ibu-ibu. Mereka akan berkata kepada anak-anaknya “kamu harus berjuang seperti itu dengan berpegangan kepada agama, akhlak, pendidikan, baik, buruk, dosa, neraka.”
Dari segi ongkos produksi, sebenarnya pembuatan film “Mata
Tertutup” tidak memakan modal besar. Tetapi isinya mengangung nilai edukasi yang
tidak kalah jika dibandingkan dengan film metode populer, bahkan mengandung spirit
intelektual keberagamaan.
Baginya, film “Mata Tertutup” tidak harus ditonton oleh
jumlah penonton yang membludak di bioskop. Film ini hanya memerlukan ruang
diskusi kecil untuk membedahnya seperti yang dilakukan di GIM. Lewat ruang
diskusi kecil akan mampu memberi pengalaman agama yang mendalam. “Ruang bioskop
tidak mampu memberikan pengalaman agama”.
“Film ini tidak akan terlalu populer, film hanya perlu ruang
diskusi kecil.” Sehingga setelah pemutaran film bisa dilakukan diskusi yang
melibatkan para ahli seperti psikolog dan alumni NII. “Supaya penonton makin
terbuka matanya.” Garin dan timnya juga melakukan diskusi dan pemutaran film
“Mata Tertutup” dengan cara road show ke kota-kota, terutama kota pendidikan
seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Depok, Solo, Jogja. Sasarannya kota yang
memiliki banyak universitas dan SMA elit. “Sasarannya muda yang pintar-pintar.
Karena radikalisme tumbuh di ruang-ruang pendidikan,” katanya.
Garin tidak takut dengan konsekuensi akibat pembuatan film
“pembongkaran” tersebut. “Soal ancaman itu bagian dari konsekuensi sutradara.” Menurutnya
yang penting selama pembongkaran tidak ada maka pertumbuhan intelektual
keberagamaan akan serba sungkan untuk melakukan kritik, tidak dewasa.
Di sisi lain, selama ini orang tahu radikalisme itu lewat bacaan saja. Maka dengan lewat film yang berangkat dari kisah nyata, penonton bisa dikenalkan bagaimana cara rekruitmet gerakan radikal. Misalnya bagaimana cara mengetahui suatu komunitas itu radikal atau tidak. Garin mengusulkan supaya organisasi agama tidak hanya berlomba bentuk film populer, tetapi harus membuat film civil education yang memuat pendidikan kewarganegaraan yang terkait nilai-nilai beragama.
“Film seperti ini hampir tidak ada sekarang. Sebenarnya film
80-an lebih maju lagi. Sumanjaya saja pakai tema atheis kok di filmnya. Bayangkan
bagaimana kalau kita sekarang pakai tema atheis,” kata sutradara film Daun di Atas Bantal ini.
Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, film yang mengusung
semangat otokritik juga jarang ditemui di luar negeri. “Mata Tertutup” sendiri
pernah diputar di Belanda. Hasilnya, orang Belanda banyak yang terkaget-kaget. Di
luar negeri rupaya otokritik terhadap pemahaman keagamaan termasuk isu
sensitif.
Dalam istilah Syafii Maarif, film ini menggambarkan bagaimana orang-orang yang “merampok ayat-ayat untuk kejahatan,” dan “membajak pesan agama.” Tokoh Muhammadiyah ini menyatakan bahwa ketidakadilan adalah penyebab munculnya radikalisme di Indonesia. Garin sendiri melihat ada dua jenis radikalisme. Pertama, radikalisme pragmatis-hedonis yang bentuknya korupsi yang dilakukan elit politik atau elemen negara. Radikalisme jenis ini bisa menular dan menjadi kebiasaan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai budaya. Intinya, bagaimana cara mendapatkan keuntungan ekonomi atau survival secara instan. Kekerasan aparat negara terhadap rakyatnya juga masuk dalam konteks radikalisme jenis ini.
Jenis radikalisme kedua adalah radikalisme agama seperti
yang diungkap dalam film “Mata Tertutup”. Namun dua jenis tadikalisme ini
tumbuh pada sistem pasar yang berlaku saat ini di Indonesia, sistem yang penuh
dengan ketidakadilan.