Dendam Monyet
Kubenamkan
wajahku di atas sajadah yang tak jelas lagi warna aslinya itu. Malam makin
larut, udaranya makin panas
seperti neraka, angin membakar bulu-bulu di tubuhku. Aku berharap malam itu tugasku segera berakhir. Dan aku tertidur dalam sujud, lalu terlempar di belantara hutan. Bersama puluhan teman-teman aku terlibat perburuan buah kelengkeng dan pisang, minum air
sungai, lomba manjat pohon mahoni. Namun tiba-tiba pohon yang kami panjat rubuh, suaranya berpacu dengan deru mesin
gergaji.
Aku terbangun.
Dan aku kecewa karena masih berada di
antara dinding beton jembatan Pasupati. Mimpiku lenyap tetapi sura mesin masih saja menderu-deru.
Ternyata motor yang berhenti di sebelahku meraung-raung marah terjebak lampu merah.
Rantai yang membelit leherku tersentak-sentak; majikanku menyuruhku melakukan
adegan berikutnya: sirkus.
Aku lupa bagaimana awal adegan ini. Rantai dihentakkan makin keras. Pikiranku
masih terbagi antara mimpi dan kerja. Jarum jam di taman kota sudah menunjuk ke angka 23. Para pengendara jalan memamerkan wajah-wajah enggan dan bosan;
sebagian lagi tak menyadari keberadaanku seperti tak menyadari adanya para pengemis yang tidur bergelimpangan di bawah jembatan seperti korban perang. Wajar
mereka begitu, mereka lelah
ingin segera sampai di tujuan, mandi, makan, memeluk bantal, atau berpelukan. Musik yang ditabuh majikanku makin menambah kelelahan mereka.
Jadi wajar bukan
jika mereka tak menyadari keberadaanku? Meskipun
aku setengah mati melakukan adegan salat, sirkus, kuda lumping, hingga
geng motor. Kau tahu adegan geng motor? Inilah adegan yang paling kubenci,
karena sangat menguras tenaga dan resiko. Parahnya, adegan inilah yang paling
disukai majikanku. Tapi aku hanya monyet, robot pencari uang sang majikanku.
"Ini adegan pamungkas, adegan yang paling menarik,"
terang majikanku. "Ayo kita lakukan!"
Lalu majikanku menyeretku ke
tengah jalan ketika traficklight sedang merah. Majikanku tepat berdiri di
tengah zebra cross di hadapan
pengendara motor yang terjebak lampu merah. Saat itulah aku berdiri di atas
motor. Majikanku memutar rantai yang membelit tubuhku. Aku dan motorku segera
ikut berputar. Saat itulah aku merasa prustasi karena makin lama putaran makin
pusing kepalaku. Sedangkan aku harus konsentrasi menjaga keseimbangan. Jika
tidak, aku akan jatuh dan kena damprat majikan. "Jika kau jatuh, mereka
tidak akan ngasih duit!" bentaknya. Aku khawatir majikanku terlalu panjang mengulur rantai dan
membuat putaranku makin melebar hingga menubruk salah satu pengendara motor;
atau bisa saja motorku tergilas pengendara yang melaju kencang di seberang
sana. Aku juga khawatir tiba-tiba lampu berubah jadi hijau. Otomatis aku yang
sedang berputar harus segera berhenti dan berlari menuju trotoar. Bagaimana
jika tidak keburu? Tentu aku akan menjadi mangsa ban-ban kendaraan itu.
Berbagai sekenario mematikan itu terus berputar di kepalaku. Jantungku berdebar cepat. Dan traficklight pun
berwarna kuning. Hatiku lega. Tugas berikutnya mencari uang receh yang biasa
dilempar ke atas trotoar. Begitulah kerjaku, diatur majikan dan traficklight.
Setelah itu, kami istirahat sejenak sambil menunggu lampu
merah kembali. Jika traficklight merah, kembali aku
memulai adegan tadi dengan rincian: salat, sirkus, geng motor. Kadang jika
majikanku bosan, formasi adegan diganti jadi salat, rock n roll, dan ke pasar.
Atau formasi adegan ini diacak seenaknya sesuka hati si
bos. Bagiku semua adegan itu omong kosong. Tak satupun aku menyukainya. Aku
hanya ingin tidur, mimpi berada di hutan, berburu buah kelengkeng atau pisang.
Jarum jam sudah bergulir dari angka 24. Majikanku menguap. Pertanda baik!
