Membuat puisi perlu kegelisahan dan kesunyian. Dengan gelisah muncul diksi yang di rangkai di ruang yang sepi. Diskusi tentang pembuatan puisi ini digelar di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, yang dihadiri para wartawan. Diskusi ini bertajuk “Apresiasi Sastra”. Matdon adalah pimpinan Majelis Sastra Bandung. Ia membuka toko buku di Kebon Seni Tamansari.
Menurut Matdon, jurnalis adalah orang yang selalu bekerja
dalam keriuhan sekaligus kesunyian. Kerja jurnalis mungkin dimulai dengang nongkrong
sambil mikiran berita apa hari ini, lalu tiba-tiba dapat agenda atau peristiwa,
dia mulai meliput peristiwa dalam keriuhan, hingga mengetik untuk dijadilah
berita. Malamnya, si jurnalis pulang. Bagi yang sudah berkeluarga, di
rumah mungkin anak-anak sudah tidur. Istrinya/suaminya terkantuk-kantuk membukakan
pintu. Tinggal jurnalis tersebut duduk sendirian. Dalam kesunyian itu ia masih
memikirkan peristiwa yang mungkin terjadi malam itu, peritiwa yang mengharuskannya
kembali ke lapangan.
Matdon yang juga pernah menjadi jurnalis di beberapa media di antaranya Galamedia mengatakan, jurnalis merupakan suatu profesi yang sibuk. Otak jurnalis penuh dengan berbagai macam teks dalam artian bukan hanya kata-kata, tetapi meliputi peristiwa yang terjadi di dalam lingkungan manusia. Sementara tidak semua teks ditulis dan ditampung di halaman, kolom, kanal, atau gelombang radio dan tv karena sangat terbatasnya ruang lingkup redaksi.
Di tengah lautan teks tersebut, jurnalis hidup dalam
kegelisahan. Dalam istilah Matdon, saat gelisah itulah perlu ada pengendapan. Teks
yang tertinggal atau mengendap tadi sebaiknya dituangkan dalam bentuk puisi.
Menulis puisi baik untuk orang yang selalu gelisah—salah satu syarat membuat
puisi harus ada kegelisahan. Dan di rumah yang sepi adalah kegelisahan dalam
bentuk lain. Tetapi menulis puisi tentu tidak hanya untuk orang yang
sehari-hari berhadapan dengan kata dan kalimat. Menulis puisi bisa dilakukan
oleh siapa pun, oleh orang sibuk tentang apa pun.
Matdon mendefinisikan puisi sebagai kata-kata yang indah,
meski sebenarnya definisi puisi sangat banyak. Unsur puisi di antaranya tipografi
atau bentuk bangunan puisi; bentuknya bisa bebas tidak terikat huruf besar kecil
titik koma dsb, ada juga puisi yang memerhatikan rima dan irama seperti puisi-puisi
karangan pujangga lama. Misalnya ada sajak ab ab dan seterusnya. Unsur lainnya,
diksi atau pemilihan kata yang tepat untuk teks puisi yang kaitannya dengan metafora.
Lalu ada unsur imajinasi. Kata Matdon, yang dibutuhkan penyair adalah
keliaran-keliaran imajinasi. Sedangkan mengenai metafor dan diksi tergantung sejauh
mana jam terbang si penyair. Kosa kata yang dipakai penyair dalam syairnya kata-kata
yang itu-itu juga, maksudnya kata-kata yang sebenarnya biasa dipakai dalam
kehidupan sehari-hari. Namun di tangan penyair, kata-kata yang biasa itu
seperti lahir kembali atau menjadi kata atau diksi yang baru. Hal ini muncul
karena kebiasaan menulis dari si penyair.
Matdon membacakan puisi berjudul Tutug Oncom, “pada setiap
butir cikur yang digerus dalam coet....lembar demi lembar surawung getarkan
kasmaran....akan kupungut remah-remah di lidahmu". Puisi ini berisi
kata-kata yang sudah akrab dalam kehidupan sehari-hari, tetapi—meminjam istilah
Matdon—ada keliaran-keliaran imajinasi.
Membuat puisi adalah menjalankan pekerjaan intlektual yang
tinggi dan mumpuni. Di dalam kasta tulisan, puisi atau penyair ada di kasta
paling atas, kasta kedua prosais, kasta ketiga esais, dan keempat jurnalis yang
menghasilkan karya berita.
Meski berada di kasta tertinggi dan sebagai kerja
intelektual tertinggi, pada dasarnya setiap orang pernah membuat puisi. Paling
tidak membuat surat cinta, kata Matdon. Dalam surat cinta biasanya dibumbui
dengan kata-kata indah. Maka dengan dasar menulis surat cinta itu, setiap orang
sebenarnya punya bakat kepenyairan, tentu harus ditingkatkan dengan membuat
puisi.
Dalam membuat puisi, lanjut Matdon, diperlukan kesabaran
yang ekstra. Satu puisi bisa selesai dalam tempo sehari, sebulan, atau setahun,
waktunya tak terbatas, tak ada deadline. Selain sabar, menulis puisi harus dijalankan
secara konsisten meski bukan berarti harus tiap hari membuat puisi. Kita kan bukan
pabrik, timpal Matdon. Jika terlalu produktif membuat puisi justru akan
terjebak ke dalam teks yang itu-itu juga alias monoton.
Dengan kata lain, menulis puisi tidak harus seketika jadi
karena harus melewati proses memeras kata-kata. Matdon menuturkan, ada penyair yang
harus mencatat dulu frame-framenya. Seperti melukis, puisi juga membutuhkan sketsa-sketsa.
Panjang pendek puisi juga tergantung keputusan si penyair. Ada
puisi yang sangat panjang, ada juga puisi yang sangat penden. Matdon membacakan
puisinya berjudul Kangen: bahkan angin
pun kusangka dirimu. Puisi ini dia buatnya selama 3 bulan.
Matdon mengingatkan, menulis puisi tetap harus empiris,
berdasarkan pada pengalaman dan kenyataan serta menjunjung tinggi kejujuran. Misalnya
seseorang akan menulis puisi tentang bunga sakura, ya harus ke Jepang dulu
untuk menyaksikan bunga khas itu. Jika tidak pernah melihat langsung alam bunga
sakura, sebaiknya tidak perlu menulis tentang sakura. Masih banyak bunga di
Indonesia yang bisa ditulis dalam bait puisi. Karena puisi harus ditulis dengan
jujur.
Lalu, sambung Matdon, puisi juga harus ada yang mengkritisi,
artinya harus ada yang membaca minimal oleh teman kita. Setelah dibaca, puisi tersebut
akan menjadi milik orang lain, bukan lagi milik si pembuat puisi semata.
Puisi yang berhasil adalah puisi yang banyak menimbulkan interpretasi,
dimaknai, bahkan kontroversi. Puisi yang tak berhasil adalah puisi yang satu frame
saja, atau terlalu normatif. Puisi satu frame maksudnya semua orang sependapat
dengan makna puisi ini. Contoh puisi yang satu frame misalnya puisi mimbar,
puisi pamplet, puisi protes, atau puisi yang biasa muncul dalam monolog di mana
orang mengerti dengan teks-teks puisi tersebut.
Lalu ada genre puisi kamar yang sunyi, menyendiri, seperti
puisi jatuh cinta atau pertobatan. Matdon membacakan salah satu puisinya: setelah doa malam tuhan rebah di dadaku.
Saat ini, kata Matdon, perpuisian di Indonesia berada pada genre
pasca Chairil Anwar. Tidak ada puisi yang baru setelah puisi Chairil Anwar.
Cahiril Anwar telah mendobrak gaya puisi lama. Para penyair masa kini mengikuti
jejak-jejaknya.
Jika puisi yang ditulis sudah banyak, bisa diterbitkan dalam
bentuk buku kumpulan puisi. Untuk memancing pembaca atau pemberitaan, sebaiknya
ada beberapa puisi mimbar atau puisi yang bisa dimengerti banyak orang, sehingga
tidak semua puisi yang dibukukan itu bersipat gelap. Namun kendalanya, untuk menerbitkan
buku puisi harus dilakukan secara independen atawa modal sendiri. Penyait Acep
Zamzam Noor menerbitkan buku puisinya secara indie. Ini karena buku puisi kurang
laku di pasaran. Tetapi jangan risau, ada hikmah di balik usaha, begitu juga di
balik usaha menyusun buku puisi.
Nah persoalannya, bagaimana menumbuhkan mood untuk membuat
puisi. Matdon mengungkapkan beberapa tahapan. Mungkin pertanyaan pertama dalam
membuat puisi, tubuh dulu atau judul puisi dulu? Ini persoalan banyak orang,
termasuk persoalan lama yang dihadapi penyair. Sebenarnya, kata Matdon, untuk
memulai bisa dari mana saja, tergantung enaknya. Matdon sendiri membuat puisi
dengan memikirkan judul dulu, judul yang menarik, setelah itu baru membuat tubuh
puisinya.
Tahapan lain, biasanya orang yang membuat puisi adalah orang
yang cerdas, artinya orang itu bisa memahami apa yang terjadi di sekitar dirinya,
dari situ biasanya ada hasrat untuk menulis. Berikutnya, menulis puisi harus
dijalani dengan sabar, diperlukan waktu untuk bisa menjadi penyair, dan jangan menyebut
diri sebagai penyair.
Lalu, harus ada yang mengkritik puisi kita. Selain itu, puisi
yang dibuat harus kaya akan ilmu pengetahuan karena menulis puisi adalah menulis
kenyataan dengan intelektual yang tinggi. Untuk itu, diperlukan memperkaya
wawasan kita dengan banyak-banyak membaca, membaca apa saja.
Nah, selamat mencoba berpuisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar