Kamis, 01 Agustus 2013

"Doa Dari Prapatan" Sirkus Barock



Bunyi gitar bedenting terasa hening
Hujan menyentuh kening siang yang asing
Hidup makin kering semakin bising
Doa anak liar di prapatan
Nyanyian mereka untuk siapa?
Nyanyian mereka di dengar siapa?


foto: Septianjar Muharam
Lirik Doa dari Prapatan itu dinyanyikan musikus gaek Sawung Jabo, sambil memetik gitar, diiringi tabuhan pelan drum dan perkusi band legendaris Sirkus Barok. Sekitar seribu penonton terpaku menikmati lagu balada itu di Teater Terbuka Dago Tea House, Bandung, Rabu 29 Mei 2013.

Lagu dari Album Badut 1992 itu menjadi salah satu pembuka konser Sirkus Barock bertajuk Cerita dari Jalanan. Penonton diajak masuk menyelami masalah sosial yang terjadi di tiap perempatan kota, di mana anak-anak jalanan terus tumbuh dalam dunianya sendiri.

Di atas air asap menari
Kaca yang tetak didepanku
Di atas nasib api menyala
Nyanyianmu meresahkan hidup
Oooh… Oooh (4x)
Gitar masih berbunyi hujan berhenti
Daun yang tertunduk menyembah bumi
Halilintar di langit datang sejenak
Suaranya serak menahan marah
Api menyala air mengalir
Kita tak bisa menyingkir
Duka mereka dukanya hidup
Duka anak kehidupan
Mereka terus bertambah
Dari mana datangnya?
Mereka terus bernyanyi
Walau tak bisa menyanyi
Mereka terus berdoa
Terus saja berdoa

Pukul 20.05 WIB, Sawung Jabo yang mengenakan kemeja lengan panjang lurik, celana panjang putih, plus ikat kepala batik, naik ke atas panggung yang ditata sederhana. Sekujur tubuh panggung ditempeli dengan koran-koran bekas, begitu juga di teras panggung banyak gumpalan-gumpalan koran. Kiri kanan panggung terdapat drum yang berisi kayu yang  terbakar, asapnya membumbung ke atas langit Kota Bandung yang cerah.

Kemunculan Jabo diikuti personel Sirkus Barock lainnya, Totok Tewel (elektric guitar), Ucok Hutabarat (biola), Joel Tampeng (electric guitar), Bagus Mazasupa (keyboard), Sinung Sinyong (bass), Endy Baroque (drum), Denny Dumbo (percussion, wood wind), Giana Sudaryono (percussion). Mereka berdiri dalam formasi, lalu Aat Soeratin, MC yang juga pihak penyelenggara dari Komunitas Budaya Rumah Nusantara, memberikan sedikit sambutan, lalu mengajak hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Seorang pengibar bendera, Imam Suryantoko, berdiri paling depan sambil mengibarkan bendera Merah Putih.
 
Berikutnya, tanpa basa-basi, Sawung Jabo dkk langsung menyuguhkan beberapa lagu, di antaranya Burung Kecil. Lagu dari Album Goro Goro ini dibalut musik dalam tempo cepat. Di sela musik yang makin meninggi, muncul suara lenguhan seperti orang kesakitan diiringi gesekan biola.

Burung kecil
Burung kecil diterjang angin
Memanggil manggil
Suaranya hilang ditelan udara bising
Tak bisa kembali ke sarangnya
Orang orang kecil diterjang hidup
Berteriak teriak
Hingga habis suaranya
Tak bisa mendengar suaranya sendiri
Jutaan suara gelisah
Bergelombang datangnya
Mengguncang guncang tidur
Tidak juga kita terbangun
Ada apa !

Usai Burung Kecil, Sirkus Barock lalu menyuguhkan lagu Doa dari Prapatan, Goro-goro, Jula Juli, dan Anak Angin. Lagu-lagu ini dikemas dengan musik khas dari band yang album pertamanya lahir 1986 dengan tajuk Anak Setan. Konser ini memamerkan kepiawaian bermusik khas Sirkus Barock, yakni paduan musik rock klasik dan tradisi. Melodi gitar yang melengking hingga mengeras, berpadu dengan biola dan cello, diiringi deru drum yang berkolaborasi dengan aneka alat musik seperti perkusi, suling, gondang, karinding, rebana, harmonika hingga kecrek.

Mungkin semua penonton yang hadir malam itu setuju, Sirkus Barock menampilkan seni konser bercitarasa tinggi. Padahal Sawung Jabo tak muda lagi, juga banyak pemain Sirkus Barock yang muda dan baru. Semarak musik apik itu didukung “mini orkestra” dari grup Santen Strings Kwartet yang memainkan empat pemain alat musik gesek, yakni Ellena, Adi, Fu, dan pemain cello Hasnan.

Setelah hampir sejam konser, Sawung Jabo baru menyapa penonton yang menjejali Teater Terbuka. "Terimakasih Bandung tercinta. Senang bisa bertemu hawa Bandung yang dingin dan akrab," katanya, sambil menenggak air mineral. Kemudian penonton kembali menikmati salah satu lagu dari Album Anak Angin, Kalau Batas Tak Lagi Jelas.

Kalau batas tak lagi jelas
Mata hati harus awas
Kata harus berjiwa
Langkah harus bermakna

Konser ini ditonton penonton beragam kalangan dan usia. Berbagai reaksi dan ekspresi muncul dari penonton, kadang mereka sabar menyimak musik yang dimainkan hingga hanyut dalam musik slow dengan lirik menyentuh, ada yang manggut-manggut menyelami lagu-lagu yang umumnya bermuatan kritik sosial, kritik terhadap kekuasaan, tumbuhnya kemiskinan dan ketidakadilan. Lalu penonton otomatis bergoyang atau bertepuk tangan ketika Sirkus Barock menyajikan musik kerasnya.

Baru pada pertengahan konser, Jabo mulai mengenalkan para personelnya satu-satu, sambil diselingi dengan canda yang akrab. "Saya kenalkan para bandit yang masing-masing punya dosa yang seimbang,” ujarnya. “Terimakasih kepada para penggerak konser hingga kami bisa pentas di sini. Pokoknya kepada semua warga Bandung tercinta. Konser ini dibayarnya dengan hati.”

Kalimat Jabo tersebut mendapat tepuk tangan meriah dari penonton yang umumnya undangan dari berbagai komunitas seni di Bandung dan sekitarnya. Setelah perkenalan yang penuh dengan gelak tawa, Jabo menyatakan ada penampil khusus dalam grup Sirkus Barock, yakni musisi yang juga kerap membawakan lagu kritik sosial, Oppie Andaresta. Pelantun lagu Cuma Khayalan itu pun naik ke atas disambut gemuruh penonton.

Mengenakan pakaian gelap yang dibalut rompi putih plus celana panjang merah, Oppie berdiri di samping Jabo sambil memegang kecrek. Selanjutnya musisi kelahiran Jakarta ini berduet membawakan salah satu lagu dari Album Anak Angin yang diciptakan Sawung Jabo, Bicaralah Dengan Cinta. Lagu ini hasil permenungan Jabo terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang mudah meledak dan intoleransi terhadap perbedaan.

Mari belajar mendengar
Mari belajar bersabar
Jangan merasa paling benar
Merasa paling pintar
Jangan suka marah-marah
Jangan suka memfitnah
Jangan suka menghakimi
Jangan suka anarki
Jangan merasa suci, jangan suka membenci
Dengarkan nuranimu, bicaralah dengan cinta
Jaga kata-katamu, jaga kelakuanmu
Dengarkan nuranimu, bicaralah dengan cinta
Marilah kita belajar
Menghargai perbedaan
Jangan memaksakan kehendak
Jangan pakai kekerasan
Dunia ini milik bersama
Hidup milik semua
Mari kita saling menjaga
Hayati hidup bersama

Jabo dan Oppie lalu membawakan lagu kritis lainnya, Kesaksian Jalanan dan Dongeng Politik. Oppie memamerkan kepiawaiannya dalam bermain harmonika dan perkusi yang bersahutan dengan gesekan biola dari Ucok dan melodi dari gitar akustik Totok Tewel. Pada lagu selanjutnya, Oppie memainkan perkusi sambil sesekali memainkan harmonika atau menjadi backing vocal.

Pada sesi terakhir, Sawung Jabo mengajak penonton berdiri. Sirkus Barock membawakan lagu yang selama ini populer dibawakan Iwan Fals, Bongkar. Bongkar versi Sawung Jabo tentu sedikit berbeda dengan versi Iwan Fals, tetapi tidak kalah membongkarnya, bahkan lebih keras dan garang.  Lagu ini diawali dengan intro yang cukup panjang.

Berikutnya Sirkus Barock menyuguhkan lagu-lagu Sodron yang diiringi musik kencang diperkaya dengan melodi akustik. Usai itu, penonton yang sejak awal berteriak-teriak minta lagu Kuda Lumping dan Hio, terjawab sudah. Di penghujung konser, Sirkus Barock menghadirkan dua lagu andalannya itu. Ketika membawakan Kuda Lumping, semua penonton berdiri. Penonton di bagian paling depan panggung tidak kuasa berjingkrak dan bernyanyi, diiringi hentakan bass dan drum Kuda Lumping. Malah ada seorang penonton yang naik panggung ingin berjoget bersama Sawung Jabo, tetapi panitia berhasil membawa penonton tersebut ke tempatnya semula. Drumer Sirkus Barock, Endy Baroque, juga memamerkan aksi teatrikalnya dengan memakai topeng barong sambil naik ke atas drum. Dia berjoget diiringi pekik terompet tradisional yang biasa mengiringi kesenian Kuda Lumping yang mistis.

Kuda lumping nasibnya nungging
Mencari makan terpontang panting
Aku juga dianggap sinting
Sebenarnya siapa yang sinting?

Histeria penonton ditutup dengan lagu yang penuh dengan pesan moral, Hio. Kali ini, atraksi ditampilkan lewat perang drum, melodi, dan sayatan biola. Ratusan penonton makin larut dalam musik dan lagu yang populer dibawakan Iwan Fals dan Jabo dalam album Swami II pada 1991 itu.

Aku tak mau terlibat segala macam tipu menipu
Aku tak mau terlibat segala macam omong kosong
Aku wajar wajar saja
Aku mau apa adanya
Aku tak mau mengingkari hati nurani

Aku tak mau terlibat persekutuan manipulasi
Aku tak mau terlibat pengingkaran keadilan
Aku mau jujur jujur saja
Bicara apa adanya
Aku tak mau mengingkari hati nurani

Hio hio hio hio hio
Hio hio hio hio hio

"Terima kasih Bandung, hatur nuhun,” kata Jabo, berpamitan. Penonton gemuruh, sebagian bertepuk tangan. Meski konser sudah usai, penonton masih tetap berdiri untuk memberikan tepuk tangan kedua.

Sayang, konser musik yang apik ini harus tercoreng dengan kampanye politik. Usai membawakan Hio, Aat naik ke atas panggung sambil mengajak calon wali kota Bandung periode 2013-2018, Ridwan Kamil, untuk memberikan cinderamata kepada Sawung Jabo. Pesan moral dan kritik sosial dalam lagu Hio sepertinya tercemar kampanye. Jabo yang tidak menyadari adanya kampanye terselubung di penghujung konsernya, hanya tersenyum. Banyak penonton yang berteriak-teriak tidak setuju dengan naiknya Ridwan Kamil ke atas panggung. “Kampanye! Karunya Jabo, karunya Jabo!” kata seorang penonton.

          ***

Bagi Sirkus Barock, tampil di Dago Tea House Bandung bukanlah kali pertama. Pada 22 Mei 2011 lalu, band legendaris ini pernah konser di Teater Tertutup Dago Tea House. Tetapi konser kali ini, Sirkus Barock menyajikan lebih banyak kejutan, selain menampilkan Oppie Andaresta. Misalnya, di atas panggung Sawung Jabo mengenalkan adiknya, Peni Candra Rini, untuk membawakan lagu Pengelana Merdeka yang liriknya ditulis oleh sahabat Jabo, yakni penyair dari Surabaya, Hengky Kurniadi. Peni membawakan lagu ini dengan suara yang kadang melengking seperti sinden tradisional, kadang suaranya meninggi seperti vokalis lagu rock klasik. Selama Peni bernyanyi, Jabo hanya berdiri ambil memeluk gitarya. Jabo juga mengenalkan keponakannya Diana Sudaryono untuk membawakan lagu Gumam Batin Pengembara.

Di sela konsernya, Jabo memamerkan kemampuannya bermonolog yang diiringi musik: Jabo menunjukkan bagaimana musikalisasi monolog. Monolognya berisi kritik sosial yang berbau paradoks. Di warung becek yang memiliki satu wc yang dipakai 100-an keluarga, tutur Jabo, di dalam bus kota yang larinya seprti setan, di dalam bus juga pengap dan bau kentut. Bagaimana bisa kerja dengan baik jika tinggal di lingkungan seperti itu.

Pada monolog lain, suatu hari ada orang tua yang matanya berbinar melihat koran lusuh bergambar wanita dengan make up tebal. Si pak tua itu, tutur Jabo, ditegur oleh seseorang, kenapa membaca koran seronok. Si pak tua menjawab, mending membaca koran seronok daripada membaca koran yang berisi kekerasan atas nama agama. Si pak tua lalu dimaki sebagai kere. Tetapi pak tua cepat menjawab, “kere-kere gini juga rakyat, hati-hati orang kere bisa membuat anarki bagai buta penjarahan di mana-man. Itu sudah pernah terjadi toh, sambil kembali memeloti koran bergambar wanita itu.”

“Ternyata foto di koran itu adalah anak tetangganya sendiri,” cerita pria yang memiliki nama lahir Mochamad Djohansyah, sambil terkekeh. Musik terus mengalun mengiringi monolog ala Sirkus Barock.

“Ini cerita lain lagi. Suatu saat di warung remang jual minuman pelupa hidup yang oplosan, soal rasa nomor sekian yang penting murah dan cepat mabok. Di warung itu banyak yang nonton tv yang menghadirkan acara dialog hukum. Lalu datang seorang gimbal yang berkata bahwa dialog hukum itu percuma saja, sudah jelas terbukti dengan wanita di dalam hotel. Tapi karena partainya pintar dan bisa sewa pengecara mahal, jadi tetap saja bisa bebas. Ini kan negara partai,” tutur Jabo, pria  kelahiran Surabaya 1951 yang kini tinggal di Australia itu.

Jumat, 19 Juli 2013

Proyek Nyiber Generasi Cyber *



Edisi baru proyek Wayang Cyber. Memberi suntikan digital drawing, video mapping, dan efek 3D pada platform multimedia performance terdahulu. Durasi lebih panjang dan lebih nyiber.

Dewi Sukesi mengandung bayi dari benih Resi Wisrawa. Prabu Danapati, putra Wisrawa, tidak terima. Ia merasa dikhianati ayahnya sendiri. Semula, yang ingin mempersunting Sukesi adalah Danapati. Sedangkan Wisrawa hanya bertindak sebagai duta Danapati untuk melamar Sukesi. Tapi garis nasib pewayangan telah dituliskan. Wisrawa-lah yang mempersunting Sukesi. Alhasil, perkelahian antara ayah dan anak itu tidak terelakkan.

Perkelahian itu digambarkan dengan adegan wayang orang yang beradu fisik di tengah entakan musik tekno, ambience audial yang diproduksi oleh perkakas teknologi dan pameran gambar-gambar yang kaya warna. Saat Wisrawa tumbang --yang disusul dengan tewasnya Sukesi-- bunyi musik kian bingar, kasar dan chaos. Warna merah mendominasi layar. Sejurus kemudian, nongol kolase dua dimensi berwujud bayi-bayi bergelantungan. Tragedi itu menandai kelahiran Dasamuka, bersama segudang kebenciannya.

Petikan cerita dari epik Ramayana berjudul "Kelahiran Dasamuka" itu dibawakan sekelompok seniman muda yang menamakan pertunjukannya sebagai "Wayang Cyber". Dalam durasi 45 menit, lakon itu dibawakan di Auditorium Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jalan Setiabudi, Bandung, Senin malam 3 Juni lalu. Pertunjukan itu juga menandai proyek peluncuran kembali (relaunching) Wayang Cyber setelah delapan tahun vakum.

Dalam lakon "Kelahiran Dasamuka" ini, penonton tidak disuguhi wujud tokoh-tokoh pewayangan yang selama ini dikenal dalam format pertunjukan wayang konvensional, kecuali gunungan. Sejumlah tokoh diperankan manusia dengan teknik wayang orang. Tapi, ya itu, mereka hadir nyeleneh dengan membawa antena televisi portable dan pedang-pedangan. Kesamaan ciri lainnya, semua adegan dilakukan di balik layar, sehingga penonton hanya menyaksikan bayang-bayang.

Selebihnya, penonton disuguhi permainan cahaya, grafis, video, dan atribut-atribut audial yang biasa muncul dalam proses pengolahan data oleh komputer. Sosok-sosok non-manusia diwakili oleh kolase material dua dimensi (bayangkan bentuknya seperti wayang kulit) yang dimainkan Rifky M. Isa selaku dalang.

Misalnya, sosok Dasamuka alias Rahwana adalah kolase potongan-potongan halaman majalah dan surat kabar. Setelah disusun, kolase itu kemudian dipindai dan dicetak dalam ukuran 10 sentimeter. Bentuknya sangat rumit, seperti robot yang terbuat dari banyak campuran barang bekas, tetapi tangannya bisa digerakkan sebagaimana wayang kulit.

Setiap babak dalam lakon ''Kelahiran Dasamuka'' diawali dengan narasi. Narasi itu bisa menjadi ''penerjemah'' bagi plot pertunjukan yang cenderung abstrak. Narasi lakon diambil dari komik wayang karya maestro R.A. Kosasih.

Pentolan proyek "Relaunching Wayang Cyber", Rizky Zakariya, menyebut Wayang Cyber sebagai ekspresi seni media baru yang lahir dari eksperimen seni rupa. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Rupa UPI angkatan 2009 ini mengakui, lakon ''Kelahiran Dasamuka'' edisi Wayang Cyber merupakan ekspresi lanjutan Wayang Cyber yang digarap seniornya pada era 2001-2005. ''Ekspresi seni rupa yang dipertunjukkan,'' ujar Rizky.

Sejak inisiasi itu diperkenalkan pada 2001, modus wayang kontemporer ini dibuat sebagai perpaduan antara "wayang konvensional" dan berbagai disiplin seni rupa, seperti seni lukis, kolase, instalasi, hingga video art. Plus gabungan eksplorasi bunyi dan gerak tubuh. Semua kemungkinan media baru itu digabungkan sebagai pertunjukan bingar yang kadang juga diklaim sebagai multimedia performance art.

Salah seorang pendiri Wayang Cyber, Dida Ibrahim, menuturkan bahwa pada 2001, ketika proyek ini digarap, kebebasan informasi sedang tumbuh pesat, didukung dengan perkembangan teknologi informasi. Informasi yang bisa diakses publik begitu deras. Semangat konsumtif juga makin menguat. ''Kami ingin menampilkan wacana konsumerisme dan begitu derasnya pencitraan-pencitraan,'' kata Dida.

Penggagas Wayang Cyber ketika itu, menurut Dida, adalah anak-anak muda yang gandrung dan menjadi bagian dari ekspresi digital, seperti internet, game online, dan scanner. Dida menyebutnya sebagai generasi cyber.

Sebagai penerus, ada sejumlah unsur baru yang ditampilkan dalam Wayang Cyber edisi 2013 ini. Misalnya praktek digital drawing atau paint tablet yang lahir dari kebiasaan mahasiswa saat ini yang menggunakan tablet atau laptop untuk menggambar. Hal baru lainnya, penggunaan proyektor dua layar yang memproduksi tampilan laksana video mapping. Dan satu lagi, teknologi layar dibuat dengan sentuhan 3D. ''Jadi, bisa lebih nyiber-lah,'' kata Rizky.

Lakon "Kelahiran Dasamuka" ini dipersiapkan dan digarap selama satu tahun oleh sembilan mahasiswa UPI, bekerja sama dengan tiga orang dari kelompok Gianiati Performance yang berperan sebagai wayang orang. Dana produksinya yang kira-kira mencapai Rp 3 juta bersumber dari dana patungan antar-seniman yang terlibat. "Gotong royong," tutur Rizky.

Tradisi Wayang Cyber ini, menurut "dalang" Rifky, harus terus berlanjut untuk meramaikan seni kontemporer. Barangkali seperti Dasamuka, dengan cap antagonisnya, yang mesti ada dan diberi porsi sebagai tokoh utama demi meneguhkan sisi kepahlawanan Rama. "Tidak ada superhero tanpa kehadiran penjahat," ujar Rifky.

Bambang Sulistiyo, dan Iman Herdiana (Bandung)

* http://wap.gatra.com/2013-06-10/majalah/artikel.php?pil=23&id=154370

Selasa, 09 Juli 2013

Membuat Puisi


Membuat puisi perlu kegelisahan dan kesunyian. Dengan gelisah muncul diksi yang di rangkai di ruang yang sepi. Diskusi tentang pembuatan puisi ini digelar di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, yang dihadiri para wartawan. Diskusi ini bertajuk “Apresiasi Sastra”. Matdon adalah pimpinan Majelis Sastra Bandung. Ia membuka toko buku di Kebon Seni Tamansari.

Menurut Matdon, jurnalis adalah orang yang selalu bekerja dalam keriuhan sekaligus kesunyian. Kerja jurnalis mungkin dimulai dengang nongkrong sambil mikiran berita apa hari ini, lalu tiba-tiba dapat agenda atau peristiwa, dia mulai meliput peristiwa dalam keriuhan, hingga mengetik untuk dijadilah berita. Malamnya, si jurnalis pulang. Bagi yang sudah berkeluarga, di rumah mungkin anak-anak sudah tidur. Istrinya/suaminya terkantuk-kantuk membukakan pintu. Tinggal jurnalis tersebut duduk sendirian. Dalam kesunyian itu ia masih memikirkan peristiwa yang mungkin terjadi malam itu, peritiwa yang mengharuskannya kembali ke lapangan.

Matdon yang juga pernah menjadi jurnalis di beberapa media di antaranya Galamedia mengatakan, jurnalis merupakan suatu profesi yang sibuk. Otak jurnalis penuh dengan berbagai macam teks dalam artian bukan hanya kata-kata, tetapi meliputi peristiwa yang terjadi di dalam lingkungan manusia. Sementara tidak semua teks ditulis dan ditampung di halaman, kolom, kanal, atau gelombang radio dan tv karena sangat terbatasnya ruang lingkup redaksi.

Di tengah lautan teks tersebut, jurnalis hidup dalam kegelisahan. Dalam istilah Matdon, saat gelisah itulah perlu ada pengendapan. Teks yang tertinggal atau mengendap tadi sebaiknya dituangkan dalam bentuk puisi. Menulis puisi baik untuk orang yang selalu gelisah—salah satu syarat membuat puisi harus ada kegelisahan. Dan di rumah yang sepi adalah kegelisahan dalam bentuk lain. Tetapi menulis puisi tentu tidak hanya untuk orang yang sehari-hari berhadapan dengan kata dan kalimat. Menulis puisi bisa dilakukan oleh siapa pun, oleh orang sibuk tentang apa pun.

Matdon mendefinisikan puisi sebagai kata-kata yang indah, meski sebenarnya definisi puisi sangat banyak. Unsur puisi di antaranya tipografi atau bentuk bangunan puisi; bentuknya bisa bebas tidak terikat huruf besar kecil titik koma dsb, ada juga puisi yang memerhatikan rima dan irama seperti puisi-puisi karangan pujangga lama. Misalnya ada sajak ab ab dan seterusnya. Unsur lainnya, diksi atau pemilihan kata yang tepat untuk teks puisi yang kaitannya dengan metafora. Lalu ada unsur imajinasi. Kata Matdon, yang dibutuhkan penyair adalah keliaran-keliaran imajinasi. Sedangkan mengenai metafor dan diksi tergantung sejauh mana jam terbang si penyair. Kosa kata yang dipakai penyair dalam syairnya kata-kata yang itu-itu juga, maksudnya kata-kata yang sebenarnya biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Namun di tangan penyair, kata-kata yang biasa itu seperti lahir kembali atau menjadi kata atau diksi yang baru. Hal ini muncul karena kebiasaan menulis dari si penyair.

Matdon membacakan puisi berjudul Tutug Oncom, “pada setiap butir cikur yang digerus dalam coet....lembar demi lembar surawung getarkan kasmaran....akan kupungut remah-remah di lidahmu". Puisi ini berisi kata-kata yang sudah akrab dalam kehidupan sehari-hari, tetapi—meminjam istilah Matdon—ada keliaran-keliaran imajinasi.

Membuat puisi adalah menjalankan pekerjaan intlektual yang tinggi dan mumpuni. Di dalam kasta tulisan, puisi atau penyair ada di kasta paling atas, kasta kedua prosais, kasta ketiga esais, dan keempat jurnalis yang menghasilkan karya berita.

Meski berada di kasta tertinggi dan sebagai kerja intelektual tertinggi, pada dasarnya setiap orang pernah membuat puisi. Paling tidak membuat surat cinta, kata Matdon. Dalam surat cinta biasanya dibumbui dengan kata-kata indah. Maka dengan dasar menulis surat cinta itu, setiap orang sebenarnya punya bakat kepenyairan, tentu harus ditingkatkan dengan membuat puisi.

Dalam membuat puisi, lanjut Matdon, diperlukan kesabaran yang ekstra. Satu puisi bisa selesai dalam tempo sehari, sebulan, atau setahun, waktunya tak terbatas, tak ada deadline. Selain sabar, menulis puisi harus dijalankan secara konsisten meski bukan berarti harus tiap hari membuat puisi. Kita kan bukan pabrik, timpal Matdon. Jika terlalu produktif membuat puisi justru akan terjebak ke dalam teks yang itu-itu juga alias monoton.

Dengan kata lain, menulis puisi tidak harus seketika jadi karena harus melewati proses memeras kata-kata. Matdon menuturkan, ada penyair yang harus mencatat dulu frame-framenya. Seperti melukis, puisi juga membutuhkan sketsa-sketsa.

Panjang pendek puisi juga tergantung keputusan si penyair. Ada puisi yang sangat panjang, ada juga puisi yang sangat penden. Matdon membacakan puisinya berjudul Kangen: bahkan angin pun kusangka dirimu. Puisi ini dia buatnya selama 3 bulan.

Matdon mengingatkan, menulis puisi tetap harus empiris, berdasarkan pada pengalaman dan kenyataan serta menjunjung tinggi kejujuran. Misalnya seseorang akan menulis puisi tentang bunga sakura, ya harus ke Jepang dulu untuk menyaksikan bunga khas itu. Jika tidak pernah melihat langsung alam bunga sakura, sebaiknya tidak perlu menulis tentang sakura. Masih banyak bunga di Indonesia yang bisa ditulis dalam bait puisi. Karena puisi harus ditulis dengan jujur.

Lalu, sambung Matdon, puisi juga harus ada yang mengkritisi, artinya harus ada yang membaca minimal oleh teman kita. Setelah dibaca, puisi tersebut akan menjadi milik orang lain, bukan lagi milik si pembuat puisi semata.

Puisi yang berhasil adalah puisi yang banyak menimbulkan interpretasi, dimaknai, bahkan kontroversi. Puisi yang tak berhasil adalah puisi yang satu frame saja, atau terlalu normatif. Puisi satu frame maksudnya semua orang sependapat dengan makna puisi ini. Contoh puisi yang satu frame misalnya puisi mimbar, puisi pamplet, puisi protes, atau puisi yang biasa muncul dalam monolog di mana orang mengerti dengan teks-teks puisi tersebut.

Lalu ada genre puisi kamar yang sunyi, menyendiri, seperti puisi jatuh cinta atau pertobatan. Matdon membacakan salah satu puisinya: setelah doa malam tuhan rebah di dadaku.
Saat ini, kata Matdon, perpuisian di Indonesia berada pada genre pasca Chairil Anwar. Tidak ada puisi yang baru setelah puisi Chairil Anwar. Cahiril Anwar telah mendobrak gaya puisi lama. Para penyair masa kini mengikuti jejak-jejaknya.

Jika puisi yang ditulis sudah banyak, bisa diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan puisi. Untuk memancing pembaca atau pemberitaan, sebaiknya ada beberapa puisi mimbar atau puisi yang bisa dimengerti banyak orang, sehingga tidak semua puisi yang dibukukan itu bersipat gelap. Namun kendalanya, untuk menerbitkan buku puisi harus dilakukan secara independen atawa modal sendiri. Penyait Acep Zamzam Noor menerbitkan buku puisinya secara indie. Ini karena buku puisi kurang laku di pasaran. Tetapi jangan risau, ada hikmah di balik usaha, begitu juga di balik usaha menyusun buku puisi.

Nah persoalannya, bagaimana menumbuhkan mood untuk membuat puisi. Matdon mengungkapkan beberapa tahapan. Mungkin pertanyaan pertama dalam membuat puisi, tubuh dulu atau judul puisi dulu? Ini persoalan banyak orang, termasuk persoalan lama yang dihadapi penyair. Sebenarnya, kata Matdon, untuk memulai bisa dari mana saja, tergantung enaknya. Matdon sendiri membuat puisi dengan memikirkan judul dulu, judul yang menarik, setelah itu baru membuat tubuh puisinya.

Tahapan lain, biasanya orang yang membuat puisi adalah orang yang cerdas, artinya orang itu bisa memahami apa yang terjadi di sekitar dirinya, dari situ biasanya ada hasrat untuk menulis. Berikutnya, menulis puisi harus dijalani dengan sabar, diperlukan waktu untuk bisa menjadi penyair, dan jangan menyebut diri sebagai penyair.

Lalu, harus ada yang mengkritik puisi kita. Selain itu, puisi yang dibuat harus kaya akan ilmu pengetahuan karena menulis puisi adalah menulis kenyataan dengan intelektual yang tinggi. Untuk itu, diperlukan memperkaya wawasan kita dengan banyak-banyak membaca, membaca apa saja.

Nah, selamat mencoba berpuisi.

Rabu, 19 Juni 2013

Alam Harus Dibela



Dinding galeri yang penuh dengan lukisan di atas kanvas, sudah biasa. Tetapi bagaimana jika lukisan-lukisan itu dibuat di atas seng ukuran sekitar 3x2 meter?

Di tangan para seniman Bandung, seng yang biasa dijadikan pagar oleh para pengembang, justru menjadi kanvas. Pemandangan itu bisa dilihat di Pameran "Senisasi Seng Siliwangi" bertajuk “Tolak Komersialisasi Babakan Siliwangi” yang digelar di Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Jalan Naripan, Bandung.  Babakan Siliwangi merupakan hutan kota yang keberadaannya tercancam pembangunan.

Pameran ini dibuka Sabtu 25 Mei 2013, diikuti 36 seniman di antaranya para pelukis ternama seperti Tisna Sanjaya, Isa Perkasa, Diyanto, termasuk musisi grup religi, Acil Bimbo. Ada juga seniman dari luar negeri seperti Shitaima (Mexico) dan Mikael (Slovakia).

Tisna Sanjaya menyajikan lukisan sejenis monster yang hendak memangsa alam dengan warna gelap yang khas, hitam dan putih. Pada umumnya setiap seniman menampilkan gambar atau mural yang mengusung semangat menolak pembabatan hutan kota. Semuanya menolak komersialisasi Babakan Siliwangi, Jalan Siliwangi, Bandung.

Ada lebih dari seratus seng yang dipajang di dinding pameran YPK Bandung. Seng-seng tersebut awalnya menjadi pagar yang mengelilingi Babakan Siliwangi, hutan kota yang luasnya 3,8 hektar. Pengembang swasta PT Esa Gemilang Indah (EGI) berencana membangun restoran di hutan kota yang ditetapkan sebagai hutan kota dunia lewat Konferensi Anak dan Pemuda Internasional Tunza 2011 yang diprakarsai PBB lewat UNEF.

Rencana pembangunan Babakan Siliwangi itu didukung Walikota Bandung Dada Rosada. Konon, PT EGI mendapat IMB diberikan pada Desember 2012. Kebijakan ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan warga mulai dari seniman, akademisi, komunitas, aktivis, pengecara, jurnalis, dosen, mahasiswa, organisasi lingkungan, dan berbagai elemen lainnya. Kemudian mereka membentuk Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi.

Salah satu penggagas Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi Hawe Setiawan menjelaskan, pameran "Senisasi Seng Siliwangi" bagian dari gerakan kebudayaan menentang perusakan Babakan Siliwangi. Forum warga ini berkeberatan dengan kebijakan Walikota Bandung. “Kebijakan ini dipastikan mengancam hutan kota yang tersisa di Bandung,” kata Hawe.

Dosen sastra Universitas Pasundan ini menuturkan, pelukisan atau pembuatan mural di atas pagar seng dimulai pada 2011, ketika PT EGI mulai memagari Babakan Siliwangi. Pelukisan itu bentuk protes warga yang menentang rencana pengembangan restoran.

Pada Senin 20 Mei, ribuan massa yang tergabung dalam forum warga tersebut membongkar pagar seng yang mengelilingi Babakan Siliwangi. Pembongkaran bertepatan dengan HUT ke-67 Kodam III Siliwangi dan Hari Kebangkitan Nasional. Pagar seng tersebut kemudian diarak menuju Balai Kota Bandung. Di kantor orang nomor 1 di Bandung itu, massa melakukan demonstrasi. Usai demonstrasi, lukisan seng itu dipajang di galeri YPK Bandung untuk dihargai sebagai karya seni.

“Melalui seni ini ingin dicapai suatu terobosan atas kebuntuan politik untuk menciptakan kebijakan yang memenuhi harapan publik. Melalui seni, ingin disampaikan sanggahan kolektif atas gerak kapital yang menistakan alam dan hak azasi manusia,” katanya.

Dwi Sawung, salah seorang peserta pameran yang juga bagian Advokasi Walhi Jabar, menuturkan, lukisan tersebut dibuat secara seporadis dalam kurun 2011 hingga 2013. Sawung sendiri menyumbangkan lukisan bertema "Bandung Lautan Beton".
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...