Sabtu, 02 Februari 2013

Perspektif Seniman Generasi Baru *)


Kanvas 185x140 cm itu menampilkan video Monumen Perjuangan (Monju) Rakyat Jawa Barat yang berdiri megah di Jalan Dipatiukur, Bandung. Relief-relief yang mengitari sebagian dinding monju juga tidak lepas dari sorotan kamera. Tiba-tiba, seorang pria mengenakan kemeja putih muncul di sebelah kiri layar, dia menghapus relief-relief yang menunjukkan kekuasaan Rezim Soeharto. Maka kanvas bergambar Monju itu perlahan menjadi berwarna putih, polos.


* Foto-foto karya:  Bambang Prasetyo (Ibenk)

Video berdurasi kurang dari 30 menit itu berjudul  Abstracting History  karya Theo Frids Hutabarat. Video ini menjadi salah satu karya yang dipamerkan dalam pameran bertajuk  Kitaran,  sebuah oleh mahasiswa magister Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), yang digelar di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, 7-13 Januari.


 

Kurator pameran, Rumi Siddharta, menyebutkan ada 12 seniman yang terlibat dalam pameran pameran terkait tugas akhir semester ini. Di antara 12 seniman, diakui Rumi bahwa karya Theo Frids Hutabarat menjadi salah satu karya paling berkesan, meskiun masing-masing seniman menampilkan karya terbaiknya yang dituangkan lewat berbegai media seni mulai dari lukisan, digital printing, instalasi, hingga seni patung.


Dalam tafsir Rumi, Theo menghapus salah satu bagian relief yang ada di Monju, yakni relief tentang heroisme Soeharto. Theo ingin memperlihatkan bagaimana kekuasaan sengaja ditancapkan lewat sebuah pembangunan monumen yang megah sambil sengaja melupakan sisi lain yang sengaja ditutupi sejarah.  "Seorang seniman mungkin tidak bisa mengubah sejarah dengan  teks atau wacana, tetapi seniman bisa melakukannya lewat sebuah karya,"  katanya.

Pameran dibuka Senin (7/1) sore dengan prolog dari pengajar pascasarjana di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (FSRD ITB) Acep Iwan Saidi. Acep mengakui tidak bisa membahas satu-satu karya yang disajikan 12 seniman. Tetapi Acep menyimpulkan, 12 orang ini merupakan seniman generasi muda yang berusaha menunjukkan realitas masa kini maupun masa lalu.

Seniman Theo melalui video  Abstracting History , misalnya, kata Acep, menyampaikan kritik terhadap realitas masa lalu. Theo berusaha menaturalisasi terhadap simbol Rezim Orba, yakni Monju yang merupakan metafora dari bangunan-bangunan sejarah lainnya yang dibuat penguasa. Monumen merupakan upaya manusia untuk melakukan kamuflase tentang suatu peristiwa perjuangan di masa lalu. Tetapi pada saat yang sama, monumen ingin mengajak orang untuk melupakan apa yang terjadi.

"Di monju itu dulunya kan perumahan dan mereka digusur, dan mereka harus pergi dari sana. Tetapi kita harus melupakan itu, yang harus diingat di sana adalah sebuah monumen. Nah seniman Theo mencoba menghapus itu. Dia mencoba memutihkan semua itu, menaturalisasikan, mengembalikan ke alam luas,"  tuturnya.

  
"Abstracting History" , menurut Acep, seolah-olah mengatakan bahwa monumen adalah omong kosong jika harus menghancurkan konteksnya, masyarakatnya. Dengan kata lain, Theo telah  meminjam  monju sebagai metafora yang sudah mati atau yang sudah menjadi suatu karya untuk dibangkitkan kembalihingga menjadi karya yang baru dengan pemaknaan yang lain.

Seniman lainnya, Kireina Windiah, membuat instalasi "Browse for Your Face." Instalasi yang selesai disusun pada 2012 ini memajang berbagai bentuk hidung dan bibir manusia. Dua alat indera manusia ini berderet di atas meja mirip meja labolatorium medis. Di antara meja-meja berisi hidung dan bibir dalam toples, berdiri papan berisi tulisan ilmiah tentang hidung dan bibir.


Melalui karya instalasinya, Kireina menyikapi praktek operasi terhadap bagian tubuh manusia yang marak dilakukan saat ini. Acep melihat instalasi ini lahir dari proses perpaduan antara unsur seni dan ilmu pengetahuan, senimannya menggabungkan proses kreatif dan riset.  "Instalasi ini menunjukkan bahwa seni bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja, tapi membutuhkan keringat, bahkan riset hingga wawancara dengan sejumlah ahli,"  terangnya.

