public-domain-photos.org |
Leila hanyalah satu dari berjuta rakyat Afghanistan yang
menderita. Dia hidup di negara yang selalu mengalami transisi. Sejarah Afghanistan,
tulis Seirstad, pernah luluh lantak oleh serbuan Genghis Khan dari Mongol.
Berikutnya, perebutan kekuasaan dan perang saudara: kudeta kekuasaan terhadap Raja Zahir Shah pada 1973, invasi Uni
Soviet hingga dipukul mundur oleh pasukan Mujahidin pada 1989. Selanjutnya,
perang saudara kembali bergolak. Taliban memasuki Kabul pada September 1996,
para mullah berusaha menegakan negara dengan hukum Tuhan.
Waktu itu, Taliban langsung mengeluarkan dekrit yang
memerintahkan wanita mengenakan burkak, melarang pemutaran musik, menari, film,
dan gambar dan sejumlah aturan khusus bagi para wanita. Taliban membentuk
sistem negara yang khas. Mereka mendirikan benteng yang kokoh antara kaum
laki-laki dan perempuan.
jasrock.fr |
Lima tahun kemudian, World Trade Center (WTC) di New
York Amerika Serikat, hancur dihantam pesawat terbang sipil. Amerika menuduh
Usamah bin Laden—yang tinggal di Afghanistan—di balik serangan yang menewaskan
ribuan nyawa itu. Maka Afghanistan kembali bergolak menjadi ajang perburuan tokoh
yang dicap teroris. Amerika menginvasi negerinya Leila. Rezim Taliban pun
hancur.
Di masa Taliban berkuasa Leila hidup dan dibesarkan. Leila
juga menyaksikan bagaimana Kabul luluh lantak oleh pasukan Amerika yang diikuti
hancurnya rezim Taliban. Leila, tulis Seirstad, baru berusia 19 tahun ketika
Taliban hengkang. Dia menjadi bagian Afghanistan yang terus meradang.
Leila tinggal di suatu lantai sebuah flat di Mikrorayon Kota
Kabul yang dindingnya penuh luka bekas peluru dan hantaman mortir. Flat ini
milik Sultan Khan sang saudagar buku. Leila, adik perempuan Sultan yang
terkecil, tinggal bersama ibunya, kakak-kakaknya, dan hidup berdampingan dengan
dua istri Sultan serta anak-anaknya.
Di rumah Sultan, Leila kerja layaknya pembantu, mungkin
lebih. Sehari-hari dia kerja lebih dari 12 jam: memasak, melayani kebutuhan
anak-anak sultan dan istrinya seperti menyediakan air panas untuk mandi, membersihkan
rumah yang selalu kotor dan amburadul, hingga memasak makanan kesukaan Sultan.
Tugas rumah tangga itu dilakukan Leila tanpa menghiraukan rasa lelah hingga
tubuhnya selalu bau minyak dapur dan debu Kota Kabul.
Leila, kata Seirstad, dibesarkan untuk melayani, disuruh
oleh semua orang yang berada di dalam rumah. Para sepupunya, anak-anak Sultan
yang usianya lebih muda darinya, semuanya berani memerintah Leila layaknya
babu. Jika ada yang sedang marah, Leila-lah yang menjadi tempat pelampiasannya.
Leila melayani 13 orang di rumah itu. “(Leila) merasa kata-katanya tidak didengar. Biasanya bicara
tentang kehidupan sehari-hari sebab hanya itulah dunianya” (Hal. 302).
Meski terkungkung oleh pekerjaan dan terus disibukan oleh
situasi monoton, hati dan pikiran Leila medambakan kebebasan. Dia ingin
kehidupan lebih baik di masa depan. Terlebih Leila fasih bahasa Inggris karena
pernah belajar di sekolah Pakistan ketika mengungsi, dan pernah ikut sekolah
sore di Afghanistan. Dia berharap kelak bisa mendaftar untuk ngajar jadi guru
mengingat Afghanistan sangat membutuhkan guru. Namun cita-cita ini kandas
karena dia seorang perempuan, juga birokrasi Afghanistan yang sangat
berbelit-belit dan tidak rasional.
Suatu hari dalam kehidupan Leila, dia pergi ke tempat
kursus. Di dalam kelas ternyata dia disatukan dengan laki-laki, sesuatu yang
diharamkan ketika Pemerintahan Taliban. Leila sendiri merasa tidak karuan harus
berada di dalam kelas bersama para lelaki yang baru bisa menuliskan kata fuck
dan pussy. Leila ingin segera pulang dari tempat kursus itu, dan tidak akan
kembali lagi.
Setibanya di rumah, dia mengungkapkan keluhannya itu kepada
ibu dan kakak-kakak perempuannya. Mereka kaget bukan main karena Leila harus
sekelas dengan laki-laki. Ibunya Leila menegaskan supaya Leila tidak usah
kembali kursus Bahasa Inggris. Pada cerita ini, Seirstad mencatat, memang
Taliban sudah lenyap karena invasi Amerika Serikat pasca 11 September dan
menguatnya pasukan Aliansi Utara, oposisi Taliban. Tetapi Taliban masih hidup
di kepala Leila dan para perempuan Afghanistan.
Memang kejatuhan Taliban disambut gembira—orang tidak lagi
takut diganggu di jalanan oleh polisi agama (di Indonesia semacam polisi
syariah), kaum perempuan bisa pergi ke kota tanpa harus ditemani, bisa belajar,
anak perempuan bisa sekolah. Namun Taliban tidak secepat itu hengkang dari
benak kaum perempuan Afghanistan. Para wanita bergembira karena masa Taliban
telah habis. Mereka bisa melakukan kegiatan yang dilarang Taliban ketika rezim
ini berkuasa, di antaranya menari, mendengarkan musik, mengecat kuku. Namun kebiasaan
baru ini masih dilakukan sembunyi-sembunyi, “asalkan tak ada yang melihat dan
mereka bisa bersebunyi di balik burkak yang aman.”
“Leila adalah produk anak sejati produk peran saudara,
pemerintahan para mullah, dan Taliban. Anak yang ketakutan. Menangis di dalam
hati. Upaya untuk melepaskan diri, bertindak mandiri, mempelajari sesuatu,
ternyata gagal. Selama lima tahun masa pemerintahan Taliban, pendidikan bagi
anak perempuan dilarang. Sekarang sudah diijinkan, tapi dia sendirilah yang
melarang dirinya,” ungkap Seirstad.
Di tengah hidup yang penuh ketidakpastian itu tiba-tiba
Leila mendapat secarik harapan dari Karim, teman keponakan Leila, Mansour,
anaknya Sultan yang bertingkah menyebalkan. Karim yang kerja untuk sebuah
televisi luar negeri asal Jepang terus mengirimi surat cinta kepada Leila.
Leila marah mengingat ulah Karim yang membahayakan posisinya sebagai perempuan.
Bagi perempuan single di Afghanistan, menerima surat cinta dari laki-laki
adalah pelanggaran, aib, tindakan asusila. Gara-gara cinta, tetangga Leila,
Jamila dibunuh orang tuanya sendiri.
“Perempuan (Afghanistan) ditabukan mendambakan cinta,
diharamkan oleh konsep kehormatan suku dan para mullah,” tulis Seirstad (hal .
83). Di dalam hatinya, Leila suka kepada Karim. Meski begitu, dia tidak bisa
berbuat apa-apa, apalagi mengatakannya. Cinta baginya, bagi perempuan, adalah
dilarang. Tidak ada cinta bagi perempuan Afghanistan. “Cinta pelanggaran sangat
serius yang bisa berakibat hukuman mati.”
“Di pihak Leila, tak ada kata jatuh cinta,” tulis Seirstad.
Begitu juga keinginan, bagi Leila harus dipendam dalam angan, keinginan
mustahil diwujudkan. Semua keputusan yang menyangkut jodoh ada di tangan
keluarga, di tangan laki-laki, yaitu Sultan Khan, sebagai satu-satunya saudara
laki-laki tertua yang ada. Sehingga keputusan perjodohan Leila ada di tangan
walinya, Sultan Khan. Ayah Leila tewas akibat perang.
sarabasharmal.wordpress.com
|
Di rumah flat yang penuh sesak, Leila membuka surat cinta
dan jam tangan hadiah dari Karim. Leila merobek dan menggerus jam tangan itu,
lalu membuangnya karena khawatir ketahuan keluarga. Padahal Karim adalah pria
berpendidikan, sesuatu yang jarang di tengah negeri yang angka buta hurufnya
paling tinggi. Karim lulusan universitas yang punya masa depan cerah. Mungkin,
bisik Leila, jika dirinya kawin dengan Karim, dia akan membiarkannya bekerja
sebagai guru. Kebanyakan kaum perempuan Afghanistan dilarang kerja oleh
suaminya.
Karim makin jauh ketika Leila ditaksir lelaki yang masih ada
hubungan kerabat, Said, yang salah satu jarinya terputus akibat kecelakaan
mobil (tetapi Said mengaku jarinya putus karena ranjau, supaya dia disangka
lelaki yang ikut perang). Said adalah pengangguran yang buta huruf yang dibenci
Leila. Namun karena masih kerabat, dia akan menjadi prioritas di keluarga Leila
ketimbang Karim yang hanya orang lain. Dalam tradisi Afghanistan, perkawinan
biasa terjadi dengan saudara jauh, bahkan kadang dengan saudara dekat.
Lalu keluarga Said datang meminang Leila. Sultan mengatakan
sudah waktunya Leila nikah. Dalam keluarga, tradisi tetap dipatuhi, laki-laki
yang memutuskan. Keluarga Leila tidak akan menanyakan tanggapan Leila terhadap
pinangan keluarga Said. Keputusan Sultan atau keluarga tak bisa Leila tolak.
Perempuan Afghanistan tidak bisa mengatakan tidak. Yang memutuskan masa
depannya adalah keluarga. “Tak ada yang akan bertanya kepada Leila, dan Leila
pun tak akan menjawab. Gadis yang santun tidak akan menjawab apakah dia suka
atau tidak suka kepada seseorang.”
Khayalan Leila untuk bisa membangun rumah tangga dengan
Karim yang cerdas, segera lenyap. Leila harus melupakan impiannya menjadi guru.
Leila akan kembali menjalani hidup di dapur, melayani suaminya, anggota
keluarga suaminya yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah keluarga Sultan. Di
tengah rutinitas yang muram itu, Leila hanya bisa menyimpan kemurungannya di
balik burkak yang apek dan pengap.
Nasib tak berdaya dalam menentukan jalan hidup tidak hanya
dialami Leila saja. Kata Seirstad, selama berabad-abad, para perempuan Afghanista
harus mau saja menerima yang diberlakukan atas nama mereka. Tetapi mereka bukan
berarti sepenuhnya tak berdaya dan tidak berbuat apa-apa untuk “melawan” nasib
yang sengaja “dirancang” kaum laki-laki.
“Namun dalam aneka lagu dan puisi, para wanita menggumamkan
kehidupan mereka. Mereka melakukan protes dengan bunuh diri dan lagu, kata penyair
Afghanistan Sayd Bahodine Majrouh yang dibunuh di Peshawar pada 1988, diduga
oleh kaum fundamentalis.”
theworldbiography.blogspot.com |
Sayd, tulis Seirstad, mengumpulkan puisi dan lagu para perempuan
di negeri Jalaluddin Rumi (1200an), penyait sufi yang terkenal itu. Salah satu
syair yang biasa digumamkan perempuan Afghanistan, yakni:
Orang kejam, dapatkah kau lihat si lelaki
tua itu
Menuju tempat tidurku
Dan kau bertanya mengapa aku menangis dan
menjambak rambutku
Oh tuhanku, sekali lagi Kauberi aku malam yg
gelap
Dan sekali lagi tubuhku gemetar dari ujung
kepala sampai ke ujung kaki
Aku harus naik ke
tempat tidur yg kubenci
Di dalam buku yang mulai ditulis pada 2001 ini, Seirstad juga
nenyoroti masalah burkak yang menjadi bagian penting dari tema utamanya, yakni
tentang perempuan (selain perjuangan Sultan Khan dan bukunya). Pada bab Menggelembung Berkibar dan Berangin, Seirstad
menulis hanya segelintir wanita yang melepaskan burkak pada musim semi ketika
Taliban jatuh. Dan hanya sedikit kaum perempuan yang mengtahui bahwa leluhur
mereka, wanita Afghanistan pada abad yang lalu tidak mengenakan burkak.
Pengalaman mengenai burkak ini juga dilukiskan Seirstad
melalui pengalaman pribadinya (selama menulis buku ini dia memakai burkak), “Satu-satunya
keadaan yang bisa kumanfaatkan untuk menyendiri; di Kabul, tidak banyak tempat
sepi seperti di balik burkak.”
Bagi Seirstad, burkak merupakan bentuk dominasi sistem
patriarki terhadap perempuan Afghanistan. Kewajiban bagi perempuan untuk
mengenakan burkak masih satu rangkaian dengan tidak adanya kehendak bebas dari
si perempuan seperti menentukan pilihan hidup seperti yang diinginkan Leila. “Hal
yang itu-itu jugalah yang membuatku terpicu: sikap kaum lelaki terhadap
perempuan. Keyakinan pada superioritas kaum lelaki sudah begitu merasuk
sehingga jarang dipertanyakan.” (Hal 23)
Sambil memakai burkak, Seirstad merasakan bagaimana rasanya
dijejalkan di barisan belakang bus yang khusus disediakan untuk perempuan,
padahal bus masih separuh kosong, bagaimana rasanya duduk di atas kap atas
taksi karena ada lelaki yang duduk di kursi belakang, bagaimana rasanya
dipandang sebagai perempuan pemakai burkak bertumbuh tinggi dan menarik, dan
menerima pujian dari laki-laki.
“Bagaimana kemudian aku berangsur-angsur membencinya.
Bagaimana burkak itu menusuk-nusuk kepala dan menyebabkan sakit kepala, betapa
sulitnya melihat apapun melalui kisi-kisinya, betapa menyesakkannya, betapa
sedikitnya udara yg bisa masuk, betapa cepatnya kita berkeringat, betapa harus
berhati-hati saat melangkah karena tak bisa melihat kaki sendiri, betapa
mudahnya burkak itu menangkap kotoran, betapa menghalangi. Betapa leganya
ketika di rumah dan bisa melepaskannya” (hal. 25).
ndtv.com |
Leila sebenarnya hanya salah satu tokoh yang diceritakan dalam
buku Saudagar Buku dari Kabul. Ada beberapa
kisah lain yang juga tidak kalah getirnya dibandingkan dengan kehidupan Leila,
termasuk kisah buku-buku yang dijual Sultan Khan. Dari judulnya, buku tentang
Afghanistan berjudul Saudagar Buku dari
Kabul kedengarannya janggal. Masih adakah buku di Afghanistan, di negeri
yang lekat dengan konflik dan perang? Pertanyaan ini juga diakui Seirstad,
“Keluarga saudagar buku yang memang tidak lazim di sebuah negeri yang tiga
perempat penduduknya tidak bisa baca tulis.”
Dalam pengantar buku yang diterbitkan Penerbit Qanita ini disebutkan
alasan Seirstad menulis buku Saudagar
Buku dari Kabul. Sultan Khan, kata Seirstad, merupakan orang pertama yang
ditemuinya di Kabul pada 2001. Saat itu Seirstad ikut dengan Komando Aliansi
Utara, musuh Taliban. Setelah lama melakukan peliputan perang bersama para
tentara yang bergumul senjata, di tempat Sultan Seirstad menemukan “koleksi
puisi, legenda Afghanistan, buku sejarah, novel.”
Dari pertemuan dengan Sultan itu Seirstad terlibat dalam percakapan
seru. Dia menilai Sultan sebagai seorang patriot Afghanistan yang merasa tak
putus-putusnya dikecewakan oleh negerinya. "Mula-mula komunis membakar
buku-bukuku, lalu Mujahidin menjarah dan merampasnya, dan akhirnya Taliban
membakar lagi semuanya" (Hal 16).
Sultan harus berjuang melawan rezim yang berbeda-beda dan sensor yang mereka lakukan. Hal ini mengobarkan perlawanan pribadi Sultan dengan cara menyembunyikan buku dari polisi, meminjamkan kepada orang lain, dan akhirnya dijebloskan ke dalam penjara akibat perbuatannya itu. Dia berusaha menyelamatkan kebudayaan dan susastra negerinya, sementara serangkaian diktator berusaha menghancurkannya.
Suatu hari Seirstad diundang makan malam oleh Sultan. Dalam
jamuan itu dia bertemu salah seorang istri Sultan yang cantik dan masih muda,
saudara-saudara kandungnya, ibunya, beberapa orang sepupunya. Sultan bercerita,
putranya bercanda dan tertawa. “Tapi para perempuan tak banyak bicara. Para
perempuan hanya menjawab ketika mereka ditanya, tapi tak pernah memulai
percakapan” (Hal. 17).
Dari situlah muncul keinginan Seirstad untuk menulis kisah
si saudagar buku dan keluarganya. Keinginan Seirstad ini mendapat ijin dari
Sultan. Seirstad bisa tinggal di dalam rumah Sultan. Dia tidur di sebelah Leila.
Isi buku ini memang mengungkap kegigihan Sultan Khan yang ingin menyelamatkan
sejarah dan peradaban Afghanistan. Dia tak kenal lelah dan menyerah berdagang
buku di tengah asap mesiu yang masih mengepul dan mengancam.
Seirstad akhirnya tidak hanya menceritakan Sultan dan
buku-bukunya, dia juga menguak kehidupan di Afghanistan lewat keluarga besar
Sultan Khan. Dia memotret kehidupan keluarga besar di Kota Kabul dengan background peperangan yang tak ada ujung
yang hampir mustahil hengkang di Afghanistan; bagaimana keluarga Khan berada di
lingkungan masyarakat Afghanistan di tengah situasi sulit akibat perang;
bagaimana mereka bertahan hidup di lingkungannya sambil menjalani budaya dan
tradisinya.
Negeri yang digandeng Pakistan dan India itu masih bergolak
hingga kini. Berita tentang Afghanistan terus berputar di sekitar agresi
militer, perang saudara, terorisme, kekerasan terhadap perempuan, kemarian anak
dan angka buta huruf paling tinggi di dunia. Perang melawan teroris sejauh ini menjadi
bagian akhir dari sejarah negeri yang sudah penuh dengan peperangan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar