Sabtu, 14 Januari 2012

WS Rendra, Mastodon dan Burung Kondor




ws rendra   foto:jurnalfootage.net

Jose Karosta, mahasiswa yang juga penyair, berkata, Kemudian hatinya pilu melihat jejak-jejak yang sedih dari buruh tani yang teracak di atas tanah gembur, namun tidak memberikan kemakmuran bagi pendudukanya.

Pemuda berambut gondrong itu berdiri di atas panggung. Wajahnya menghadap kepada ratusan penonton yang memadati Graha Sanusi Universitas Padjdjaran (Unpad) Bandung.

“Wahai tanah airku, alangkah subur lembah-lembahmu namun alangkah melarat rakyat-rakyatmu. Penderitaan mengalir dalam parit-parit dari wajah rakyatku, mereka mengerjakan usaha, tetapi akan buahnya mereka tidak punya hak memakai apapun, tidak punya hak memilikinya. Dari pagi sampai siang, rakyat negeriku bergerak-gerak menggapai-gapai, menoleh ke kanan, menoleh ke kiri dalam usaha tak menentu. Dari siang sampai sore mereka jadi onggokan sampah. Dan di malam hari mereka terbanting di lantai dan sukmanya menjadi burung kondor,” lanjut Jose.

Jose menjadi tokoh sentral dalam teater Mastodon dan Burung Kondor yang dipentaskan di aula utama Unpad malam itu. Suatu rezim yang serakah dan diktator disebutnya ‘mastodon’. Sementara rakyat yang selalu menderita adalah ‘burung kondor’.

Kalimat yang diucapkan Jose berupa syair sajak yang mengungkapkan pemikiran WS Rendra, penulis naskah Mastodon dan Burung Kondor. Naskah tersebut dipentaskan kembali Ken Zuraida Project dengan sutradara istri Rendra, Ken Zuraida.

Pada adegan lain di lakon yang pertama kali pentas pada  1973 itu, sekumpulan mahasiswa mengusung obor di sebuah kampus yang berada di suatu negeri di Amerika Latin. Dengan penerangan obor itu mereka berunding membahas nasib negara yang dicengkram rezim militer. Mereka menyusun strategi pergerakan. Nama Jose Karosta disebut-sebut para aktivis itu sebagai sosok yang tepat untuk menarik simpati massa. Mereka akan memanfaatkan pengaruh Jose Karosta.

Para aktivis mempertanyakan arti pergerakan mahasiswa untuk mengubah sistem yang menindas. "Kita memasuki kampus ini untuk tahu api jiwa. Kampus adalah tempat menyusun, mengolah, menguji kebijaksanaan. Tetapi selama ini kita tidak diberi kesempatan untuk itu," kata Juan Prederico (diperankan Angin Kamajaya), aktivis yang memimpin pergerakan.

Mereka menilai, pendidikan yang ada telah dijejali kebijaksanaan yang telah diresmikan pemerintah. Ruang diskusi dan seminar hanya disusun untuk peng-iya-an. “Pengiyaan hanya mematikan jiwa mahasiswa. Kita tidak ingin di kampus ini jiwa kita mati,” kata Juan berapi-api.

Maka dalam rundingan antar aktivis dari berbagai kampus yang datang dari berbagai penjuru negeri yang majemuk itu, muncul wacana Revolusi Semesta Berencana. Hanya saja mereka bingung bagaimana menularkan semangat revolusi dari kampus kepada rakyat yang berada di luar kampus. Maka Juan yang cerdas, ingat kepada seorang penyair kampus yang sudah dikenal merakyat, Jose Karosta (Totenk Mahdasi Tatang).

Diutuslah seorang mahasiswi cantik bernama Fabiola Andrez (Maryam Supraba) untuk melobi si penyair gondrong Jose Karosta. Terjadilah perdebatan antara Fabiola dan Jose, perdebatan yang mencerminkan pemikiran Rendra. Fabiola yang memiliki tubuh semampai berkata, penderitaan rakyat bukan hanya rohani tetapi praktis. “Kamu jangan hanya berleha-leha dengan sajak dan filsafat,” katanya, menyindir Jose.

Namun Jose tahu bahwa Fabiola disuruh Juan Prederico supaya mau bergabung ke dalam gerakan Revolusi Semesta Berencana. Jose mencium dirinya akan dimanfaatkan gerakan mahasiswa. “Perubahan yang mendadak yang ditimbulkan oleh revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu,” timpal Jose.

Jose tidak percaya pada perubahan mendadak. Baginya, revolusi hanya akan ganti baju sementara jiwanya tetap sama. Para aktivis yang berperan dalam revolusi nantinya akan berubah menjadi elit politik, saat itulah dia akan menjadi diktator.

“Kaum ekstrimis sebenarnya terpisah dari masyarakat umum. Seandainya berkuasa, merekapun akan tetap ekstrim dan akan tetap terpisah dari masalah masyarakatnya. Sebelum menang mereka bernama grilyawan, sesudah menang mereka akan berubah menjadi diktator,” ungkapnya.

Para aktivis pengikut Juan Prederico menuduh Jose Karosta sebagai penyair yang terlena dengan puisi dan dongeng cinta. Tetapi, jawab Jose, memang secara langsung puisi tidak bisa mengatasi kemelaratan rakyat. Namun, seni memberi pengertian dari segi kebudayaan. “Seni terutama memberikan pengertian, bukan hanya hiburan. Tetapi karena pengertian mendatangkan kekuatan, maka kekuatan bisa menjadi hiburan,” tegasnya.

ws rendra    foto: rendrarendra.blogspot.com
Bagi Jose, dongeng dan kisah percintaan bukan pelarian tapi keseimbangan.

Naskah Mastodon dan Burung Kondor merupakan masterpiece mendiang Rendra. Naskah ini ditulis penyair berjuluk si Burung Merak itu antara 1971-1973 dengan mengambil konteks kehidupan di Amerika Latin. Namun, banyak yang percaya lakon Mastodon dan Burung Kondor merupakan simbol kehidupan Indonesia masa itu yang dicengkram rezim Orde Baru.

Rektor Unpad Ganjar Kurnia mengatakan, adalah hak semua orang untuk berimajinasi dan berinterpretasi tentang apa yang diucapkan Jose Karosta. Demikian pula Rendra. “Walaupun mengatakan Mastodon dan Burung Kondor adalah cerita di Amerika Latin, namun banyak orang yang mengatakan bahwa itu cerita di Indonesia pada saat awal Rezim Orde Baru berkuasa,” katanya.

Ganjar juga menyinggung ada pihak yang mempertanyakan apakah cerita tersebut masih relevan dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia saat ini. Menurutnya, siapapun boleh menginterpretasi naskah itu. Yang jelas, lewat karya Rendra diharapkan penonton bisa melakukan pengkayaan intelektual. “Apapun yang dibuat oleh seseorang tentang sesuatu adalah merupkan haknya,” tambahnya.

Tahun 70-an, setiap sendi kehidupan di Indonesia, termasuk kampus, memang berada dalam kontrol pemerintah. Hebatnya, naskah ini justru pertama kali dipentaskan Bengkel Teater Rendra di Kampus ITB pada 1973. Akibatnya, Rendra dicekal. Kini, Mastodon dan Burung Kondor kembali dipentaskan.

Saat ini memang tidak ada pencekalan yang vulgar seperti yang dilakukan Orde Baru. Siapa pun boleh ngomong dan mengkritik tentang kelemahan pemerintahan tanpa harus merasa was-was dibui. Tetapi, di negeri yang subur makmur ini seperti yang dikatakan Jose Karosta, masih banyak rakyat yang miskin.  

Ken Zuraeda mengatakan, pementasan tersebut untuk mengenalkan pemikiran Rendra yang sudah 39 tahun tidak dipblikasikan. Penonton boleh menafsirkan apa saja mengenai yang ditontonnya, termasuk menjawab relevan atau tidak teater tersebut dengan masa kini. Namun secara pribadi bagi Ken, dia merasa sangat terharu bisa menyutradarai Mastodon dan Burung Kondor setelah suaminya telah berpulang 2,5 tahun lalu.

Mas Willy (nama depan Rendra) aku pinjam naskahmu untuk menjawab keadaan Indonesia saat ini. Aku pinjam bahasamu. Mas Willy, aku cinta kepadamu,” kata Ken, dengan suara serak, dalam sambutan pembukaan teater. Ratusan penonton pun menyambutnya dengan tepuk tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...