Selain itu, Acep menggarisbawahi tempat pelaksanaan pameran di Gedung Indonesia Menggugat, bukan di dalam Kampus ITB sendiri. Dengan memilih tempat di luar kampus, para seniman mahasiswa Seni Rupa ini berusaha, atau ingin berusaha, mengeluarkan dirinya dalam kungkungan dunia akademis. 
  


"Mereka mencoba melakukan otokritik terhadap dirinya untuk keluar dari kungkungan dunia akademis. Mereka ingin mengawinkan proses kreatif berkesenian yang berdarah-darah itu dengan situasi di luar kampus, di luar dunia akademis,"  jelas sastrawan yang juga kritikus seni ini.

Pameran Kitaran menempati ruang utama Gedung Indonesia Menggugat. Para seniman yang memamerkan karyanya di antaranya Patriot Mukmin lewat lukisan  Sakala  280x100 cm. Lukisan yang dibuat pada 2012 ini tentang tiga wajah, namun akan menampilkan tiga wajah lain jika melihat lukisan ini dari sudut pandang lain. Lukisan  Sakala  ini seolah berkata bahwa seseorang bisa memiliki wajah atau sisi lebih dari satu. Misalnya, satu sisi seseorang bisa berupa perempuan rupawan, namun di sisi lainnya dia bisa berwajah mengerikan.

Kurator pameran, Rumi Siddharta, menyebut lukisan Patriot Mukmin itu sebagai objek dengan persepsi berlapis. Lewat karya ini, Patriot mengingatkan bahwa manusia itu bukan hanya secara individual berbeda, tetapi dalam satu individu pun bisa berbeda-beda. Sebab cara melihat individu tak lepas dari latar belakang yang tak selalu lurus.


Masalah lingkungan tidak lepas dari pengamatan seniman di pameran Kitaran ini. Misalnya Panji Firman yang menyajikan digital printing berjudul  "Unidentified Water Issue."  Karya yang selesai dibuat 2013 ini sebelumnya melewati riset tentang lingkungan, khususnya pencemaran terhadap air oleh industri. Sehingga dalam karya 100x90 cm itu tampak mesin pompa air tradisional yang yang penuh dengan warna-warna bahan kimia, lalu di lukisan lain terdapat beberapa merek air mineral kemasan yang justru dipandang sebagai perusak air tanah.

Ada juga seniman yang mengeksplorasi pengalaman sehari-hari, misalnya disajikan Ivana Stojakovic lewat instalasi sepeda jatuh. Ivana yang masa kecilnya dihabiskan di Serbia, suatu waktu mengisi pagi yang basah dan berlumpur di kampung halamannya itu. Dia dibonceng kakeknya memakai sepeda model kumbang. Namun karena jalanan berlumpur dan licin, mereka terjatuh. Instalasi itu berupa sepeda yang terbujur di atas lumpur; sebuah jaket anak kecil tergeletak tak jauh dari sepeda itu.

Seniman Paramitha Citta Prabaswara juga menyajikan pemaknaan terhadap waktu kesehariannya lewat karya berupa jam dinding dari kayu yang diberi nama  "Hope."  Melalui karya itu, Paramitha menyatakan bahwa sejak kecil manusia diajari pola waktu hingga waktu tersebut menentukan gaya hidupnya. Padahal kehidupan bisa dibalik, jarum jam bisa diputar oleh tangan, artinya manusia juga bisa mengatur waktunya sendiri. 

Menurut Rumi, para seniman muda tersebut berhasil menyajikan berbagai perspektif kehidupan melalui karya-karyanya yang tak seragam. Masing-masing seniman memiliki kekuatan dengan cara berkarya dan karyanya. Pameran ini, diakui Rumi, bukan hanya sulit untuk menentukan mana karya terbaik, tetapi juga sulit untuk merangkum dalam satu tema. Pameran  Kitaran  menampilkan banyak ide, makna, dan bentuk karya. Pengunjung akan merasa menghadiri sebuah toko yang menyajikan beragam produk atau karya. Karena itulah pameran ini diberi tema "Kitaran" yang secara harfiah berarti  "berputar mengelilingi."

Beberapa seniman yang mengikuti pameran ini selain para seniman di atas adalah Nomas Kurnia, Nugroho Prio Utomo, Patriot Mukmin, Theo Frits Hutabarat, Anita Yustisia, Aulia Ibrahim Yeru, Esra Oesen, Fransisca Retno, Ferri Agustian S, Firman Panji, Ivana Stojakovic. Mereka melakukan persiapan pameran selama 6 bulan.


*)  Tulisan ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Khazanah, Minggu 13 Januari 2013

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...