Rabu, 19 Juni 2013

Alam Harus Dibela



Dinding galeri yang penuh dengan lukisan di atas kanvas, sudah biasa. Tetapi bagaimana jika lukisan-lukisan itu dibuat di atas seng ukuran sekitar 3x2 meter?

Di tangan para seniman Bandung, seng yang biasa dijadikan pagar oleh para pengembang, justru menjadi kanvas. Pemandangan itu bisa dilihat di Pameran "Senisasi Seng Siliwangi" bertajuk “Tolak Komersialisasi Babakan Siliwangi” yang digelar di Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Jalan Naripan, Bandung.  Babakan Siliwangi merupakan hutan kota yang keberadaannya tercancam pembangunan.

Pameran ini dibuka Sabtu 25 Mei 2013, diikuti 36 seniman di antaranya para pelukis ternama seperti Tisna Sanjaya, Isa Perkasa, Diyanto, termasuk musisi grup religi, Acil Bimbo. Ada juga seniman dari luar negeri seperti Shitaima (Mexico) dan Mikael (Slovakia).

Tisna Sanjaya menyajikan lukisan sejenis monster yang hendak memangsa alam dengan warna gelap yang khas, hitam dan putih. Pada umumnya setiap seniman menampilkan gambar atau mural yang mengusung semangat menolak pembabatan hutan kota. Semuanya menolak komersialisasi Babakan Siliwangi, Jalan Siliwangi, Bandung.

Ada lebih dari seratus seng yang dipajang di dinding pameran YPK Bandung. Seng-seng tersebut awalnya menjadi pagar yang mengelilingi Babakan Siliwangi, hutan kota yang luasnya 3,8 hektar. Pengembang swasta PT Esa Gemilang Indah (EGI) berencana membangun restoran di hutan kota yang ditetapkan sebagai hutan kota dunia lewat Konferensi Anak dan Pemuda Internasional Tunza 2011 yang diprakarsai PBB lewat UNEF.

Rencana pembangunan Babakan Siliwangi itu didukung Walikota Bandung Dada Rosada. Konon, PT EGI mendapat IMB diberikan pada Desember 2012. Kebijakan ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan warga mulai dari seniman, akademisi, komunitas, aktivis, pengecara, jurnalis, dosen, mahasiswa, organisasi lingkungan, dan berbagai elemen lainnya. Kemudian mereka membentuk Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi.

Salah satu penggagas Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi Hawe Setiawan menjelaskan, pameran "Senisasi Seng Siliwangi" bagian dari gerakan kebudayaan menentang perusakan Babakan Siliwangi. Forum warga ini berkeberatan dengan kebijakan Walikota Bandung. “Kebijakan ini dipastikan mengancam hutan kota yang tersisa di Bandung,” kata Hawe.

Dosen sastra Universitas Pasundan ini menuturkan, pelukisan atau pembuatan mural di atas pagar seng dimulai pada 2011, ketika PT EGI mulai memagari Babakan Siliwangi. Pelukisan itu bentuk protes warga yang menentang rencana pengembangan restoran.

Pada Senin 20 Mei, ribuan massa yang tergabung dalam forum warga tersebut membongkar pagar seng yang mengelilingi Babakan Siliwangi. Pembongkaran bertepatan dengan HUT ke-67 Kodam III Siliwangi dan Hari Kebangkitan Nasional. Pagar seng tersebut kemudian diarak menuju Balai Kota Bandung. Di kantor orang nomor 1 di Bandung itu, massa melakukan demonstrasi. Usai demonstrasi, lukisan seng itu dipajang di galeri YPK Bandung untuk dihargai sebagai karya seni.

“Melalui seni ini ingin dicapai suatu terobosan atas kebuntuan politik untuk menciptakan kebijakan yang memenuhi harapan publik. Melalui seni, ingin disampaikan sanggahan kolektif atas gerak kapital yang menistakan alam dan hak azasi manusia,” katanya.

Dwi Sawung, salah seorang peserta pameran yang juga bagian Advokasi Walhi Jabar, menuturkan, lukisan tersebut dibuat secara seporadis dalam kurun 2011 hingga 2013. Sawung sendiri menyumbangkan lukisan bertema "Bandung Lautan Beton".
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...