Jumat, 08 Juni 2012

Leila


public-domain-photos.org    
Afghanistan. Negeri yang terus dicabik bom dan mesiu, kematian hanyalah statistik. Di negeri ini generasi manusia menatap masa depannya yang suram; termasuk Leila, seorang gadis beranjak dewasa yang tinggal di Kota Kabul. Nasib buram Leila diuraikan Asne Seirstad lewat buku Saudagar Buku dari Kabul.

Leila hanyalah satu dari berjuta rakyat Afghanistan yang menderita. Dia hidup di negara yang selalu mengalami transisi. Sejarah Afghanistan, tulis Seirstad, pernah luluh lantak oleh serbuan Genghis Khan dari Mongol. Berikutnya, perebutan kekuasaan dan perang saudara: kudeta kekuasaan terhadap Raja Zahir Shah pada 1973, invasi Uni Soviet hingga dipukul mundur oleh pasukan Mujahidin pada 1989. Selanjutnya, perang saudara kembali bergolak. Taliban memasuki Kabul pada September 1996, para mullah berusaha menegakan negara dengan hukum Tuhan.

Waktu itu, Taliban langsung mengeluarkan dekrit yang memerintahkan wanita mengenakan burkak, melarang pemutaran musik, menari, film, dan gambar dan sejumlah aturan khusus bagi para wanita. Taliban membentuk sistem negara yang khas. Mereka mendirikan benteng yang kokoh antara kaum laki-laki dan perempuan.



jasrock.fr
Lima tahun kemudian, World Trade Center (WTC) di New York Amerika Serikat, hancur dihantam pesawat terbang sipil. Amerika menuduh Usamah bin Laden—yang tinggal di Afghanistan—di balik serangan yang menewaskan ribuan nyawa itu. Maka Afghanistan kembali bergolak menjadi ajang perburuan tokoh yang dicap teroris. Amerika menginvasi negerinya Leila. Rezim Taliban pun hancur.

Di masa Taliban berkuasa Leila hidup dan dibesarkan. Leila juga menyaksikan bagaimana Kabul luluh lantak oleh pasukan Amerika yang diikuti hancurnya rezim Taliban. Leila, tulis Seirstad, baru berusia 19 tahun ketika Taliban hengkang. Dia menjadi bagian Afghanistan yang terus meradang.

Leila tinggal di suatu lantai sebuah flat di Mikrorayon Kota Kabul yang dindingnya penuh luka bekas peluru dan hantaman mortir. Flat ini milik Sultan Khan sang saudagar buku. Leila, adik perempuan Sultan yang terkecil, tinggal bersama ibunya, kakak-kakaknya, dan hidup berdampingan dengan dua istri Sultan serta anak-anaknya.

Di rumah Sultan, Leila kerja layaknya pembantu, mungkin lebih. Sehari-hari dia kerja lebih dari 12 jam: memasak, melayani kebutuhan anak-anak sultan dan istrinya seperti menyediakan air panas untuk mandi, membersihkan rumah yang selalu kotor dan amburadul, hingga memasak makanan kesukaan Sultan. Tugas rumah tangga itu dilakukan Leila tanpa menghiraukan rasa lelah hingga tubuhnya selalu bau minyak dapur dan debu Kota Kabul.

Leila, kata Seirstad, dibesarkan untuk melayani, disuruh oleh semua orang yang berada di dalam rumah. Para sepupunya, anak-anak Sultan yang usianya lebih muda darinya, semuanya berani memerintah Leila layaknya babu. Jika ada yang sedang marah, Leila-lah yang menjadi tempat pelampiasannya. Leila melayani 13 orang di rumah itu. “(Leila) merasa kata-katanya tidak didengar. Biasanya bicara tentang kehidupan sehari-hari sebab hanya itulah dunianya” (Hal. 302).

Meski terkungkung oleh pekerjaan dan terus disibukan oleh situasi monoton, hati dan pikiran Leila medambakan kebebasan. Dia ingin kehidupan lebih baik di masa depan. Terlebih Leila fasih bahasa Inggris karena pernah belajar di sekolah Pakistan ketika mengungsi, dan pernah ikut sekolah sore di Afghanistan. Dia berharap kelak bisa mendaftar untuk ngajar jadi guru mengingat Afghanistan sangat membutuhkan guru. Namun cita-cita ini kandas karena dia seorang perempuan, juga birokrasi Afghanistan yang sangat berbelit-belit dan tidak rasional.


Suatu hari dalam kehidupan Leila, dia pergi ke tempat kursus. Di dalam kelas ternyata dia disatukan dengan laki-laki, sesuatu yang diharamkan ketika Pemerintahan Taliban. Leila sendiri merasa tidak karuan harus berada di dalam kelas bersama para lelaki yang baru bisa menuliskan kata fuck dan pussy. Leila ingin segera pulang dari tempat kursus itu, dan tidak akan kembali lagi.

Setibanya di rumah, dia mengungkapkan keluhannya itu kepada ibu dan kakak-kakak perempuannya. Mereka kaget bukan main karena Leila harus sekelas dengan laki-laki. Ibunya Leila menegaskan supaya Leila tidak usah kembali kursus Bahasa Inggris. Pada cerita ini, Seirstad mencatat, memang Taliban sudah lenyap karena invasi Amerika Serikat pasca 11 September dan menguatnya pasukan Aliansi Utara, oposisi Taliban. Tetapi Taliban masih hidup di kepala Leila dan para perempuan Afghanistan.

Memang kejatuhan Taliban disambut gembira—orang tidak lagi takut diganggu di jalanan oleh polisi agama (di Indonesia semacam polisi syariah), kaum perempuan bisa pergi ke kota tanpa harus ditemani, bisa belajar, anak perempuan bisa sekolah. Namun Taliban tidak secepat itu hengkang dari benak kaum perempuan Afghanistan. Para wanita bergembira karena masa Taliban telah habis. Mereka bisa melakukan kegiatan yang dilarang Taliban ketika rezim ini berkuasa, di antaranya menari, mendengarkan musik, mengecat kuku. Namun kebiasaan baru ini masih dilakukan sembunyi-sembunyi, “asalkan tak ada yang melihat dan mereka bisa bersebunyi di balik burkak yang aman.”

“Leila adalah produk anak sejati produk peran saudara, pemerintahan para mullah, dan Taliban. Anak yang ketakutan. Menangis di dalam hati. Upaya untuk melepaskan diri, bertindak mandiri, mempelajari sesuatu, ternyata gagal. Selama lima tahun masa pemerintahan Taliban, pendidikan bagi anak perempuan dilarang. Sekarang sudah diijinkan, tapi dia sendirilah yang melarang dirinya,” ungkap Seirstad.

Di tengah hidup yang penuh ketidakpastian itu tiba-tiba Leila mendapat secarik harapan dari Karim, teman keponakan Leila, Mansour, anaknya Sultan yang bertingkah menyebalkan. Karim yang kerja untuk sebuah televisi luar negeri asal Jepang terus mengirimi surat cinta kepada Leila. Leila marah mengingat ulah Karim yang membahayakan posisinya sebagai perempuan. Bagi perempuan single di Afghanistan, menerima surat cinta dari laki-laki adalah pelanggaran, aib, tindakan asusila. Gara-gara cinta, tetangga Leila, Jamila dibunuh orang tuanya sendiri.

“Perempuan (Afghanistan) ditabukan mendambakan cinta, diharamkan oleh konsep kehormatan suku dan para mullah,” tulis Seirstad (hal . 83). Di dalam hatinya, Leila suka kepada Karim. Meski begitu, dia tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi mengatakannya. Cinta baginya, bagi perempuan, adalah dilarang. Tidak ada cinta bagi perempuan Afghanistan. “Cinta pelanggaran sangat serius yang bisa berakibat hukuman mati.”

“Di pihak Leila, tak ada kata jatuh cinta,” tulis Seirstad. Begitu juga keinginan, bagi Leila harus dipendam dalam angan, keinginan mustahil diwujudkan. Semua keputusan yang menyangkut jodoh ada di tangan keluarga, di tangan laki-laki, yaitu Sultan Khan, sebagai satu-satunya saudara laki-laki tertua yang ada. Sehingga keputusan perjodohan Leila ada di tangan walinya, Sultan Khan. Ayah Leila tewas akibat perang.


sarabasharmal.wordpress.com
Bagi Leila, Karim ibarat debu yang menempel di burkaknya, yang suatu waktu akan terbang kembali atau lenyap bersama debu-debu lain. Leila marah kepada nasib dirinya sendiri yang terlahir sebagai perempuan. Ketika Karim menyatakan cintanya, Leila menjawab ketus, “keluargaku yang memutuskan.”

Di rumah flat yang penuh sesak, Leila membuka surat cinta dan jam tangan hadiah dari Karim. Leila merobek dan menggerus jam tangan itu, lalu membuangnya karena khawatir ketahuan keluarga. Padahal Karim adalah pria berpendidikan, sesuatu yang jarang di tengah negeri yang angka buta hurufnya paling tinggi. Karim lulusan universitas yang punya masa depan cerah. Mungkin, bisik Leila, jika dirinya kawin dengan Karim, dia akan membiarkannya bekerja sebagai guru. Kebanyakan kaum perempuan Afghanistan dilarang kerja oleh suaminya.

