Kamis, 23 Mei 2013

Orang Asing


Siang itu, iring-iringan pengantar jenazah tiba di bukit pemakaman; bukit yang tidak besar namun cukup untuk menampung seluruh mayat penduduk kampung yang berada di bawah bukit – seandainya mereka mati semua. Tepat di puncak bukit, pohon beringin menjulang tinggi bak raksasa, pohon khas astana. Jika dilihat dari kampung, beringin itu seperti hendak menerkam seluruh rumah yang ada.

Siang itu, drama kematian baru saja dimulai. Upacara dihadiri oleh sebelasan laki-laki, termasuk aku, yang berlangsung singkat dan kaku. Kami berdiri seperti robot mengelilingi makam yang baru digali, mendengarkan doa yang dilantunkan pemuka agama. Pemimpin prosesi itu lalu menutupnya dengan kalimat:

“Semoga amal ibadahnya diterima Yang Maha Kuasa. Amin.”
“Amin,” kata hadirin setengah berbisik.

Nisan yang terbuat dari kayu mahoni ditancapkan di bagian kepala kuburan, tanda pemakaman selesai. Seorang buruh mati dibunuh, tanpa menimbulkan tanya mereka yang masih hidup. Para pengantar jenazah ingin segera meninggalkan pemakaman itu.

Langit mendung namun tak hujan. Tak ada air mata namun meski muram wajah mereka; seperti menyembunyikan empati pada si mati. Pekuburan kembali sunyi.

Seorang pria tigapuluhan masih mematung di hadapan gundukan tanah merah itu; raut mukanya begitu keras dan dingin. Matanya berkilat padaku, “Dulu aku sering main catur dengannya,” sejenak ia ragu, lalu melanjutkan, “bagaimana kalau nanti malam kita main catur di rumahku?” Tanpa menunggu jawabanku, ia pun pergi. Sedang aku hanya melongo sendirian di depan guntukan tanah merah itu.

***

Namanya Otto. Ia anak asli kampung sini yang baru kembali. Menurut gosip warga, ia baru pulang dari pengasingan yang jauh dan berbahaya. Rumahku berhadapan dengan rumahnya; rumah yang tidak begitu besar namun tidak terlalu kecil bagi pria penyendiri sepertinya. Dindingnya terbuat dari bilik—sebagaimana kebanyakan rumah lainnya di kampung ini—yang dicat hingga mengkilap, beberapa kembang mawar tumbuh di halaman, satu pohon mangga berdiri di pojoknya, berdekatan dengan sumur dan kamar mandi.

Meski enggan, aku tak berani menolak ajakan Otto; inilah kekuranganku—mengkin kekurangan warga kampung sini juga—: sungkan mengatakan tidak. Tak satu pun warga yang dekat dengan Otto atau sengaja datang ke rumahnya. Belasan tahun menghilang, di mata warga Otto menjadi orang lain, asing.

Ternyata Otto tak seperti sangkaan orang. Ia menghidangkan ubi rebus dan kopi kental dalam gelas batok; jauh sekali dari kesan angker sebagaimana citra yang disemakkan bisik-bisik warga. Kami duduk di ruang tamu yang polos, berhadapan menghadapi bidak-bidak catur. Tak ada benda lain di ruang itu, tak ada radio atau tv, jam atau lukisan; kecuali satu yang menempel di bilik sehingga keberadaannya menjadi kontras: pisau belati.

Otto meminum kopinya yang masih mengepul, suara berisik di tengah sepinya malam yang sesekali pecah oleh suara langkah bidak catur. Otto lalu menyulut rokok kereteknya, menghisapnya dalam-dalam, dan menawarkannya padaku. Seketika asap rokok memenuhi ruangan itu, menepis embun malam yang membekukan udara.

Di luar, hujan mulai deras menimbulkan suara riuh saat jatuh mengena bilik.

“Dia, Sabri, orang baik,” kata Otto, mengenang orang mati tadi. Aku terkejut karena masih memikirkan pisau belati itu. “Kini ia tak bisa main catur lagi....kematian yang tak wajar. Ia menuntut kenaikan gaji, kemudian para kuli menemukannya mati di kubangan berak sapi.”

Otto melangkahkan kudanya untuk menjebak ratuku yang sejak awal permainan diam saja di posisinya. Aku pun sadar akan ancaman itu, ratu segera kugerakan untuk menghindar.

“Akan ada hajatan di rumah kuwu besok. Semua warga kampung sini diundang. Termasuk kita....Aku pikir, itu perayaan peringatan,” katanya sambil tersenyum misterius.

“Kau, akan datang?” tanyaku dengan suara dan muka seperti orang bego.
“Ya, kita pergi bersama.” Aku hanya mengangguk tanpa tahu kenapa. Lagi-lagi sikap ini membuatku jengkel. Kenapa aku selalu berkata “Iya”.
Di luar, hujan mulai reda, meninggalkan kesunyian yang dingin. Seorang kuli mati dibunuh tepat di saat kampung ini sedang melakukan pemilihan kuwu baru. Sabri kerja di peternakan kuwu yang jabatannya akan habis namun mencalonkan kembali jadi kuwu masa depan kampung ini. Kemungkinan besar kuwu ini akan kembali menang dan menduduki jabatan periode kedua. Ia memiliki kekuasan dan uang. Kekuasaannya begitu mandiri mengingat kampung ini jauh dari dunia luar, jauh dari kota. Aparat desa yang ada berlomba-lomba menjilatnya.

Salah satu kebijakkan sang kuwu adalah monopoli angkot dengan jam terbang terbatas. Angkot mulai beroperasi subuh, siang dan, terakhir jam tujuh malam, dengan mempekerjakan satu sopir saja. Karena terbatasnya transportasi membuat kampung ini makin terpencil.

“Skak!” kata Otto. Aku terkejut dengan langkah luncur yang tiba-tiba. Aku teringat pada pertemuan pertama dengan Otto yang naik jadwal angkutan terkhir.

“Kau masih muda, sayang kau terikat dengan pekerjaanmu,” lanjutnya, sambil menunggu langkah bidak caturku. Otto terus berkata layaknya seperti aktor yang bermonolog. Yang dapat kutangkap dari monolog Otto selagi aku sibuk mengatur strategi antara lain:

“Aku baru bebas....Pengasingan memang tepat untuk ini....Nusa Kambangan....Di sana aku banar-benar dilemparkan ke tempat yang dalam, sebuah dunia lain tapi nyata....saat itu aku menemukan diriku sendirian....ada dan hidup....”

Selebihnya aku tak dengar lagi apa yang dikatakan Otto, atau mungkin ia tidak berkata apa-apa. Hingga subuh permainan baru selesai. Entah berapa babak, yang jelas tak satu kali pun aku menang. Sebelum pamit, aku sempat bertanya mengapa Otto dipenjara—satu-satunya pertanyaan yang kuanggap paling cerdas selama obrolan itu.

“Aku tak bersalah maka aku di tahan.”

***
Hajatan di peternakan berlangsung mahabesar—untuk ukuran kampung ini. Seperti dugaan banyak orang: kuwu lama kembali terpilih. Tampak merah wajah sang Kuwu karena kebanyakan minum arak. Ia terbahak, di antara kerumunan warga, di tengah alunan dangdut yang membahana. Ia sempoyongan yang dengan sigap di bimbing pengawalnya masuk ke kamar yang jendelanya menghadap ke peternakan. Kerumunan warga membuat aku dan Otto berpisah, bertemu kembali satu jam kemudian saat aku hendak pulang.

“Aku mau langsung pergi ke kota, kau mau membantuku?”

Aku hanya mengangguk, lalu marah pada diriku sendiri.

Malam itu juga kami berangkat ke kota. Inilah puncak kebodohanku karena tanpa tahu alasan kenapa aku melakukan ini. Di sebelahku, Otto duduk sangat tenang, gagang belati terselip di balik jaketnya.

“Kau masih ingat tawa angkuh kuwu saat mengangkat arak tadi? Tawa itu segera sirna,” kata Otto.

Di ujung belati itu mungkin darahnya belum kering. Aku mengemudi dengan kesadaran remang-remang. Dan untuk kali ini aku benar-benar terlemapar pada dunia yang lain, bukan lagi sopir kuwu. Sepertinya aku menuju ke tempat yang asing. 
***

Orang-orang kampung geger. Karena menemukan tubuh sang kuwu terbenam dalam kotoran sapi dengan luka menganga tepat di jantungnya. Mereka harus menguburkan satu mayat lagi, di butit itu. Upacara kematian digelar besar-besaran bak memakamkan pahlawan yang gugur di medan perang. Orang-orang kampung berinisiatif menggelar pemakaman termegah itu, karena khawatir menyinggung kuwu meski ia sudah tak bernyawa.

Bandung 23 Mei 2013


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...