Kamis, 20 Oktober 2011

Aku dan Majikanku

Dendam Monyet

Kubenamkan wajahku di atas sajadah yang tak jelas lagi warna aslinya itu. Malam makin larut, udaranya makin panas seperti neraka, angin membakar bulu-bulu di tubuhku. Aku berharap malam itu tugasku segera berakhir. Dan aku tertidur dalam sujud, lalu terlempar di belantara hutan. Bersama puluhan teman-teman aku terlibat perburuan buah kelengkeng dan pisang, minum air sungai, lomba manjat pohon mahoni. Namun tiba-tiba pohon yang kami panjat rubuh, suaranya berpacu dengan deru mesin gergaji.

Aku terbangun. Dan aku  kecewa karena masih berada di antara dinding beton jembatan Pasupati. Mimpiku lenyap tetapi sura mesin masih saja menderu-deru. Ternyata motor yang berhenti di sebelahku meraung-raung marah terjebak lampu merah.

Rantai yang membelit leherku tersentak-sentak; majikanku menyuruhku melakukan adegan berikutnya: sirkus. Aku lupa bagaimana awal adegan ini. Rantai dihentakkan makin keras. Pikiranku masih terbagi antara mimpi dan kerja. Jarum jam di taman kota sudah menunjuk ke angka 23. Para pengendara jalan memamerkan wajah-wajah enggan dan bosan; sebagian lagi tak menyadari keberadaanku seperti tak menyadari adanya para pengemis yang tidur bergelimpangan di bawah jembatan seperti korban perang. Wajar mereka begitu, mereka lelah ingin segera sampai di tujuan, mandi, makan, memeluk bantal, atau berpelukan. Musik yang ditabuh majikanku makin menambah kelelahan mereka.

Jadi wajar bukan jika mereka tak menyadari keberadaanku? Meskipun aku setengah mati melakukan adegan salat, sirkus, kuda lumping, hingga geng motor. Kau tahu adegan geng motor? Inilah adegan yang paling kubenci, karena sangat menguras tenaga dan resiko. Parahnya, adegan inilah yang paling disukai majikanku. Tapi aku hanya monyet, robot pencari uang sang majikanku.

"Ini adegan pamungkas, adegan yang paling menarik," terang majikanku. "Ayo kita lakukan!" Lalu majikanku menyeretku ke tengah jalan ketika traficklight sedang merah. Majikanku tepat berdiri di tengah zebra cross di hadapan pengendara motor yang terjebak lampu merah. Saat itulah aku berdiri di atas motor. Majikanku memutar rantai yang membelit tubuhku. Aku dan motorku segera ikut berputar. Saat itulah aku merasa prustasi karena makin lama putaran makin pusing kepalaku. Sedangkan aku harus konsentrasi menjaga keseimbangan. Jika tidak, aku akan jatuh dan kena damprat majikan. "Jika kau jatuh, mereka tidak akan ngasih duit!" bentaknya. Aku khawatir majikanku terlalu panjang mengulur rantai dan membuat putaranku makin melebar hingga menubruk salah satu pengendara motor; atau bisa saja motorku tergilas pengendara yang melaju kencang di seberang sana. Aku juga khawatir tiba-tiba lampu berubah jadi hijau. Otomatis aku yang sedang berputar harus segera berhenti dan berlari menuju trotoar. Bagaimana jika tidak keburu? Tentu aku akan menjadi mangsa ban-ban kendaraan itu.

Berbagai sekenario mematikan itu terus berputar di kepalaku. Jantungku berdebar cepat. Dan traficklight pun berwarna kuning. Hatiku lega. Tugas berikutnya mencari uang receh yang biasa dilempar ke atas trotoar. Begitulah kerjaku, diatur majikan dan traficklight.


Setelah itu, kami istirahat sejenak sambil menunggu lampu merah kembali. Jika traficklight merah, kembali aku memulai adegan tadi dengan rincian: salat, sirkus, geng motor. Kadang jika majikanku bosan, formasi adegan diganti jadi salat, rock n roll, dan ke pasar. Atau formasi  adegan ini diacak seenaknya sesuka hati si bos. Bagiku semua adegan itu omong kosong. Tak satupun aku menyukainya. Aku hanya ingin tidur, mimpi berada di hutan, berburu buah kelengkeng atau pisang.

Jarum jam sudah bergulir dari angka 24. Majikanku menguap. Pertanda baik! Aku akan masuk kandang dan pulang. Majikanku berdiri, mengikat rantai di tiang traficklight, lalu pergi menuju warung di seberang sana. Rupanya dia hendak beli rokok. Ini kesempatanku untuk merebahkan diri di atas sajadah dekil. Kulihat langit-langit jembatan Pasupati yang kaku dan kokoh. Di bawah jembatan inilah aku terus menerus melakukan berbagai adegan konyol itu. Aku terlindung dari hujan dan panas. Tetapi aku tak terlindung dari belas kasihan majikanku. Kenyataan nyaman yang bisa kulakukan hanya tidur dan mimpi, mustahil berharap bebas dan kembali ke belantara hutan. Sudah lama hutanku ditiadakan. Teman-temanku sudah pada pindah menempati perempatan-perempatan kota sebagai pengamen jalanan.

Aku terbangun ketika jalan mulai terang oleh matahari pagi. Jalanan mulai ramai, tapi aku belum melihat majikanku. Busyet! Semalaman aku dibiarkan tidur di atas sajadah dengan rantai terikat di traficklight. Mungkin majikanku ketiduran di warung rokok itu karena asyik gituan sama pemilik warung. Sementara perutku mulai bunyi--semalaman aku hanya makan angin. Aku bersin, ludahku hitam kental seperti oli.

Tiba-tiba bunyi kelentang kelenteng kudengar. Musik yang menyebalkan itu berasal dari traficklight seberang. Si Ben sudah jumpalitan di sana. Luar biasa. Sepagi ini Ben kerja. Tapi dia akan terkejut jika kuceritakan tindakkan majikanku yang membiarkanku tidur di bawah jembatan tanpa makanan semalaman. Menurutku, majikan Ben sangat baik. Sepagi itu dia kerja karena istri majikannya lagi sakit perlu biaya rumah sakit. kebetulan tempat tinggalku dengan Ben tetanggaan. Aku sering merasakan makanan darinya. Ben juga pernah diajak cek up ke dokter hewan. "Paru-paruku sehat, bersih," cerita Ben.

Menurut Ben, monyet yang biasa kerja di jalanan akan mudah terkena penyakit paru.Cirinya, sering batuk, ludahnya hitam, dan kencingnya sedikit berwarna kuning. Indikasi ini pernah diderita si Cimot, monyet peliharaan majikanku sebelum memeliharaku yang mati dua minggu lalu. "Dia terlalu lama hidup di jalan sambil menghisap asap kenalpot. Jika dia tak TBC, mungin kau masih di hutan, bebas," tutur Ben.

Di seberang sana, Ben melambaikan tangannya padaku. Kulambaikan juga tanganku. Di seberang yang lain, dua lagi temanku yang mulai atraksi, namanya Jhon dan Honi. John juga tetanggaku. Dia sudah cukup lama hidup di jalan. Aku belajar berbagai adegan darinya. John badannya sangat kurus, tetapi gerakkannya lincah. Dia sering mengeluh dikasih makan cuman sekali sehari. Dadanya sering terasa sakit jika terlalu lama berdiri. Yang satu lagi, Honi, aku selalu memikirkannya. Dia cantik. Tapi sayang harus terjebak di kota ini. Jika aku bisa, kulepas rantai Honi dan kuajak lari dia. Tapi mustahil. Bagi kami, kebebasan hanya ada dalam mimpi.

Tiba-tiba majikanku sudah duduk di balik gamelannya. Aku tak tahu kapan dia mengambil rantai yang terikat di tiang traficklight. Tanpa ba bi bu, dia menabuh gamelannya. Di mulutnya mengepul asap rokok keretek kesukaannya. Aku yang masih ngantuk, harus memulai dengan adegan shalat, disambung main gitar, dan adegan yang paling kubenci, geng motor. Gila bukan?!

 Tapi aku hanya monyet. Aku hanya bisa bermimpi. Atau berharap penyakit TBC segera menyerangku. Harapanku terjawab. TBC menyerangku setelah malam itu. Dan kini aku di sini, bersamamu, Cimot.

Cimot tersenyum. Dia mengajakku ke sebuah bukit kecil di mana teman-temannya berkumpul. Mereka dulunya korban jalanan juga yang tewas dengan berbagai cara: terserempet mobil dan motor, TBC, kelaparan, bunuh diri, keracunan, mendapat pukulan majikan..... Cimot berkata, “Saudara-saudara, mari kita tunaikan dendam kita. Kita datangi bekas majikan-bekas majikan kita dulu lewat mimpi-mimpi yang paling buruk, lebih buruk dari kegidupan mereka sendiri.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...