Karim makin jauh ketika Leila ditaksir lelaki yang masih ada hubungan kerabat, Said, yang salah satu jarinya terputus akibat kecelakaan mobil (tetapi Said mengaku jarinya putus karena ranjau, supaya dia disangka lelaki yang ikut perang). Said adalah pengangguran yang buta huruf yang dibenci Leila. Namun karena masih kerabat, dia akan menjadi prioritas di keluarga Leila ketimbang Karim yang hanya orang lain. Dalam tradisi Afghanistan, perkawinan biasa terjadi dengan saudara jauh, bahkan kadang dengan saudara dekat.

Lalu keluarga Said datang meminang Leila. Sultan mengatakan sudah waktunya Leila nikah. Dalam keluarga, tradisi tetap dipatuhi, laki-laki yang memutuskan. Keluarga Leila tidak akan menanyakan tanggapan Leila terhadap pinangan keluarga Said. Keputusan Sultan atau keluarga tak bisa Leila tolak. Perempuan Afghanistan tidak bisa mengatakan tidak. Yang memutuskan masa depannya adalah keluarga. “Tak ada yang akan bertanya kepada Leila, dan Leila pun tak akan menjawab. Gadis yang santun tidak akan menjawab apakah dia suka atau tidak suka kepada seseorang.”

Khayalan Leila untuk bisa membangun rumah tangga dengan Karim yang cerdas, segera lenyap. Leila harus melupakan impiannya menjadi guru. Leila akan kembali menjalani hidup di dapur, melayani suaminya, anggota keluarga suaminya yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah keluarga Sultan. Di tengah rutinitas yang muram itu, Leila hanya bisa menyimpan kemurungannya di balik burkak yang apek dan pengap.

Nasib tak berdaya dalam menentukan jalan hidup tidak hanya dialami Leila saja. Kata Seirstad, selama berabad-abad, para perempuan Afghanista harus mau saja menerima yang diberlakukan atas nama mereka. Tetapi mereka bukan berarti sepenuhnya tak berdaya dan tidak berbuat apa-apa untuk “melawan” nasib yang sengaja “dirancang” kaum laki-laki.

“Namun dalam aneka lagu dan puisi, para wanita menggumamkan kehidupan mereka. Mereka melakukan protes dengan bunuh diri dan lagu, kata penyair Afghanistan Sayd Bahodine Majrouh yang dibunuh di Peshawar pada 1988, diduga oleh kaum fundamentalis.”

theworldbiography.blogspot.com     
Sayd, tulis Seirstad, mengumpulkan puisi dan lagu para perempuan di negeri Jalaluddin Rumi (1200an), penyait sufi yang terkenal itu. Salah satu syair yang biasa digumamkan perempuan Afghanistan, yakni:

Orang kejam, dapatkah kau lihat si lelaki tua itu
Menuju tempat tidurku
Dan kau bertanya mengapa aku menangis dan menjambak rambutku
Oh tuhanku, sekali lagi Kauberi aku malam yg gelap
Dan sekali lagi tubuhku gemetar dari ujung kepala sampai ke ujung kaki
Aku harus naik ke tempat tidur yg kubenci


Di dalam buku yang mulai ditulis pada 2001 ini, Seirstad juga nenyoroti masalah burkak yang menjadi bagian penting dari tema utamanya, yakni tentang perempuan (selain perjuangan Sultan Khan dan bukunya). Pada bab Menggelembung Berkibar dan Berangin, Seirstad menulis hanya segelintir wanita yang melepaskan burkak pada musim semi ketika Taliban jatuh. Dan hanya sedikit kaum perempuan yang mengtahui bahwa leluhur mereka, wanita Afghanistan pada abad yang lalu tidak mengenakan burkak.

Pengalaman mengenai burkak ini juga dilukiskan Seirstad melalui pengalaman pribadinya (selama menulis buku ini dia memakai burkak), “Satu-satunya keadaan yang bisa kumanfaatkan untuk menyendiri; di Kabul, tidak banyak tempat sepi seperti di balik burkak.”

Bagi Seirstad, burkak merupakan bentuk dominasi sistem patriarki terhadap perempuan Afghanistan. Kewajiban bagi perempuan untuk mengenakan burkak masih satu rangkaian dengan tidak adanya kehendak bebas dari si perempuan seperti menentukan pilihan hidup seperti yang diinginkan Leila. “Hal yang itu-itu jugalah yang membuatku terpicu: sikap kaum lelaki terhadap perempuan. Keyakinan pada superioritas kaum lelaki sudah begitu merasuk sehingga jarang dipertanyakan.” (Hal 23)

Sambil memakai burkak, Seirstad merasakan bagaimana rasanya dijejalkan di barisan belakang bus yang khusus disediakan untuk perempuan, padahal bus masih separuh kosong, bagaimana rasanya duduk di atas kap atas taksi karena ada lelaki yang duduk di kursi belakang, bagaimana rasanya dipandang sebagai perempuan pemakai burkak bertumbuh tinggi dan menarik, dan menerima pujian dari laki-laki.

“Bagaimana kemudian aku berangsur-angsur membencinya. Bagaimana burkak itu menusuk-nusuk kepala dan menyebabkan sakit kepala, betapa sulitnya melihat apapun melalui kisi-kisinya, betapa menyesakkannya, betapa sedikitnya udara yg bisa masuk, betapa cepatnya kita berkeringat, betapa harus berhati-hati saat melangkah karena tak bisa melihat kaki sendiri, betapa mudahnya burkak itu menangkap kotoran, betapa menghalangi. Betapa leganya ketika di rumah dan bisa melepaskannya” (hal. 25).


ndtv.com
Leila sebenarnya hanya salah satu tokoh yang diceritakan dalam buku Saudagar Buku dari Kabul. Ada beberapa kisah lain yang juga tidak kalah getirnya dibandingkan dengan kehidupan Leila, termasuk kisah buku-buku yang dijual Sultan Khan. Dari judulnya, buku tentang Afghanistan berjudul Saudagar Buku dari Kabul kedengarannya janggal. Masih adakah buku di Afghanistan, di negeri yang lekat dengan konflik dan perang? Pertanyaan ini juga diakui Seirstad, “Keluarga saudagar buku yang memang tidak lazim di sebuah negeri yang tiga perempat penduduknya tidak bisa baca tulis.”

Dalam pengantar buku yang diterbitkan Penerbit Qanita ini disebutkan alasan Seirstad menulis buku Saudagar Buku dari Kabul. Sultan Khan, kata Seirstad, merupakan orang pertama yang ditemuinya di Kabul pada 2001. Saat itu Seirstad ikut dengan Komando Aliansi Utara, musuh Taliban. Setelah lama melakukan peliputan perang bersama para tentara yang bergumul senjata, di tempat Sultan Seirstad menemukan “koleksi puisi, legenda Afghanistan, buku sejarah, novel.”

Dari pertemuan dengan Sultan itu Seirstad terlibat dalam percakapan seru. Dia menilai Sultan sebagai seorang patriot Afghanistan yang merasa tak putus-putusnya dikecewakan oleh negerinya. "Mula-mula komunis membakar buku-bukuku, lalu Mujahidin menjarah dan merampasnya, dan akhirnya Taliban membakar lagi semuanya" (Hal 16).


Sultan harus berjuang melawan rezim yang berbeda-beda dan sensor yang mereka lakukan. Hal ini mengobarkan perlawanan pribadi Sultan dengan cara menyembunyikan buku dari polisi, meminjamkan kepada orang lain, dan akhirnya dijebloskan ke dalam penjara akibat perbuatannya itu. Dia berusaha menyelamatkan kebudayaan dan susastra negerinya, sementara serangkaian diktator berusaha menghancurkannya.

Suatu hari Seirstad diundang makan malam oleh Sultan. Dalam jamuan itu dia bertemu salah seorang istri Sultan yang cantik dan masih muda, saudara-saudara kandungnya, ibunya, beberapa orang sepupunya. Sultan bercerita, putranya bercanda dan tertawa. “Tapi para perempuan tak banyak bicara. Para perempuan hanya menjawab ketika mereka ditanya, tapi tak pernah memulai percakapan” (Hal. 17).

Dari situlah muncul keinginan Seirstad untuk menulis kisah si saudagar buku dan keluarganya. Keinginan Seirstad ini mendapat ijin dari Sultan. Seirstad bisa tinggal di dalam rumah Sultan. Dia tidur di sebelah Leila. Isi buku ini memang mengungkap kegigihan Sultan Khan yang ingin menyelamatkan sejarah dan peradaban Afghanistan. Dia tak kenal lelah dan menyerah berdagang buku di tengah asap mesiu yang masih mengepul dan mengancam.

Seirstad akhirnya tidak hanya menceritakan Sultan dan buku-bukunya, dia juga menguak kehidupan di Afghanistan lewat keluarga besar Sultan Khan. Dia memotret kehidupan keluarga besar di Kota Kabul dengan background peperangan yang tak ada ujung yang hampir mustahil hengkang di Afghanistan; bagaimana keluarga Khan berada di lingkungan masyarakat Afghanistan di tengah situasi sulit akibat perang; bagaimana mereka bertahan hidup di lingkungannya sambil menjalani budaya dan tradisinya.

Negeri yang digandeng Pakistan dan India itu masih bergolak hingga kini. Berita tentang Afghanistan terus berputar di sekitar agresi militer, perang saudara, terorisme, kekerasan terhadap perempuan, kemarian anak dan angka buta huruf paling tinggi di dunia. Perang melawan teroris sejauh ini menjadi bagian akhir dari sejarah negeri yang sudah penuh dengan peperangan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...