Aku akan masuk kandang dan
pulang. Majikanku berdiri, mengikat rantai di tiang traficklight, lalu pergi
menuju warung di seberang sana. Rupanya dia hendak beli rokok. Ini kesempatanku
untuk merebahkan diri di atas sajadah dekil. Kulihat langit-langit jembatan
Pasupati yang kaku dan kokoh. Di bawah jembatan inilah aku terus menerus
melakukan berbagai adegan konyol itu. Aku terlindung dari hujan dan panas.
Tetapi aku tak terlindung dari belas kasihan majikanku. Kenyataan nyaman yang
bisa kulakukan hanya tidur dan mimpi, mustahil berharap bebas dan kembali ke
belantara hutan. Sudah lama hutanku ditiadakan. Teman-temanku sudah pada pindah
menempati perempatan-perempatan kota sebagai pengamen jalanan.
Aku terbangun ketika jalan mulai terang oleh matahari pagi.
Jalanan mulai ramai, tapi aku belum melihat majikanku. Busyet! Semalaman aku
dibiarkan tidur di atas sajadah dengan rantai terikat di traficklight. Mungkin
majikanku ketiduran di warung rokok itu karena asyik gituan sama pemilik
warung. Sementara perutku mulai bunyi--semalaman aku hanya makan angin. Aku bersin, ludahku hitam kental seperti
oli.
Tiba-tiba bunyi kelentang kelenteng kudengar. Musik yang
menyebalkan itu berasal dari traficklight seberang. Si Ben sudah jumpalitan di
sana. Luar biasa. Sepagi ini Ben kerja. Tapi dia akan terkejut jika kuceritakan
tindakkan majikanku yang membiarkanku tidur di
bawah jembatan tanpa makanan
semalaman. Menurutku, majikan Ben sangat baik. Sepagi itu dia kerja
karena istri majikannya lagi sakit perlu biaya rumah sakit. kebetulan tempat
tinggalku dengan Ben tetanggaan. Aku sering merasakan makanan darinya. Ben juga
pernah diajak cek up ke dokter hewan. "Paru-paruku sehat, bersih," cerita
Ben.
Menurut Ben, monyet yang biasa kerja di jalanan akan mudah
terkena penyakit paru.Cirinya, sering batuk, ludahnya hitam, dan kencingnya sedikit berwarna kuning. Indikasi
ini pernah diderita si Cimot, monyet peliharaan majikanku sebelum memeliharaku yang mati dua minggu lalu.
"Dia terlalu lama hidup di jalan sambil menghisap asap kenalpot. Jika dia
tak TBC, mungin kau masih di hutan, bebas," tutur Ben.
Di seberang sana, Ben melambaikan tangannya padaku. Kulambaikan juga tanganku. Di
seberang yang lain, dua lagi temanku yang mulai atraksi, namanya Jhon dan Honi. John juga tetanggaku. Dia sudah cukup lama hidup di jalan. Aku belajar
berbagai adegan darinya. John badannya sangat kurus, tetapi gerakkannya lincah.
Dia sering mengeluh dikasih makan cuman sekali sehari. Dadanya sering terasa
sakit jika terlalu lama berdiri. Yang satu lagi, Honi, aku selalu memikirkannya. Dia cantik. Tapi sayang harus
terjebak di kota ini. Jika aku bisa, kulepas rantai Honi dan kuajak lari dia. Tapi mustahil. Bagi
kami, kebebasan hanya ada dalam mimpi.
Tiba-tiba majikanku sudah duduk di balik gamelannya. Aku tak
tahu kapan dia mengambil rantai yang terikat di tiang traficklight. Tanpa ba bi
bu, dia menabuh gamelannya. Di
mulutnya mengepul asap rokok keretek kesukaannya. Aku yang masih
ngantuk, harus memulai dengan adegan shalat, disambung main gitar, dan adegan
yang paling kubenci, geng motor. Gila bukan?!
Tapi aku hanya
monyet. Aku hanya bisa bermimpi.
Atau berharap penyakit TBC segera menyerangku. Harapanku terjawab. TBC
menyerangku setelah malam itu. Dan kini aku di sini, bersamamu, Cimot.
Cimot tersenyum.
Dia mengajakku ke sebuah bukit kecil di mana teman-temannya berkumpul. Mereka dulunya
korban jalanan juga yang tewas dengan berbagai cara: terserempet mobil dan motor,
TBC, kelaparan, bunuh diri, keracunan, mendapat pukulan majikan..... Cimot
berkata, “Saudara-saudara, mari kita tunaikan dendam kita. Kita datangi bekas
majikan-bekas majikan kita dulu lewat mimpi-mimpi yang paling buruk, lebih
buruk dari kegidupan mereka sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar