Minggu, 17 April 2011

Catatan Pembuangan



Catatan Pembuangan

Nusa Kambangan merupakan tempat pembuangan manusia yang sangat kesohor di Indonesia. Namanya sudah kudengar dari mulut seorang paman – untuk menakuti aku agar nurut padanya – sejak kecil, sebelum masuk SD. Waktu itu, entah kenapa mendengar nama tersebut kenakalanku langsung berhenti untuk nurut pada perintah paman. Ada semacam bayangan aneh yang muncul dibenaku saat mendengar nama tempat itu, padahal paman hanya menyebutkan sebuah kata tempat, tanpa keterangan. Mungkin sikap nurutku itu karena makna menyeramkan yang kutangkap dari pesan non-verbal paman. Belakangan kuketahui bahwa nama tersebut adalah tempat pembuangan orang, atau semacam penjara terapung. Biasanya orang yang dikesanakan karena telah melakukan kejahatan luar biasa. Tetapi pengetahuan itu pun masih samar.
Ternyata Nusa Kambangan bukanlah satu-satunya tempat pembuangan manusia. Masih ada lagi.  Dan kali ini tempat itu kukenal bukan dari paman, melainkan dari seorang bijak yang dapat dipercaya – walau kepercayaan itu sekarang mulai luntur.
Pulau Buru. Suatu padang-ilalang yang tak bersahabat pada para pendatang baru. Pada 1969, kurang-lebih 13000 orang dibuang kesana. Bukan dalam acara transmigrasi, mereka sengaja dibuang karena alasan politis, yakni sebagai anggota atau simpatisan PKI – suatu alasan yang kini tak masuk akal. Dibuang dapat diartikan diasingkan: dijauhkan dari keluarga, tetangga, pekerjaan, dan kampung halaman. Kemudian mereka harus menghadapi ketidakramahan para aparat yang bertugas di sana. Jadinya sejenis penjajahan oleh orang sebangsa.
Pembuangan masih terus berlanjut hingga abad ini. Setelah Amerika Serikat menyerbu Afghanistan, kemudian Irak, orang-orang yang dituduh teroris diangkut ke Guantanamo, Kuba. Guantanamo adalah tempat gelap sejenis nihilisme, kata Gunawan Muhammad. Mereka – yang diduga teroris itu – mendapat perlakuan brutal bagai binatang oleh tentara AS. Padahal mereka tentu tidak bersalah. Salahkah jika penduduk suatu negeri melawan pihak asing yang mengacau di negerinya, sebagaimana dulu penduduk Indonesia melawan aksi kolonialisme Belanda? Mereka hanya disalahkan dan dipaksa harus mengakui suatu kesalahan yang tak pernah mereka lakukan hingga harus merangkak seperti anjing kudisan.

Nusa Kambangan, Pulau Buru dan Guantanamo, hanyalah tiga dari sekian banyak tempat pembuangan manusia. Dan tentunya masih banyak negara yang memiliki tempat-tempat seperti itu. Alasan keberadaanya tentu dapat dibuat sebagus mungkin, yang pada akhirnya hanya menjadi omong kosong. Lalu, tragedi pun kembali terjadi.
Ide itu juga bukan sesuatu yang baru. Pembuangan terjadi sudah sangat lama sekali. Kita ambil saja suatu contoh dari era kolonialisme yang terjadi di dunia di mana Indonesia salah satu korbanya. Di sana akan sangat banyak ditemukan kasus-kasus pembuangan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda sebagai hukuman atas “kesalahan” yang dilakukan pribumi. Salah satu di antaranya ialah R.M. Tirto Adhi Surjo. Berdasarkan catatan Pramuoedya Ananta Toer dalam buku Sang Pelopor, R.M. Tirto pendiri surat kabar pribumi pertama (Soenda Berita & Medan Prijayi) dan sekaligus sebagai Bapak Pers Nasional. Tirto Adhi Surjo merupakan contoh tepat dalam konteks ini, karena ia merupakan pelopor pergerakan nasional di Indonesia, yang selanjutnya akan diikuti oleh para tokoh pergerakan lainya dikemudian hari – termasuk dengan nasib dibuang oleh pemerintah kolonial.
Jadi, secara historis dapat ditemukan bagaimana motif dari pembuangan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, yaitu motif politik. Untuk menyingkirkan pemberontak (pejuang kemerdekaan) yang membahayakan posisi pemerintah, caranya adalah membuangnya  ke suatu tempat yang jauh, asing, terpencil. Dengan begitu, maka ia akan terkucil, geraknya terhambat, mental perlawananya melemah, hingga akhirnya mati atau menjadi gila – setidaknya itulah harapan si pembuang (Belanda).
Sebenarnya ide pembuangan itu  bukan suatu pilihan buruk, asalkan tidak ditunggangi oleh kepentingan politik. Pembuangan akan positif jika diikuti oleh suatu mekanisme yang benar, dan terutama memperhatikan aspek kemanusiaan. Pulau Buru yang pada awalnya merupakan lahan tak tergaraf, tetapi ketika para tahanan politik itu digerakan untuk mengolahnya, maka hasilnya sangat mengagumkan. Padahal itu terjadi dibawah perlakuan sinis aparatnya. Catatan ini pernah diungkap penyair Goenawan Muhamad.
Dengan demikian pembuangan tidak akan menjadi ajang pelampiasan nafsu primitif manusia terhadap manusia lainya jika ditunjang dengan semangat kemanusiaan. Itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tragedi seperti di Pulau Buru dan Guantanamo. Kecuali jika semangat itu hanya untuk menunjang kekuasaan yang haus darah untuk mempertahankan suatu sistem busuk dan keras.


 Bandung, beberapa tahun lalu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...