Selasa, 09 Juli 2013

Membuat Puisi


Membuat puisi perlu kegelisahan dan kesunyian. Dengan gelisah muncul diksi yang di rangkai di ruang yang sepi. Diskusi tentang pembuatan puisi ini digelar di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, yang dihadiri para wartawan. Diskusi ini bertajuk “Apresiasi Sastra”. Matdon adalah pimpinan Majelis Sastra Bandung. Ia membuka toko buku di Kebon Seni Tamansari.

Menurut Matdon, jurnalis adalah orang yang selalu bekerja dalam keriuhan sekaligus kesunyian. Kerja jurnalis mungkin dimulai dengang nongkrong sambil mikiran berita apa hari ini, lalu tiba-tiba dapat agenda atau peristiwa, dia mulai meliput peristiwa dalam keriuhan, hingga mengetik untuk dijadilah berita. Malamnya, si jurnalis pulang. Bagi yang sudah berkeluarga, di rumah mungkin anak-anak sudah tidur. Istrinya/suaminya terkantuk-kantuk membukakan pintu. Tinggal jurnalis tersebut duduk sendirian. Dalam kesunyian itu ia masih memikirkan peristiwa yang mungkin terjadi malam itu, peritiwa yang mengharuskannya kembali ke lapangan.

Matdon yang juga pernah menjadi jurnalis di beberapa media di antaranya Galamedia mengatakan, jurnalis merupakan suatu profesi yang sibuk. Otak jurnalis penuh dengan berbagai macam teks dalam artian bukan hanya kata-kata, tetapi meliputi peristiwa yang terjadi di dalam lingkungan manusia. Sementara tidak semua teks ditulis dan ditampung di halaman, kolom, kanal, atau gelombang radio dan tv karena sangat terbatasnya ruang lingkup redaksi.

Di tengah lautan teks tersebut, jurnalis hidup dalam kegelisahan. Dalam istilah Matdon, saat gelisah itulah perlu ada pengendapan. Teks yang tertinggal atau mengendap tadi sebaiknya dituangkan dalam bentuk puisi. Menulis puisi baik untuk orang yang selalu gelisah—salah satu syarat membuat puisi harus ada kegelisahan. Dan di rumah yang sepi adalah kegelisahan dalam bentuk lain. Tetapi menulis puisi tentu tidak hanya untuk orang yang sehari-hari berhadapan dengan kata dan kalimat. Menulis puisi bisa dilakukan oleh siapa pun, oleh orang sibuk tentang apa pun.

Matdon mendefinisikan puisi sebagai kata-kata yang indah, meski sebenarnya definisi puisi sangat banyak. Unsur puisi di antaranya tipografi atau bentuk bangunan puisi; bentuknya bisa bebas tidak terikat huruf besar kecil titik koma dsb, ada juga puisi yang memerhatikan rima dan irama seperti puisi-puisi karangan pujangga lama. Misalnya ada sajak ab ab dan seterusnya. Unsur lainnya, diksi atau pemilihan kata yang tepat untuk teks puisi yang kaitannya dengan metafora. Lalu ada unsur imajinasi. Kata Matdon, yang dibutuhkan penyair adalah keliaran-keliaran imajinasi. Sedangkan mengenai metafor dan diksi tergantung sejauh mana jam terbang si penyair. Kosa kata yang dipakai penyair dalam syairnya kata-kata yang itu-itu juga, maksudnya kata-kata yang sebenarnya biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Namun di tangan penyair, kata-kata yang biasa itu seperti lahir kembali atau menjadi kata atau diksi yang baru. Hal ini muncul karena kebiasaan menulis dari si penyair.

Matdon membacakan puisi berjudul Tutug Oncom, “pada setiap butir cikur yang digerus dalam coet....lembar demi lembar surawung getarkan kasmaran....akan kupungut remah-remah di lidahmu". Puisi ini berisi kata-kata yang sudah akrab dalam kehidupan sehari-hari, tetapi—meminjam istilah Matdon—ada keliaran-keliaran imajinasi.

Membuat puisi adalah menjalankan pekerjaan intlektual yang tinggi dan mumpuni. Di dalam kasta tulisan, puisi atau penyair ada di kasta paling atas, kasta kedua prosais, kasta ketiga esais, dan keempat jurnalis yang menghasilkan karya berita.

Meski berada di kasta tertinggi dan sebagai kerja intelektual tertinggi, pada dasarnya setiap orang pernah membuat puisi. Paling tidak membuat surat cinta, kata Matdon. Dalam surat cinta biasanya dibumbui dengan kata-kata indah. Maka dengan dasar menulis surat cinta itu, setiap orang sebenarnya punya bakat kepenyairan, tentu harus ditingkatkan dengan membuat puisi.

Dalam membuat puisi, lanjut Matdon, diperlukan kesabaran yang ekstra. Satu puisi bisa selesai dalam tempo sehari, sebulan, atau setahun, waktunya tak terbatas, tak ada deadline. Selain sabar, menulis puisi harus dijalankan secara konsisten meski bukan berarti harus tiap hari membuat puisi. Kita kan bukan pabrik, timpal Matdon. Jika terlalu produktif membuat puisi justru akan terjebak ke dalam teks yang itu-itu juga alias monoton.

Dengan kata lain, menulis puisi tidak harus seketika jadi karena harus melewati proses memeras kata-kata. Matdon menuturkan, ada penyair yang harus mencatat dulu frame-framenya. Seperti melukis, puisi juga membutuhkan sketsa-sketsa.

Panjang pendek puisi juga tergantung keputusan si penyair. Ada puisi yang sangat panjang, ada juga puisi yang sangat penden. Matdon membacakan puisinya berjudul Kangen: bahkan angin pun kusangka dirimu. Puisi ini dia buatnya selama 3 bulan.

Matdon mengingatkan, menulis puisi tetap harus empiris, berdasarkan pada pengalaman dan kenyataan serta menjunjung tinggi kejujuran. Misalnya seseorang akan menulis puisi tentang bunga sakura, ya harus ke Jepang dulu untuk menyaksikan bunga khas itu. Jika tidak pernah melihat langsung alam bunga sakura, sebaiknya tidak perlu menulis tentang sakura. Masih banyak bunga di Indonesia yang bisa ditulis dalam bait puisi. Karena puisi harus ditulis dengan jujur.

Lalu, sambung Matdon, puisi juga harus ada yang mengkritisi, artinya harus ada yang membaca minimal oleh teman kita. Setelah dibaca, puisi tersebut akan menjadi milik orang lain, bukan lagi milik si pembuat puisi semata.

Puisi yang berhasil adalah puisi yang banyak menimbulkan interpretasi, dimaknai, bahkan kontroversi. Puisi yang tak berhasil adalah puisi yang satu frame saja, atau terlalu normatif. Puisi satu frame maksudnya semua orang sependapat dengan makna puisi ini. Contoh puisi yang satu frame misalnya puisi mimbar, puisi pamplet, puisi protes, atau puisi yang biasa muncul dalam monolog di mana orang mengerti dengan teks-teks puisi tersebut.

Lalu ada genre puisi kamar yang sunyi, menyendiri, seperti puisi jatuh cinta atau pertobatan. Matdon membacakan salah satu puisinya: setelah doa malam tuhan rebah di dadaku.
Saat ini, kata Matdon, perpuisian di Indonesia berada pada genre pasca Chairil Anwar. Tidak ada puisi yang baru setelah puisi Chairil Anwar. Cahiril Anwar telah mendobrak gaya puisi lama. Para penyair masa kini mengikuti jejak-jejaknya.

Jika puisi yang ditulis sudah banyak, bisa diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan puisi. Untuk memancing pembaca atau pemberitaan, sebaiknya ada beberapa puisi mimbar atau puisi yang bisa dimengerti banyak orang, sehingga tidak semua puisi yang dibukukan itu bersipat gelap. Namun kendalanya, untuk menerbitkan buku puisi harus dilakukan secara independen atawa modal sendiri. Penyait Acep Zamzam Noor menerbitkan buku puisinya secara indie. Ini karena buku puisi kurang laku di pasaran. Tetapi jangan risau, ada hikmah di balik usaha, begitu juga di balik usaha menyusun buku puisi.

Nah persoalannya, bagaimana menumbuhkan mood untuk membuat puisi. Matdon mengungkapkan beberapa tahapan. Mungkin pertanyaan pertama dalam membuat puisi, tubuh dulu atau judul puisi dulu? Ini persoalan banyak orang, termasuk persoalan lama yang dihadapi penyair. Sebenarnya, kata Matdon, untuk memulai bisa dari mana saja, tergantung enaknya. Matdon sendiri membuat puisi dengan memikirkan judul dulu, judul yang menarik, setelah itu baru membuat tubuh puisinya.

Tahapan lain, biasanya orang yang membuat puisi adalah orang yang cerdas, artinya orang itu bisa memahami apa yang terjadi di sekitar dirinya, dari situ biasanya ada hasrat untuk menulis. Berikutnya, menulis puisi harus dijalani dengan sabar, diperlukan waktu untuk bisa menjadi penyair, dan jangan menyebut diri sebagai penyair.

Lalu, harus ada yang mengkritik puisi kita. Selain itu, puisi yang dibuat harus kaya akan ilmu pengetahuan karena menulis puisi adalah menulis kenyataan dengan intelektual yang tinggi. Untuk itu, diperlukan memperkaya wawasan kita dengan banyak-banyak membaca, membaca apa saja.

Nah, selamat mencoba berpuisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...